
![]() |
ilustrasi e-poster yang dipublish oleh kolektif lapak baca dan diskusi nabire. |
Nabire, TaDahNews.com – Dalam rangka menegaskan kembali 1 Mei sebagai tanggal dimana awal terjadinya penaklukan wilayah Papua oleh Republik Indonesia yang terjadi pada tahun 1963 silam, Kolektfi Lapak Baca dan Diskusi di Nabire menggelar aksi pembagian selebaran di seluruh kota Nabire sejak Kamis (1/5) pagi hingga sore hari.
Dari
Pantauan awak media ini aksi pembagian selebaran itu berlangsung di beberapa
titik. Mulai dari titik Pasar Karang, Kali Bobo, Kampus Uswim, lingkungan
Satuan Pemukiman (SP) 1, Sriwini-KPR, Nabarua, Bukit Meriam, dan Kali Harapan.
Awak media
ini belum mendapatkan konfirmasi berapa banyak selebaran yang dibagian hingga
sampai berita ini diturunkan.
Berikut
adalah isian selebaran yang dibagikan kolektif lapak baca dan diskusi kota
Nabire tentang 1 Mei:
1 Mei: 62 Tahun Aneksasi Papua dan Hari Buruh
Internasional
“Tolak Proyek Strategis Nasional dan
Berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri bagi Rakyat Papua”
Rakyat Pekerja Papua adalah korban kependudukan paksa Indonesia yang didukung kapitalisme-imperialisme global. Kapitalisme selalu mengutamakan keuntungan ekonomi semata tanpa memperdulikan hak-hak rakyat secara umum. Belanda dan Amerika secara sepihak menyerahkan kekuasaan atas Papua kepada suatu badan PBB UNTEA (United Temporari Executif Autority) pada 1 Oktober 1962 dan selanjutnya Wilayah Papua dipaksa bergabung dengan Negara Kolonial Indonesia pada 1 Mei 1963.
Rakyat Papua tidak pernah dilibatkan didalam proses sengketa politik yang terjadi (Perjanjian New York pada 15 Agustus 1962 dan Perjanjian Roma pada 30 September 1962). Sikap ini menunjukan bahwa Amerika, Belanda, PBB dan Indonesia bekerja sama untuk menghilangkan hak politik rakyat Papua yang jauh sebelumnya telah mendeklarasikan manifesto politik Papua Barat pada 1 Desember 1961.
Kolonial Indonesia tidak hanya melakukan kerja diplomasi tetapi menjalankan praktek militeristiknya; Operasi Militer secara terbuka maupun tertutup dengan tujuan memata-matai gerak gerik, meneror bahkan membunuh rakyat Papua.
Pasca Trikora yang dikumandangkan oleh Soekarno yang Imperialistik pada 19 Desember 1961 Alun-alun Utara Kota Yogyakarta, Kolonial Indonesia (1962) melakukan konfrontasi militer di bawah komando Panglima Soeharto menjalankan berbagai Operasi Militer: Operasi Mandala, Operasi Banten Kedaton, Operasi Garuda, Operasi Serigala, Operasi Kancil, Operasi Naga, Operasi Rajawali, Operasi Lumbung, Operasi Jatayu; Operasi laut adalah Operasi Show of Rorce, Operasi Cakra, dan Operasi Lumba-lumba dan operasi militer lainnya.
Militer Indonesia kemudian secara masif mengambil alih pusat-pusat perbelanjaan, pelabuhan, sekolah, universitas, bandara, rumah sakit, POM Bensin, Industri-industri rumahan yang sebelumnya dikelola oleh pekerja orang asli Papua. Pekerja asli Papua disingkirkan dari tempat-tempat kerja produktif. Selanjutnya indonesia menjalankan program transmigrasi secara reguler, praktik penjajahan dengan settler clonialism atau memobilisasi penduduk dari negeri penjajah (indonesia) ke negeri jajahannya (Papua ) untuk bermukim di Tanah Papua dan menekan populasi (depopulasi) dan mengubah komposisi penduduk. Transmigran hanya dijadikan tameng oleh penguasa untuk memprovokasi rakyat dengan jargon-jargon nasionalisme sempit. Rakyat Papua terus termarjinal dari pusat-pusat perputaran ekonomi, lapangan kerja dan sebagainya, karena terdampak operasi militer dan teror dari kolonial Indonesia (desain negara).
Kebijakan Otonomi Khusus dan Pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB) bukanlah jawaban atas tuntutan “Merdeka” rakyat Papua selama ini. Kebijakan politik kolonial selama ini hanya berupaya untuk mengaburkan akar persoalan Papua dan memperparah situasi penindasan di Papua.
Setelah Prabowo dilantik menjadi Presiden, dia langsung mewacanakan program transmigrasi reguler yang pernah dijalankan oleh Rezim Soeharto, melanjutkan Proyek Strategis Nasional, Makan Siang Bergizi Gratis, menetapkan UU TNI dan POLRI. Rezim Jokowi sebelumnya telah menggodok berbagai undang-undang yang menguntungkan Kapitalis Kolonial Indonesia seperti ; UU ITE untuk membungkam ruang digital rakyat, UU Ormas untuk mengontrol gerakan rakyat, UU Cipta Kerja untuk memudahkan investasi kapital dan politik upah murah bagi buruh. Semua paket kebijakan Neoliberal diatas semakin membatasi ruang demokrasi rakyat, mengeksploitasi buruh, merampas tanah milik masyarakat adat dan memberikan militer ruang yang lebih luas sehingga bisa terlibat dalam semua urusan sipil seperti pendidikan, pertanian, perkebunan dan lain sebagainya.
Kondisi ini adalah ancaman serius bagi rakyat Indonesia dan Rakyat Papua yang sedang dijajah. Kelompok oligarki, militer dan investor (kapitalis) secara hukum dan politik berada pada tahapan yang sangat sempurna untuk menjalankan aktivitas eksploitasi sumber daya alam dan menjalankan kekerasan militer; penangkapan, kriminalisasi bahkan pembunuhan terhadap rakyat yang melawan.
Di Papua pengiriman militer dan operasi militer terus dilakukan di Nduga, Maybrat, Puncak, Puncak Jaya, Peg Bintang, Bintuni, Intan Jaya, Timika, dan seluruh Tanah Papua. Proyek Food Estate di Merauke merampas 2 Juta Hektare Tanah Adat Marind, pengembangan Perkebunan Sawit terus merampas Tanah milik masyarakat adat Moi di Sorong dan Masyarakat Adat Auwyu di Boven Digoel. Pencurian tanah dan sumber daya alam milik rakyat Papua terus berlanjut dengan rencana negara membuka Blok Wabu, Train 3 BP LNG Tangguh, Blok Agimuga I dan II dan proyek ekploitasi Migas lainnya. Aksi-aksi protes rakyat papua selalu direpresi oleh militer indonesia bahkan perjuangan suku auwyu melalui pengadilan atas tanah dan untuk melindungi hutan sebagai pemberi oksigen ditolak oleh Pengadilan Tinggi Negara Republik Indonesia di Jakarta. Tidak ada harapan untuk mengakses keadilan bagi rakyat Papua secara konstitusional di Indonesia.
Elit lokal Papua: Bupati, DPR, Gubernur hanyalah perpanjangan tangan dari negara kolonial Indonesia di Papua. Artinya elit-elit Papua di Birokrasi, Legislatif, Yudikatif tidak memiliki kekuatan untuk menolak segala bentuk kebijakan nasional yang menindas rakyat dan mengeksploitasi sumber daya alam Papua. Inilah konsekuensi logis keberadaan kolonial indonesia yang dibeking imperialisme global di Papua.
Rakyat Papua tidak boleh menggantungan harapan kepada elit-elit Papua, oligarki indonesia, partai borjuis nasional, Bahkan PBB (sarang penyamun). Rakyat Papua (Buruh, Petani, mama pasar, nelayan, anak terminal, anak aibon, orang sekolahan, PNS (pangkat rendah, agamawan, perempuan) harus membagun alat ekonomi politik dan ideologi (eko-sosialisme) dan berjuang bersama-sama didalam wadah persatuan yang demokratis. Dengan kekuatan rakyat dan kebudayaam solidaritas antara rakyat kita mampu meraih kembali Tanah, Kemerdekaan sebagai jalan mewujudkan Perdamaian sejati bagi rakyat Papua.
Nabire, 1 Mei 2025
Kolektif
Lapak Baca dan Diskusi Kota Nabire –
Belajar Bersama dan Bergerak Bersama