
![]() |
Jhon Anes Ukago. (lst) |
Oleh: Jhon Ukago *
Seorang remaja Nabire Berinisial ND sempat
ditawari main di Persib Bandung, seangkatan Firman Utina, Supardi, Haryono:
lawan bebuyutan Persipura tahun 2014. Setelah tawaran bergabung dengan tim
raksasa itu, ND hubungi orang tuanya di Papua Tengah, Nabire, untuk meminta
izin dan doa restu.
“Bapak krim anak untuk kuliah, bukan untuk
main bola," jawaban bapak kepada ND. Mendengar jawaban Bapak, kesedihan
menyelimutinya karena selama ini, ND berkeyakinan masa depan menjanjikan
melalui bermain sepak bola, bukan sesudah dapat gelar, yang nyatanya hanya
menambah jumlah pengangguran.
ND tidak berani mengambil keputusan atas
keyakinannya, seperti Kevin De Bruyne, yang ditolak oleh orang tua kandung
karena mengutamakan sepak bola dibandingkan pendidikan. Atau mencontohi
Cristiano Ronaldo yang sama sekali tidak lulus sekolah dasar (SD), namun jadi
pemain termahal dunia.
Kesuksesan Ronaldo seperti angin berlalu,
tidak cukup menyadarkan Bapak ND, bahwa kalau seseorang dapat hidup sukses
melalui karir sepak bola, tak harus setelah kantongi ijazah. Bahkan jadi pemain
bola, dapat menghidupi banyak orang, Sadio Mane, misalnya. Pemain Timnas
Senegal itu, memberikan uang kepada keluarga miskin sebesar Rp1,1 juta per
bulan bagi warga Bambali di kampung halamannya, dan menyediakan internet 4G
kepada masyarakat serta bangun rumah sakit, masjid, sekolah, stadion sepak bola
berstandar FIFA, dan SPBU. Sepak bola sudah menjadi jalur menghidupi orang lain
serta memajukan daerah.
Oleh karena itu, keputusan bapak ND
menandakan kurangnya pengetahuan tentang sepak bola, sehingga merasa tidak
penting, tidak bermanfaat dan menganggap tidak menolong di masa depan. Dalam
pandangan kurang pengetahuan, kerap kali sepak bola hanya dianggap
"hiburan" di Papua Tengah, hanya datang nonton, hura-hura, tepuk
tangan: sekedar cuci mata atau hilangkan penat lalu pulang.
Anggapan-anggapan demikian, juga sudah lama
menjalar dan menghuni alam pikiran pihak-pihak berwenang seperti pemerintah,
PSSI/KONI serta stakeholder lain, sehingga masa bodoh--tidak mau bangun
lapangan sepak bola, alias nol.
Ketiadaan lapangan menjadi persoalan panjang
di Papua Tengah, yakni, Deiyai, Dogiyai, Paniai, Intan Jaya, Puncak Cartenz,
dan Puncak Jaya. Sedangkan Timika dan Nabire miliki lapangan layak pakai.
Lapangan yang tersedia pun seperti di Nabire, bukan milik pemerintah tapi milik
sekolah dan TNI. Tidak dibangun walau berganti pemimpin sejak 1969 atau 56
tahun lamanya.
Sekolah sepak bola (SSB) Bintang Timur musti
latihan pukul 2.00 Wit di lapangan kodim (milik TNI) sebelum SSB lain latihan,
lalu semua anak pembinaan Kasmelius Kareyau angkat sampah keliling lapangan
sesudah latihan. Itu perjanjian yang harus ditepati setiap kali ada jadwal
latihan, jika kalau tidak, anak-anak Bintang Timur tidak dapat latihan, cara
ini sebagai syarat penuhi biaya sewa lapangan per bulan.
Pemda Nabire setiap tahun adakan turnamen
bupati cup dengan dana mengejutkan, namun tidak bisa dirikan lapangan, malah
setiap turnamen numpang di lapangan milik sekolah dan TNI. Miris. Malunya di
mana? Sebetulnya ini menunjukkan keanehan dan absur pemimpin dari periode ke
periode, keadaan yang menggambarkan sepak bola Nabire berada pada level
euforia, tidak berada di proses berkembang, sehingga “sulit mencapai sepak bola
sebagai martabat orang Papua”. Karena masih memandang sepak bola sebagai
hiburan dan cari keringat, maka jangan heran kalau pelan-pelan kita menyaksikan
tenggelamnya Persinab Nabire atas prestasi gemilang tahun 2011-2012, juara 1 Divisi
Dua Liga Indonesia.
Bangun Lapangan Mini Setara Dana Desa
Ketiadaan lapangan di Papua Tengah,
sekiranya, Lukas Enembe Stadium adalah contoh paling dekat yang mesti di tiru
pejabat lain di Papua Tengah, tentu bukan menirukan bangun stadion dari hasil
pemotongan anggaran stunting (Otsus) sehingga dapat diduduki puluhan ribu
penonton. Namun, cuma diperlukan membangun lapangan mini tapi yang berkualitas.
Menurut FIFA, lapangan berkualitas adalah
lapangan yang menjauhkan pemain dari cedera akibat lapangan yang tidak
sintetis, tidak berumput atau timbunan kasar serta dilengkapi turap, pedestrian
(agar tidak digenangi air), tribun, toilet, serta ruang ganti di sisi kiri dan
kanan. Untuk membangun lapangan mini, membutuhkan biaya serupa dana Desa yaitu
1,3 Milyar. Sikapak Timur, Kota Pariaman, Sumatera Barat mampu membangun
stadion mini dengan memanfaatkan dana desa.
Dengan contoh di atas, pemerintah Papua
Tengah, dan 8 daerah jadikan kewajiban membangun lapangan mini, apalagi adanya
pendapatan Asli Daerah (PAD), seperti Kab. Nabire, per tanggal 4 Desember 2024
telah mengantongi dana sebesar Rp65 miliar. Dari gumpalan uang ini, bila
digunakan sesuai tujuan, yakni membiayai pembangunan fisik dan operasional
pelayanan publik daerah, maka sudah sepantasnya menjelma Nabire dengan lapangan
sepak bola mini--dapat membangun sekitaran 2 hingga 4 lapangan.
)* Penulis adalah pemerhati olah raga bola
kaki di Nabire, Papua Tengah.