
![]() |
Saat Menteri HAM Natalius Pigai sedang bersama Presiden Prabowo. Ist. |
Oleh: Wallo*)
Pemuda Pengangguran yang tinggal di Nabire*)
Saat ini,
Natalius Pigai pasti sedang “emosi” Bahlil, tapi Pigai sedang menekan amarah
itu, kenapa?
Kita mesti
memahami Posisi Natalius Pigai saat ini dan sebelum menjadi Menteri.
Sejak awal
Ia mengambil Posisi mendukung Prabowo Pada pemilu 2014 suara kritis terhadap
HAM mulai di penjara, dan nalar kritis nya semakin dibuat lumpuh. Natalius
pasti menyadari hal ini; dan memilih masuk ke dalam perangkat itu. Maksudnya
apa? Yah! Hal paling dasarnya manusia butuh makan. Sisanya alasan politis dan
baku tipu untuk kembali lagi pada alasan pertama tadi.
Sejak Ia
dilantik sebagai Menteri HAM, sejak itu Ia mulai mempelajari dan meluruskan
ulang bagaimana Ia bersikap dan berbicara bukan lagi aktivis dan pejuang HAM.
Ia Menteri, artinya sudah menjadi bagian dari kekuasaan yang dulunya Ia kritisi
habis-habisan. Ia sudah menjadi bagian dari rezim yang menindas.
Itu
kenyataan!
Posisi
Natalius, juga dialami beberapa aktivis 98 yang ikuti masuk ke dalam perangkap
secara sadar. Karena apa? Alasannya soal makan tadi (soal alasan ini suka-suka
saya, kan saya yang nulis). Misalnya Budiman Sudjatmiko, mantan ketua PRD 98,
atau wakil Menteri HAM, dan beberapa diantaranya, dulu sangat kritis dan pedas
suaranya, yang selalu membikin tak sedap telinga rezim.
Setelah
para aktivis ini masuk ke dalam kekuasaan, menjadi bagian dari tangan, kaki,
mata, tukang masak, dst bagi Si Panglima tertinggi, kini orang Papua mulai
sikapnya: kenapa tidak bersuara di tengah maraknya pelanggaran HAM? Itu keliru.
Karena natalius hanya diberi kewenangan untuk mengoreksi dan menginterupsi
(sebentar saja) semua kebijakan tuannya yang kira-kira dapat membahayakan HAM.
Tugasnya membisik, keputusannya ada pada tuannya.
Disitu
kekeliruan orang Papua bertanya mengapa Natalius begini.
Kelirunya
adalah pernyataan kritik itu harusnya dilayangkan saat Ia mendukung Prabowo.
Untuk saat ini, Natalius diberadapkan pada tetap memilih patuh dan melayani
tuannya? Atau kah Ia harus mengambil Keputusan heroik, meninggalkan jabatan
menterinya dan mengambil oposisi, berada di luar dari kekuasaan dan kembali ke
rumah lamanya, menjadi aktivis HAM?
Pilihan
kedua itu mustahil. Sangat-sangat mustahil.
Keliru
bagi orang papua adalah melihat Natalius sebagai orang yang pernah perjuangkan
HAM, dan sisi lain merepresentasi suara orang Papua. Disitu terjadi penokohan
dan secara tidak langsung keterwakilan itu menjadi titik pertemuan antara suara
HAM OAP, dan Jakarta.
Kawan!
Idealisme dan prinsip atas kesadaran diri itu selalu diuji oleh ruang dan
waktu.
Menurut
saya tak perlu Natalius berbicara soal HAM, dan kini bukan tupoksinya membikin
aktivitas investigasi secara independen, dan membikin laporan penemuannya di
public. Tugas kerjanya terbatas. Natalius hanya bisa berada di koridornya:
melayani tuannya. TITIK.
Dan dengan
begitu, kita akan sadar, bahwa perjuangan untuk sebuah keadilan ada pada Pundak
rakyat tertindas. Tra boleh ada pion keterwakilan.
Mengapa?
Kenyataan ini membuat kita bertanya dan saling menoleh sesame rakyat tertindas.
Kita mesti ambil garis lurus bahwa perjuangan menciptakan keadilan dan
kemerdekaan selalu berada di Pundak rakyat. Lantas kekuasaan hanya takut pada
suara rakyat, suara-suara yang menggema dari dalam suatu persatuan kekuatan
rakyat. Suara ini tidak boleh diwakili, apa lagi memberi keyakinan kepada suatu
Lembaga yang masih mengaduh dibawa hukum dan kekuasaan yang menjajah. di sisi
lain, Itu penting, tetapi mesti dilihat sebagai siasat. Bukan aksi strategis.
Apa lagi membikin sosok The Next Natalius Pigai, dan menganggap posisinya
terwakilkan suara OAP.
Sebab
menjadi pejuang HAM, pejuang keadilan, Pejuang Papua Merdeka, itu Keputusan
subjektif yang berangkat dari realitas. Sikap atas realitas keberadaan
Masyarakat, dan memilih untuk bersuara.
Bukan begitu? [*]
Tulisan ini sepenuhnya tanggungjawab penulis.