Iklan

iklan

Tak lebih, Sepak Bola di Papua Tengah Hanya Dianggap Hiburan

Editor - Tabloid Daerah
5.28.2025 | 11:50:00 AM WIB Last Updated 2025-05-28T02:50:50Z
iklan

Jhon Anes Ukago. (lst)

Oleh: Jhon Ukago *

 

Seorang remaja Nabire Berinisial ND sempat ditawari main di Persib Bandung, seangkatan Firman Utina, Supardi, Haryono: lawan bebuyutan Persipura tahun 2014. Setelah tawaran bergabung dengan tim raksasa itu, ND hubungi orang tuanya di Papua Tengah, Nabire, untuk meminta izin dan doa restu.

 

“Bapak krim anak untuk kuliah, bukan untuk main bola," jawaban bapak kepada ND. Mendengar jawaban Bapak, kesedihan menyelimutinya karena selama ini, ND berkeyakinan masa depan menjanjikan melalui bermain sepak bola, bukan sesudah dapat gelar, yang nyatanya hanya menambah jumlah pengangguran.

 

ND tidak berani mengambil keputusan atas keyakinannya, seperti Kevin De Bruyne, yang ditolak oleh orang tua kandung karena mengutamakan sepak bola dibandingkan pendidikan. Atau mencontohi Cristiano Ronaldo yang sama sekali tidak lulus sekolah dasar (SD), namun jadi pemain termahal dunia.

 

Kesuksesan Ronaldo seperti angin berlalu, tidak cukup menyadarkan Bapak ND, bahwa kalau seseorang dapat hidup sukses melalui karir sepak bola, tak harus setelah kantongi ijazah. Bahkan jadi pemain bola, dapat menghidupi banyak orang, Sadio Mane, misalnya. Pemain Timnas Senegal itu, memberikan uang kepada keluarga miskin sebesar Rp1,1 juta per bulan bagi warga Bambali di kampung halamannya, dan menyediakan internet 4G kepada masyarakat serta bangun rumah sakit, masjid, sekolah, stadion sepak bola berstandar FIFA, dan SPBU. Sepak bola sudah menjadi jalur menghidupi orang lain serta memajukan daerah.

 

Oleh karena itu, keputusan bapak ND menandakan kurangnya pengetahuan tentang sepak bola, sehingga merasa tidak penting, tidak bermanfaat dan menganggap tidak menolong di masa depan. Dalam pandangan kurang pengetahuan, kerap kali sepak bola hanya dianggap "hiburan" di Papua Tengah, hanya datang nonton, hura-hura, tepuk tangan: sekedar cuci mata atau hilangkan penat lalu pulang.

 

Anggapan-anggapan demikian, juga sudah lama menjalar dan menghuni alam pikiran pihak-pihak berwenang seperti pemerintah, PSSI/KONI serta stakeholder lain, sehingga masa bodoh--tidak mau bangun lapangan sepak bola, alias nol.

 

Ketiadaan lapangan menjadi persoalan panjang di Papua Tengah, yakni, Deiyai, Dogiyai, Paniai, Intan Jaya, Puncak Cartenz, dan Puncak Jaya. Sedangkan Timika dan Nabire miliki lapangan layak pakai. Lapangan yang tersedia pun seperti di Nabire, bukan milik pemerintah tapi milik sekolah dan TNI. Tidak dibangun walau berganti pemimpin sejak 1969 atau 56 tahun lamanya.

 

Sekolah sepak bola (SSB) Bintang Timur musti latihan pukul 2.00 Wit di lapangan kodim (milik TNI) sebelum SSB lain latihan, lalu semua anak pembinaan Kasmelius Kareyau angkat sampah keliling lapangan sesudah latihan. Itu perjanjian yang harus ditepati setiap kali ada jadwal latihan, jika kalau tidak, anak-anak Bintang Timur tidak dapat latihan, cara ini sebagai syarat penuhi biaya sewa lapangan per bulan.

 

Pemda Nabire setiap tahun adakan turnamen bupati cup dengan dana mengejutkan, namun tidak bisa dirikan lapangan, malah setiap turnamen numpang di lapangan milik sekolah dan TNI. Miris. Malunya di mana? Sebetulnya ini menunjukkan keanehan dan absur pemimpin dari periode ke periode, keadaan yang menggambarkan sepak bola Nabire berada pada level euforia, tidak berada di proses berkembang, sehingga “sulit mencapai sepak bola sebagai martabat orang Papua”. Karena masih memandang sepak bola sebagai hiburan dan cari keringat, maka jangan heran kalau pelan-pelan kita menyaksikan tenggelamnya Persinab Nabire atas prestasi gemilang tahun 2011-2012, juara 1 Divisi Dua Liga Indonesia.

 

Bangun Lapangan Mini Setara Dana Desa

 

Ketiadaan lapangan di Papua Tengah, sekiranya, Lukas Enembe Stadium adalah contoh paling dekat yang mesti di tiru pejabat lain di Papua Tengah, tentu bukan menirukan bangun stadion dari hasil pemotongan anggaran stunting (Otsus) sehingga dapat diduduki puluhan ribu penonton. Namun, cuma diperlukan membangun lapangan mini tapi yang berkualitas.

 

Menurut FIFA, lapangan berkualitas adalah lapangan yang menjauhkan pemain dari cedera akibat lapangan yang tidak sintetis, tidak berumput atau timbunan kasar serta dilengkapi turap, pedestrian (agar tidak digenangi air), tribun, toilet, serta ruang ganti di sisi kiri dan kanan. Untuk membangun lapangan mini, membutuhkan biaya serupa dana Desa yaitu 1,3 Milyar. Sikapak Timur, Kota Pariaman, Sumatera Barat mampu membangun stadion mini dengan memanfaatkan dana desa.

 

Dengan contoh di atas, pemerintah Papua Tengah, dan 8 daerah jadikan kewajiban membangun lapangan mini, apalagi adanya pendapatan Asli Daerah (PAD), seperti Kab. Nabire, per tanggal 4 Desember 2024 telah mengantongi dana sebesar Rp65 miliar. Dari gumpalan uang ini, bila digunakan sesuai tujuan, yakni membiayai pembangunan fisik dan operasional pelayanan publik daerah, maka sudah sepantasnya menjelma Nabire dengan lapangan sepak bola mini­­­­--dapat membangun sekitaran 2 hingga 4 lapangan.

 

)* Penulis adalah pemerhati olah raga bola kaki di Nabire, Papua Tengah.

 

 

Baca Juga
iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Tak lebih, Sepak Bola di Papua Tengah Hanya Dianggap Hiburan
iklan
iklan
iklan
iklan
iklan

Trending Now

Iklan

iklan