
![]() |
ilst. |
Oleh: Jhon Gobai*
*) Wartawan TaDahNews
Suatu waktu, saat Dogiyai dibikin senyum oleh senja, melukisnya dalam bisu, menghiasi dirinya dengan penuh damai, merangkai riuhnya malam yang senyap.
Tak satu pun tinta yang memudar. Alam mempunyai cara sendiri untuk membentuk sesuai setelannya, memadatkannya sesuai rupa yang digambar, tentu tertanam keras. Dinginnya alam Dogiyai tak perlu membutuhkan kipas angin, AC, segala macam jus untuk membujuk tubuh yang membara akibat padatnya penduduk, beserta hiruk-pikuknya. Kau tak perlu membutuhkan kerasnya volume musik untuk membunuh kebisingan, tak perlu pergi ke pantai untuk mendapatkan konsentrasi pekerjaan. Alam Dogiyai itu terbuat dari cinta dan kasih sayang alam kepada manusia dan makhluk hidup lainnya.
Bila tugas negara itu membuat bahagia masyarakat, Alam Dogiyai sudah sejak dahulu membikin rakyat berdaulat dan sejahtera di sini. Ia memikat hati mereka, membikin tempat ini bukan sekedar tempat huni saja. Lebih dari itu, tanah, alam Dogiyai, mereka sebut sebagai mama. Kondisi ini sudah berlangsung lama.
Malam itu, saat saya duduk santap daging B2 di depan Gereja Katolik Menemani, tentu antrian yang panjang membuat saya harus menunggu selama lebih dari 30 menit. Saya baru saja mengantarkan penumpang dan hendak kembali ke Nabire setelah makan di sini.
Ada beberapa pemuda, polisi, tentara yang sedang antri makan juga di sana. Para anggota polisi dan TNI itu mayoritas Orang Papua dari jumlah mereka yang tak sampai 12 org itu. Saya segera mengenal identitas mereka di baju PDL yang dikenakan. Ada marga Sayori, Goo, Situmorang, dst. Mereka bercerita dengan gaya bahasa Melayu Papua. Senjata lantas panjang bermerek AK47 dan M16 terletak di samping mereka.
Karena rumah makan itu tampak penuh, hanya terpisah satu kursi di pojok, satu meja dengan para anggota polisi dan TNI itu, saya memilih duduk di sana. Saya mempelajari sikap mereka singkat. Mereka suka ngobrol, penuh canda, tentu sangat aktif. Saya bersebelahan dengan pria asal Weinami, dist. Napan, lelaki Marga Sayori itu. Setelahnya Goo, dan saya duduk berhadapan dengan lelaki Batak, Situmorang. Usia mereka relatif lebih muda dari saya. Itu juga memudahkan saya menguasai topik cerita.
Sayori ingatkan cerita tentang Doloralo, cerita tentang Goa yang menghadirkan kehidupan dua orang bersaudara yang hidup disana dan menjadi keyakinan tentang moyang orang Weinami di sana. Saya berhasil merebut mereka hingga cerita pun berubah ke berbagai topik. Pembahasan kuliner menjadi panjang saat itu. Saya bertanya kepada Situmorang tentang kuliner di negerinya orang Batak. "Kak, saya memang Batak, tapi sa lahir di sini. Moanemani. Kalau makanan khas hingga kenakalan saat masa pertumbuhan, sa punya banyak kisa di dalam pikiran, lebih banyak lagi. Klo Batak, sa buta," katanya, wajahnya penuh keyakinan memberikan isyarat kebanggaan dirinya yang lahir di negeri Dogiyai itu.
Saya bertanya kepada mereka tentang jumlah TNI dan Polisi OAP yang bertugas disini. "Lebih banyak kitong ana-ana Papua, dan lahir besar yang tugas di sini," kata Goo.
Simanjuntak lanjut bicara atas pertanyaanku yang lain, tentang suka duka mereka bertugas di Dogiyai. "Beta juga eee bertugas di sini?". "Kak, Dogiai itu dulu boleh, Selain dingin yang tak berubah." Lanjut si Jago merah dari Batak. Ia menjelaskan hubungan masyarakat asli dan non OAP. Bukan hanya hanya lingkungan yang membentuk dirinya, tetapi juga dinginnya alam Dogiyai membuat mental baja dirinya ketika pergi merantau keluar.
"Kak, sa PU teman, Kak, itu banyak di sini. Tapi sekarang kitong macam jarak karena mungkin su berkeluarga, su kerja. Sa polisi, mereka sibuk yang lain. Tetapi tetap saja rasanya ada yang kurang, ada yang menghilang dari kehidupan ini," renung Situmorang, saling bergantian bicara dengan Goo dan pria asal Weinami itu.
Ini suatu keharmonisan Yang mulai retak. Wajah Dogiyai yang didesain untuk menghadirkan sekat, benci, dan kemarahan oleh kekuasaan yang dirasuki oleh roh jahat.
Saya bertanya soal konflik yang sering memanas di sini. Mereka bersaksi bagaimana mereka berhadapan dengan para warga yang berdampak dari suatu "masalah". "Pernah kalian berhadapan dengan kawan sendiri?" Tanya sa. "Pernah, tapi inikan perintah. Kami jalan tugas atas perintah atasan. Disitu kami harus berpura saling tak kenal dan kami berusaha sembunyikan semua memori tentang persahabatan kami. Apalagi saya yang orang asli di sini, kak," jelas Goo.
Mungkin peristiwa-peristiwa ini, konflik yang dicipta/tercipta membuat mereka yang dulu kawan sayang, sobat, lama-kelamaan tercipta sekat di tengah mereka. Keretakan harmoni mulai terlihat saat hari-hari hidup di tengah banyak konflik yang terjadi sejak pemerintahan Kabupaten Mulai menduduki lembah dingin ini, Lembah Hijau. Kesadaran mulai dimanipulasi media dan ilmu pengetahuan penguasa. Rakyat dibuat taat dan tunduk dibawa aturan penguasa seraya Alam dan hutan diubah dari bentuk dan keberadaan sebelumnya. Tiada lagi yang saling mendengarkan. Para Tetua yang dapat mendengarkan titipan pesan dari "mama" Alam, ini dianggap berbahaya. mereka juga terasing dari tradisi dan kebudayaan hidup sebelum yang berdampingan dengan alam setelah pembangunan infrastruktur merubah keberadaan alam dan itu berdampak langsung kepada tatanan hidup sosial.
Malam itu saya menyaksikan manusia harus saling berpura dan menjadi malas tahu terhadap nilai-nilai cinta dan kasih sayang karena sebuah situasi dimana kekuasaan mengontrol pikiran rakyat dengan mengendalikan segala peralatannya. Situasi dimana kau dibuat harus paksa berpura-pura lupa ingatkan karena tugas dan perjuangannya masing-masing. Ia mengkonstruksi sosial dengan paradigma yang baru. Paradigma yang menyeret manusia ke dalam keserakahan. Itu dibikin oleh sistem yang melahirkan, memelihara dan merawat baik tentang Kebencian dan kemunafikan. Disitu rasisme mulai tumbuh. Disitu perpecahan antar kelompok terjadi. Sejak itu kedamaian hanya menjadi topeng penguasa. Yang sesungguhnya sudah diraup, dimanipulasi, dan dipaksa diterima di tengah penderitaan panjang yang tiada akhir. Demokrasi, kedamaian, Penghargaan atas HAM, keadilan, semua diksi ini sudah terlanjur ternoda oleh kebudayaan pendekatan penguasa yang kotor. Itu terjadi dan berasal Sejak dari dalam alam pikir penguasa. Diskusi-diskusi yang dimaksud di atas ini dicerna oleh gagasan menurut kekuasaan sesuai kebutuhan akan kekuasaan yang menjajah. Dan dipaksa disepakati dan menerima oleh rakyat di sini. Bila ada Arti dan makna yang sesungguhnya, itu stigma separatis, makar. Termasuk kedamaian yang dibikin oleh alam Dogiyai, itu berbahaya bagi penguasa dan kroninya. Semua sudah digemburkan oleh hasrat nafsu akan menguasai. Lantas kini kedamaian yang terbuat dari cinta dan kasih sayang itu ada diujung tombak.
"Saya bukan baru kenal orang di sini. Saya lahir di sini, kak." Kata Situmorang. "Saya tahu betul bahwa orang di sini itu baik. Kebaikan itu dijaga dan dirawat melalui komunikasi yang baik. Tapi jangan mencoba membuat mereka kesal,” lanjut Situmorang, bahwa Itu sama halnya dengan kau membangunkan harimau yang sedang tidur nyenyak. Kau akan tahu bagaimana pria petarung yang mental bajanya dibentuk dan diselimuti oleh dinginnya alam Dogiyai. Kau akan saksikan pertarungan hebat, yang akan berakhir dengan peroleh kemenangan.
Iikebo, Akhir 2024