
"Tanah Adat Tak Akan Bisa Diselamatkan Oleh Proposal: Hanya Rakyatlah Yang Bisa Menjaga Hidupnya Sendiri."
Penulis: ๐๐ญ๐ช๐ด๐ข ๐๐ช๐ด๐ถ๐ญ๐ถ *)
Majelis Rakyat Papua (MRP) bukanlah produk organik dari perjuangan rakyat Papua, melainkan instrumen kolonialisme kultural yang dibungkus dalam narasi "kultural representatif". MRP dirancang untuk mengelola kemarahan rakyat melalui kanal formal yang dibatasi oleh hukum kolonial dan ketentuan negara Indonesia, bukan untuk memperjuangkan kebebasan sejati rakyat Papua.
Oleh sebab itu, MRP Bukan Solusi, melainkan saluran Dekolonisasi yang Buntu, dan juga Kritik ini terhadap MRP sangat mendasar dan sah. Karena MRP lahir dari Otonomi Khusus (Otsus), yang secara sistemik telah gagal dan ditolak oleh mayoritas rakyat Papua.
Lembaga ini tidak punya mandat radikal untuk menolak kebijakan negara yang merugikan Papua, termasuk DOB, eksploitasi SDA, dan militerisasi.Perjuangan rakyat selalu direduksi menjadi "aspirasi kultural", bukan tindakan politik yang mendesak perubahan struktural.
Lebih jauh, dan perlu digaris bawahi, bahwa tulisan ini menyampaikan pesan strategis kepada rakyat Papua untuk jangan pernah menggantungkan nasibnya kepada lembaga kompromi seperti MRP, apalagi kepada aktor eksternal seperti LSM nasional maupun internasional, yang sering datang membawa agenda yang tidak selaras dengan realitas politik lokal.
Karena Tanah Adat tidak akan dapat dipertahankan oleh proposal NGO. Tanah Adat khanya akan dipertahankan oleh rakyat Papua (Masyarakat Adat Papua) yang rela berdiri di garis depan, mempertaruhkan tubuh dan hidupnya.
Dalam banyak kasus, LSM dan NGO asing, meskipun tampak progresif atau simpatik, sering kali datang dengan agenda donor, batas waktu proyek, dan logika kapitalisme humaniter. Ketika rakyat berjuang mempertahankan tanah, LSM sering hanya bisa “mendampingi”,“mendokumentasikan”, atau “melaporkan”—namun tidak berada dalam posisi mengambil risiko langsung di medan perjuangan.
Contohnya seperti yang pernah terjadi di beberapa kelompok masyarakat adat di dunia, seperti :
Di Afrika Tengah dan Timur, banyak gerakan masyarakat adat justru ditundukkan oleh logika NGO yang membawa proyek “advokasi” tetapi memadamkan militansi lokal.
Di Amerika Latin, gerakan tani dan adat seperti Zapatista, Mapuche, dan Guarani menolak campur tangan NGO yang mencoba memoderasi atau mendikte gerakan rakyat.
Di Papua sendiri, banyak LSM Indonesia yang justru menjadi penyalur dana negara, lembaga legalisasi proyek pembangunan, atau bahkan bagian dari pengawasan sosial terhadap aktivis Papua.
Maka, ketergantungan pada NGO hanyalah bentuk baru penjajahan yang lebih halus — penjajahan lewat proyek, bukan lewat senjata.
"๐๐ฆ๐ฌ๐ถ๐ข๐ต๐ข๐ฏ ๐๐ข๐ฌ๐บ๐ข๐ต ๐๐ข๐ฑ๐ถ๐ข ๐๐ฅ๐ข ๐ฅ๐ช ๐๐ข๐ด๐ช๐ด: ๐๐ถ๐ฌ๐ข๐ฏ ๐ฅ๐ช ๐๐ข๐ฏ๐ต๐ฐ๐ณ, ๐๐ข๐ฑ๐ช ๐ฅ๐ช ๐๐ข๐ฎ๐ฑ๐ถ๐ฏ๐จ!"
Sekali lagi, tulisan ini dengan tegas menegaskan bahwa:Rakyat adat Papua sendiri adalah subjek utama perjuangan. Tanah adat hanya bisa dipertahankan oleh komunitas adat yang hidup dan menjaga tanah itu dari generasi ke generasi.
Organisasi perjuangan harus dibangun dari bawah — bukan diatur oleh elit birokrasi, bukan ditentukan oleh LSM, dan bukan digantungkan pada “dukungan internasional” yang tidak pernah konsisten.
MRP, LSM, dan NGO bisa saja berperan sebagai katalis atau pelengkap, tetapi bukan aktor utama. Bila rakyat Papua menggantungkan harapannya pada lembaga-lembaga itu, maka mereka justru sedang menyerahkan kembali kedaulatan mereka kepada sistem luar. Oleh karena itu, tidak ada kebebasan sejati yang akan lahir dari lembaga yang dibentuk penjajah.
Seperti kata Frantz Fanon:
"๐๐ฆ๐ฏ๐ซ๐ข๐ซ๐ข๐ฉ ๐ต๐ช๐ฅ๐ข๐ฌ ๐ข๐ฌ๐ข๐ฏ ๐ฑ๐ฆ๐ณ๐ฏ๐ข๐ฉ ๐ฎ๐ฆ๐ฎ๐ฃ๐ฆ๐ณ๐ช๐ฌ๐ข๐ฏ ๐ฌ๐ถ๐ฏ๐ค๐ช ๐ฌ๐ฆ๐ฃ๐ฆ๐ฃ๐ข๐ด๐ข๐ฏ. ๐๐ช๐ต๐ข ๐ฉ๐ข๐ณ๐ถ๐ด ๐ฎ๐ฆ๐ณ๐ฆ๐ฃ๐ถ๐ต๐ฏ๐บ๐ข."
***
MRP adalah lembaga buatan negara kolonial, dan tidak pernah menjadi representasi sejati rakyat Papua. Mengandalkan MRP adalah ilusi perjuangan.
Rakyat adat Papua harus mengambil alih kembali kuasa politiknya melalui gerakan akar rumput, komunitas adat, dan aliansi internal antarsuku, generasi muda, dan perempuan.
LSM dan NGO dari luar bukan penyelamat. Ketergantungan pada mereka hanya menunda kemandirian perjuangan dan membuka ruang manipulasi ideologis.
Sejarah membuktikan bahwa pembebasan sejati tidak lahir dari kompromi, melainkan dari keberanian rakyat mempertaruhkan segalanya demi hak hidup dan tanahnya.
"๐๐ข๐ฌ๐บ๐ข๐ต ๐๐ข๐ฑ๐ถ๐ข ๐ฉ๐ข๐ณ๐ถ๐ด ๐ฎ๐ฆ๐ฎ๐ฃ๐ข๐ฏ๐จ๐ถ๐ฏ ๐ฌ๐ฆ๐ฎ๐ฃ๐ข๐ญ๐ช ๐ณ๐ถ๐ฎ๐ข๐ฉ ๐ฑ๐ฆ๐ณ๐ซ๐ถ๐ข๐ฏ๐จ๐ข๐ฏ ๐ด๐ฆ๐ฏ๐ฅ๐ช๐ณ๐ช—๐ฅ๐ฆ๐ฏ๐จ๐ข๐ฏ ๐ง๐ฐ๐ฏ๐ฅ๐ข๐ด๐ช ๐ข๐ฅ๐ข๐ต, ๐ฅ๐ช๐ฏ๐ฅ๐ช๐ฏ๐จ ๐ด๐ฐ๐ญ๐ช๐ฅ๐ข๐ณ๐ช๐ต๐ข๐ด, ๐ฅ๐ข๐ฏ ๐ข๐ต๐ข๐ฑ ๐ฌ๐ฆ๐ฎ๐ฆ๐ณ๐ฅ๐ฆ๐ฌ๐ข๐ข๐ฏ. ๐๐ถ๐ฎ๐ข๐ฉ ๐ช๐ต๐ถ ๐ต๐ช๐ฅ๐ข๐ฌ ๐ข๐ฌ๐ข๐ฏ ๐ฅ๐ช๐ฃ๐ข๐ฏ๐จ๐ถ๐ฏ ๐ฐ๐ญ๐ฆ๐ฉ ๐๐๐ ๐ข๐ต๐ข๐ถ ๐๐๐. ๐๐ข๐ฏ๐บ๐ข ๐ณ๐ข๐ฌ๐บ๐ข๐ต ๐ด๐ฆ๐ฏ๐ฅ๐ช๐ณ๐ช๐ญ๐ข๐ฉ ๐บ๐ข๐ฏ๐จ ๐ฃ๐ช๐ด๐ข ๐ฎ๐ฆ๐ฎ๐ฃ๐ข๐ฏ๐จ๐ถ๐ฏ๐ฏ๐บ๐ข."
"๐๐๐ก๐๐ข๐๐ฉ๐ ๐๐ฃ ๐๐๐ฃ๐๐ ๐ผ๐๐๐ฉ dan ๐๐๐ฃ๐ช๐จ๐๐ ๐๐๐ฅ๐ช๐"
Bersambung...!