Iklan

iklan

Persidangan Pembunuhan dan Mutilasi: Pemeriksaan Oknum TNI di Pengadilan Militer Dilakukan Tanpa Mengikuti Mekanisme, Penelitian dan Oditur Militer

Tabloid Daerah
1.22.2023 | 11:01:00 AM WIB Last Updated 2023-01-22T02:04:02Z
iklan
Foto: Proses persidangan Oknum  TNI pelaku pembunuhan dan mutilasi 4 orang/Dok. LBH.Papua

Siaran Pers!
Nomor : 002/SP-LBH-Papua/I/2023

PROSES PERADILAN MILITER TERHADAP OKNUM TNI PELAKU PEMBUNUHAN DAN MULTILASI 4 ORANG WARGA NDUGA DI MIMIKA DIDUGA DILAKUKAN TANPA PENELITIAN JAKSA DAN ODITUR MILITER

“Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Militer abaikan Pasal 25c huruf c, Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2021 Dalam Penegakan Hukum Kasus Pembunuhan Berencana dan Multilasi 4 Orang Warga Nduga Di Mimika”.

Proses hukum terhadap para pelaku pembunuhan berencana dan multilasi 4 (empat) orang Warga Nduga di Kabupaten Mimika dilakukan secara terpisah antara pelaku masyarakat sipil dan pelaku anggota TNI padahal secara jelas dan tegas bahwa “Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum kecuali jika menurut keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer” sebagaimana diatur pada Pasal 89 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana junto Pasal 198 ayat (1), Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Militer junto Pasal 16 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Sekalipun proses penegakan terhadap pelaku pembunuhan berencana dan multilasi 4 (empat) orang warga nduga di Kabupaten Mimika dari kalangan anggota TNI telah dan sedang dilakukan di Pengadilan Militer. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah apakah ada keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer sesuai perintah ketentuan di atas? Jika, ada keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan maka apakah Jaksa atau Jaksa Tinggi dan oditur militer atau oditur militer tinggi telah melakukan penelitian selanjutnya menetapkan apakah pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau pengadilan dalam lingkungan peradilan umum yang akan mengadili perkara pidana sesuai ketentuan Pasal 90 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Selama ini belum ada penyataan dari Menteri Pertahanan dan Keamanan maupun Menteri Kehakiman terkait proses hukum terhadap oknum anggota TNI Pelaku pembunuhan berencana dan multilasi 4 (empat) orang warga nduga di Kabupaten Mimika sehingga dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan oknum TNI di Pengadilan Militer dilakukan tanpa mengikuti mekanisme sebagaimana diatur pada Pasal 90 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Untuk diketahui bahwa terkait perihal “dalam keadaan” tertentu sesuai ketentuan “Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali dalam keadaan tertentu menurut keputusan Ketua Mahkamah Agung perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer sebagaimana diatur pada Pasal 16 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dijelaskan bahwa “dalam keadaan tertentu” adalah dilihat dari titik berat kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut. Jika titik berat kerugian terletak pada kepentingan militer, perkara tersebut diadili oleh pengadilan di lingkungan peradilan militer, sedangkan jika titik berat kerugian terletak pada kepentingan umum, maka perkara tersebut diadili oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum. Berdasarkan penjelasan tersebut maka secara langsung menunjukan bahwa melalui fakta 4 (empat) orang masyarakat sipil yang menjadi korban pembunuhan berencana dan Multilasi yang dilakukan oleh oknum anggota TNI di Mimika tidak menimbulkan kerugian pada kepentingan Militer malah melaluinya membuktikan adanya kerugian riel milik keluarga korban dalam bentuk tubuh manusia yang hilang maupun jiwa manusia kalangan Masyarakat Sipil khususnya Masyarakat Kabupaten Nduga sehingga semestinya proses peradilannya dilakukan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum sebagaimana penjelasan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Atas dasar itu, melalui fakta proses hukum tindakan pembunuhan berencana dan multilasi terhadap 4 (empat) orang Warga Nduga di Kabupaten Mimika yang diproses pada Pengadilan Militer secara langsung menunjukan bahwa Mahkama Agung Republik Indonesia secara terang-terang telah mengabaikan kewenangannya sesuai perintah Pasal 16, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Selain itu, melalui proses hukum tindakan pembunuhan berencana dan multilasi terhadap 4 (empat) orang Warga Nduga di Kabupaten Mimika di Pengadilan Militer ini secara langsung mempertanyakan komitmen Jaksa Agung Republik Indonesia melalui Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Militer dalam menjalanakan tugas penanganan perkara koneksitas dan pemantauan, analisis, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan tugas koordinasi teknis penuntutan yang dilakukan oleh oditurat dan penanganan perkara koneksitas sesuai Pasal 25c huruf c dan huruf f, Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2021 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2010 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia yang tidak dipraktekan dalam penegakan hokum kasus pembunuhan berencana dan multilasi terhadap 4 (empat) orang Warga Nduga di Kabupaten Mimika.

Dengan berdasarkan pada tidak adanya kerugian pada kepentingan militer dalam kasus pembunuhan berencana dan multilasi 4 (empat) orang warga nduga di Kabupaten Mimika namun diproses di Pengadilan Militer yang telah memasuki agenda Penuntutan dalam salah satu berkas perkara yang melibatkan Perwira menengah TNI yaitu terdakwa Mayor (Inf) Helmanto Fransiskus Dakhi yang terlibat dalam pembunuhan dan mutilasi empat warga Nduga, Papua, Oditur Militer atau jaksa menuntutnya dengan pasal 480 KUHP tentang penadahan dengan hukuman penjara 4 tahun penjara, dengan tuntutan tambahan dicopot dari kesatuan kepadanya sembari mengabaikan Pasal 340 tentang pembunuhan berencana dengan hukuman tertinggi adalah mati atau penjara seumur hidup atau 20 tahun penjara sebagaimana telah disebutkan dalam Surat Dakwaan Oditur secara langsung menunjukan bahwa sepertinya praktek peradilan ini memang telah diseting sedemikian rupa sebelum proses pemeriksaan di Peradilan Militer dimulai sebab berdasarkan fakta hokum dalam persidangan semua unsur-unsur pidana dalam rumusan pasal 340 KUHP telah terpenuhi secara sah dan meyakinkan namun Oditur malah menuntut dengan Pasal 480 KUHP.

Fakta proses hukum terhadap para pelaku pembunuhan berencana dan multilasi 4 (empat) orang warga nduga di Kabupaten Mimika yang dilakukan tidak mengikuti mekanisme sebagaimana diatur pada Pasal Pasal 90 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana serta arahan penjelasan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang berujung diproses mengunakan Peradilan Militer hingga mendapat Tuntutan Pasal 480 KUHP tentang penadahan dengan hukuman penjara 4 tahun penjara yang diberikan kepada terdakwa Mayor (Inf) Helmanto Fransiskus Dakhi secara langsung menunjukan bahwa Peradilan Militer dijadikan sarana untuk mempraktekan Drama Peradilan untuk melindungi oknum anggota TNI yang telah melakukan beberapa tindakan pelanggaran hukum dan HAM mulai dari tindakan pelanggaran hak hidup, tindakan penyiksaan, tindak pidana perdagangan senjata api, tindak pidana perampokan uang dengan kekerasan, dugaan tindakan kekerasan terhadap anak, dugaan pelanggaran HAM Berat dan tindakan pembunuhan berencana dan multilasi terhadap 4 (empat) orang Warga Nduga di Kabupaten Mimika. Pada prinsipnya, Drama Peradilan untuk melindungi oknum anggota TNI diatas dapat disebutkan berdasarkan pada fakta tindakan pembunuhan berencana dan multilasi terhadap 4 (empat) orang Warga Nduga di Kabupaten Mimika tidak menimbulkan kerugian pada kepentingan militer yang membenarkan proses hokum perkara tersebut diadili oleh pengadilan di lingkungan peradilan militer sesuai perintah penjelasan Pasal 16, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Dengan melihat banyaknya pelanggaran hukum dan HAM yang terjadi dalam kasus tindakan pembunuhan berencana dan multilasi terhadap 4 (empat) orang Warga Nduga di Kabupaten Mimika sehingga diharapkan agar negara melalui pemerintah dapat memenuhi hak atas keadilan bagi 4 (empat) orang Warga Nduga korban pembunuhan berencana dan multilasi sesuai ketentuan Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hokum sebagaimana diatur pada Pasal 28d ayat (1), UUD 1945.
Berdasarkan uraian diatas serta berpijak pada hak konstitusional diatas maka kami Lembaga Bantuan Hukum Papua mengunakan kewenangan yang diberikan berdasarkan ketentuan “Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak berpartisipasi dalam perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia” sebagaimana diatur pada pasal 100, Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan :

1. Mengecam Tindakan Jaksa dan Oditur Militer Yang Tidak Lakukan Penelitian sebelum diproses Perkara Pembunuhan Berencana dan Multilasi 4 Warga Sipil Nduga diperiksa pada Peradilan Militer sesuai Pasal Pasal 90 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), UU Nomor 8 Tahun 1981 junto Pasal 16, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009;

2. Mengecam Tindakan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia yang tidak memproses Perkara Pembunuhan Berencana dan Multilasi 4 Warga Sipil Nduga di Peradilan Umum sesuai Pasal 16, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009;

3. Mengecam tindakan Jaksa Agung Republik Indonesia melalui Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Militer yang tidak memproses Perkara Pembunuhan Berencana dan Multilasi 4 Warga Sipil Nduga secara Koneksitas sesuai Pasal 25c huruf c, Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2021;

4. Majelis Hakim Pemeriksa Perkara Pembunuhan Berencana dan Multilasi 4 Warga Sipil Nduga di Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya dan Pengadilan Militer III-19 Jayapura wajib berikan putusan yang seberat-beratnya kepada Oknum Anggota TNI Pelaku Pembunuhan dan Multilasi 4 Warga Sipil Nduga demi memenuhi rasa keadilan Korban dan memberikan efek jerah kepada pelaku;

5. Komisi Yudusial Republik Indonesia segera awasi proses Pemeriksa Perkara Pembunuhan Berencana dan Multilasi 4 Warga Sipil Nduga di Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya Yang Digelar di Pengadilan Militer III-19 Jayapura.

Demikian siaran pers ini dibuat, semoga dapat dipergunakan sebagaimana mestinya. Atas perhatiannya disampaikan terima kasih.

Jayapura, 21 Januari 2023

Hormat Kami
LEMBAGA BANTUAN HUKUM PAPUA
Narahubung :
082199507613
Baca Juga
iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Persidangan Pembunuhan dan Mutilasi: Pemeriksaan Oknum TNI di Pengadilan Militer Dilakukan Tanpa Mengikuti Mekanisme, Penelitian dan Oditur Militer

P O P U L E R

Trending Now

Iklan

iklan