
![]() |
Amunisi call 7.62 x 45 mm: Sumber: laman website Komite Kebijakan Industri Keamanan |
Yohanes Gobai
(Pimred TaDahNews)
Tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) 12 Tahun Penjara kepada terdakwa Okto Jemi Magai Yogi yang didakwa memiliki amunisi, seperti yang dilansir di portal media tadahnews (15/5) dan pernyataan pembebasan dalam nota pembelaan Penasehat Hukum terdakwa dengan dalil ‘tidak terbukti memiliki” dalam proses persidangan perkara kasus jual beli amunisi, di Pengadilan Negeri (PN) Nabire tentu menarik perhatian publik.
Sebanyak 104 butir amunisi yang menjadi objek perkara di persidangan tersebut. Berdasarkan jenis amunisinya, masing-masing 48 (empat puluh delapan) butir Amunisi call 7.62 mm dan 56 (lima puluh enam) butir call 5.56.
Terlepas dari perseteruan argumentasi berdasarkan masing fakta, kenyataanya penjual berinisial MK dan pembeli Okto telah ditangkap dan sampai saat ini sedang diadili di Pengadilan Negeri Nabire.
Tentu si penjual MK dan Okto adalah bukan pemilik. Bukan juga MK mencetak amunisi tersebut lalu menjualnya kepada Okto.
Lantas pertanyaannya, darimanakah amunisi tersebut diproduksi? Siapa yang mengeluarkan dari tempat produksi? Siapa yang membawa masuk ke Papua hingga tiba di Nabire? Penegak Hukum dan HAM untuk Papua yang mengadvokasi Okto tidak pernah menemukan jawaban pasti dalam berkas penyelidikan di Pengadilan Negeri Nabire. Nihil jawaban.
Jaksa menilai bahwa amunisi berjumlah 104 butir yang disita dari Okto adalah miliknya. Sementara pendamping hukum berpegang pada fakta-fakta persidangan bahwa Okto terbukti tidak memiliki. Karena, pertama, amunisi tersebut didapatkan melalui proses transaksi. Okto sebagai pembeli, dan penjual berinisial MK ditetapkan sebagai penjual. Dalam transaksi tersebut Okto baru membayar sebesar 3.500 ribu dari total harga 20 juta.
Tuntutan JPU tersebut dinilai justru membenarkan mengabaikan fakta-fakta yang lain, terkait darimana peluruh itu berasal, siapa yang memproduksinya, dan seterusnya.
Lantas Penasehat hukum Okto dari Koalisi Penegak Hukum dan HAM untuk Papua (selanjutnya baca: Penasehat Hukum) menegaskan bahwa Okto merupakan salah satu korban kriminalisasi dalam kasus transaksi amunisi tersebut; dan MK yang diadili sebagai saksi adalah menjual—bukan pemilik pabrik pencetak amunisi atau pemilik yang menguasai amunisi tersebut.
Lalu darimana kah amunisi itu berasal? Berdasarkan penelusuran Penasehat Hukum jenis barang bukti (amunisi) yang dipersoalkan di dalam perkara tersebut adalah Perusahaan PT. Pindad yang berada di Bandung, Jawa Barat.
***
PT. Pindad (Persero) adalah sebuah perusahaan BUMN (Badan Usaha Milik Negara) di Indonesia yang bergerak di bidang industri pertahanan dan keamanan. Perusahaan ini memproduksi berbagai macam alat utama sistem persenjataan (alutsista) dan juga produk komersial lainnya.
Lansir media resmis milik perusahaan yang didirikan pada 29 April 1983 itu, PT Pindad memproduksi berbagai jenis senjata, munisi, kendaraan taktis, dan juga alat berat serta produk industri lainnya.
Secara umum, Pindad menyediakan amunisi untuk mendukung kebutuhan TNI dan Polri, termasuk kebutuhan untuk modernisasi peralatan dan perlengkapan mesin. “Pindad juga fokus pada peningkatan kapasitas produksi amunisi untuk memenuhi kebutuhan Kementerian Pertahanan.” Mengutip lansiran kemhan.go.id tertanggal 2015/01/21.
***
Sampai saat ini sudah banyak Kasus Kepemilikan Senjata Api dan Amunisi yang diperiksa dan diputuskan oleh Pengadilan Negeri di Papua, khususnya. Namun Pendamping Hukum mengatakan bahwa mayoritas perkara tersebut hanya memeriksa yanga beli/pembeli maupun penjual. sementara Pabrik pembuat Amunisi, mengeluarkan Amunisi dari Pabrik, membawa Amunisi dari luar Papua ke Papua belum pernah diperiksa dan diputuskan oleh Majelis Hakim Pemeriksa Perkara di Pengadilan Negeri.
“Atas dasar itu, Koalisi Penegak Hukum dan HAM untuk Papua membuktikan bahwa Pengadilan Negeri Nabire seperti menjadi alat untuk memutuskan mata rantai Bisnis Jual Beli Amunisi Di Nabire sehingga sudah semestinya Pengadilan Negeri Nabire merefleksi pemeriksaan dan pemutusan ratusan dan ribuan Kasus Jual Beli Senjata Api dan Amunisi di Nabire,” tukas Pendamping Hukum Terdakwa Okto Jemy.
Kasus jual-beli Amunisi yang dialami oleh Okto Jimy Magai Yogi yang didakwa “memiliki amunisi” dan saksi/korban yang menjual merupakan satu dari ratusan Kasus Jual Beli Senjata Api dan Amunisi di Nabire yang akan dijadikan pijakan untuk melihat apakah Majelis Hakim Pemeriksa Perkara A Quo di Pengadilan Negeri Nabire profesional dalam melihat dan memutuskan mata rantai Bisnis Jual Beli Amunisi Di Nabire ataukah justru akan menguatkan mata rantai Bisnis Jual Beli Amunisi Di Nabire dengan cara menumbalkan penjual dan pembeli sementara melindungi Pembuat dan Pemasok Amunisi dan Senjata Api di Nabire.
Barang Bukti Amunisi yang berjumlah 48 (empat puluh delapan) butir Amunisi call 7.62 mm dan 56 (lima puluh enam) butir call 5.56 diajukan, setelah ditelusuri menggunakan internet, ditemukan keterangan pada laman website Komite Kebijakan Industri Keamanan sebagaimana dalam link memberikan keterangan terkait Amunisi KALIBER 7.62 X 45 MM Amunisi ini merupakan munisi khusus untuk senapan Sabhara SB1. Bentuk peluru tanpa rim, konis, centerfire. Bentuk peluru bulat, round nose dengan material inti timah dan jaket brass 90. Penggalan jenis berdan, dengan propelan jenis smokeless powder, double base. Kecepatan peluru 565 m/s. amunisi ini diproduksi oleh PT. Pindad.
Lantas dalam sidang perkara terdakwa Okto Jemi Magai Yogi, Pendamping Hukum menilai Jaksa Penuntut Umum tidak tegas dalam memeriksa berkas dari penyidik sebelum mengajukan tuntutan di pengadilan.
“Sampai hari ini pabrik yang mengeluarkan amunisi tersebut tidak diperiksa, dan Pemilik yang dagangkan amunisinya juga masih berkeliaran di luar sana,” tugas PH, di Enauto Kafe (4/24).
Editor: Redaksi