
![]() |
Felix Degei, S. Pd., M. Ed, Penulis dan Dosen (#Foto-Edited by TaDah) |
Oleh, Felix Degei, S. Pd., M. Ed
Pendahuluan
Sejak kemerdekaan hingga kini Indonesia telah menerapkan 12 kurikulum berbeda. Dikutip dari laman Garuda dan Itjen Kemdikbud Republik Indonesia, ke 12 kurikulum tersebut antara lain, Kurikulum Rencana Pelajaran 1947, Kurikulum Rencana Pendidikan 1964, Kurikulum Sekolah Dasar 1968, Kurikulum Proyek Perintis Sekolah (PPSP 1973), Kurikulum Sekolah Dasar 1975, Kurikulum 1984, Kurikulum 1994, Kurikulum 1997, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006, Kurikulum 2013 (K-13), Kurikulum Merdeka 2022, dan kini kurikulum dengan Pendekatan Belajar Mendalam (Deep Learning).
Kurikulum dengan pendekatan belajar baru ini untuk penerapannya di Indonesia digagas oleh Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Prof. Dr. Abdul Mu’ti. Sejauh ini terkesan setiap menteri baru selalu hadir dengan kurikulum barunya.
Fokus pembahasan dari tulisan ini adalah hendak mengetengahkan jika pendekatan belajar "Deep Learning" ini bukanlah hal baru dalam tatanan hidup dari Orang Mee di Pedalaman Papua. Karena, ketiga prinsip utama dalam pendekatan belajar baru ini persis sama dengan pandangan hidupnya (way of life).
Dengan demikian, pada bagian selanjutnya dari tulisan ini akan dibahas secara terperinci yang dibagi atas beberapa bagian, sebagai berikut;
Pertama, Apa itu "Deep Learning"?
Kedua, Apa Isi Filosofi Hidup Orang Mee?
Ketiga, Mengulas kesamaan nilai filosofis.
Keempat, Catatan Penting bagi pengembang Pendidikan di Wilayah Adat Meepago. Dan,
Kelima, Kesimpulan.
Tulisan refleksi filosofis ini menjadi kajian spesial dalam menyambut Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) Tahun 2025 yang bertemakan: ‘Partisipasi Semesta Wujudkan Pendidikan Bermutu untuk Sesama’.
Apa itu "Deep Learning"?
Deep Learning atau pembelajaran mendalam dalam penerapannya bukan pengganti Kurikulum Merdeka, melainkan hanya sebuah pendekatan belajar yang menekankan pada pemahaman mendalam, berpikir kritis dan pembelajarannya lebih menyenangkan. Sehingga, fokus utamanya adalah pada pengalaman belajar yang bermakna dan berkelanjutan serta pengembangan ketrampilan abad ke 21.
Pendekatan ini, awalnya dicetuskan oleh Marton dan Säljö pada Tahun 1976 bersama dengan pembelajaran (surface learning). Ia menggagas jika pendekatan ini memiliki tiga prinsip dasar yang wajib ada, antara lain;
Pertama: Pemahaman Mendalam (Meaningful Learning)
Pembelajaran dengan pendekatan ini mendorong siswa untuk tidak hanya menghafal. Tetapi, memahami konsep dan mengaitkan dengan pengetahuan yang sudah ada sebagaimana pernah digagas oleh David Ausubel pada Tahun 1962. Sehingga, siswa dituntut harus berpikir kritis dalam mengidentifikasikan masalah dan mencari solusi dengan menerapkan konsep yang telah dipelajari. Misalnya, dalam pembelajaran siswa tidak hanya menghafal tanggal dan peristiwa. Namun, diperlukan pemahaman tentang konsep konteks historis, penyebab dan kemungkinan penyebab atau dampak yang ada dan akan terjadi.
Kedua: Pembelajaran yang Bermakna (Mindful Learning)
Pembelajaran dengan pendekatan ini juga diharapkan kehadiran guru sungguh memperhatikan pemenuhan akan kebutuhan siswa terlebih dari aspek minat dan bakat belajarnya agar hasilnya relevan dan bermakna. Sehingga, dalam pembelajarannya siswa diberi kesempatan dan kebebasan dalam berdiskusi, bereksperimen dan mengeksplorasikan isi materi secara lebih komprehensif. Misalnya siswa yang tertarik dengan seni dapat terlibat dalam ragam kegiatan seni dengan menuangkan ide dan mengembangkan kreativitas mereka.
Ketiga: Pembelajaran yang Menyenangkan (Joyful Learning)
Akhirnya pembelajaran dengan pendekatan ini juga diharapkan mampu menciptakan suasana yang menyenangkan dan positif.
Untuk itu, siswa wajib diberikan kesempatan untuk berpartisipasi aktif, berkolaborasi agar merasakan kegembiraan dalam proses belajar. Misalnya, saat proses pembelajaran belajarnya sambil bermain peran, mengadakan simulasi dan atau mengadakan eksperimen yang menyenangkan guna mencairkan suasana belajar.
Apa saja Filosofi Hidup Orang Mee di Tanah Papua?
Sebagaimana suku bangsa lain di dunia, Ikigai (empat alasan atau makna hidup bagi Orang Jepang), Confusius (pengembangan kebijakan bagi Orang Cina), Pancasila (lima pandangan dasar hidup Orang Indonesia), Suku Mee Pedalaman Papua juga memiliki filosofi dalam kehidupannya. Ada tiga nilai hidup yang telah ada dan senantiasa dijadikan sebagai acuan dalam setiap bertingkah, antara lain: "Dou" artinya Melihat dan Menyimak (look), "Gai" artinya Berpikir (think) dan "Ekowai" artinya Bertindak (act).
Perlu diketahui bahwa ketiga nilai hidup Orang Mee di Pedalaman Papua ini telah ada dan diwarisi secara turun temurun sejak zaman nenek-moyang. Hal ini, berarti bahwa ia telah ada sebelum agama dan pendidikan masuk di wilayah tersebut.
Pertama: "Dou" yang berarti Melihat dan Menyimak (Look)
"Dou" adalah kata kerja (verb) dalam Bahasa Mee yang artinya melihat dan atau mengamati (look). Kata tersebut dalam aplikasinya memiliki konotasi yang lebih luas dan dalam. Sehingga, kata tersebut tidak mengacuh hanya pada aktivitas melihat yang dilakukan oleh indra penglihatan atau mata.
Akan tetapi, ia memiliki makna melihat sembari membaca situasi yang tak terlihat oleh mata. Kata ini lazim dipakai dalam konteks pemberian saran atau wejangan kepada seseorang agar tidak terjerumus kedalam sesuatu yang tidak diinginkan.
Kedua: "Gai" yang berarti Berpikir dan atau Menyimak (Think)
"Gai" adalah kata kerja (verb) dalam Bahasa Mee yang artinya berpikir dan atau menyimak "think". Orang Mee pada umumnya meyakini bahwa setelah melakukan aktivitas melihat dan mengamati tidaklah cukup untuk memahami suatu objek dengan saksama.
Selanjutnya, setiap orang membutuhkan yang namanya berpikir dan atau menyimak dengan memberikan penilaian terhadap apa yang telah dilihat oleh mata. Hal ini sangat penting agar seseorang mendapatkan pemahaman yang baik dan benar terhadap objek yang telah diamati.
Kata berpikir ini juga selalu diucapkan orang saat memberikan saran dan motivasi serta wejangan kepada seseorang agar apa saja yang mau dilakukan berjalan dengan lancar dan baik tanpa menganggu keamanan dan kenyamanan pihak lain yang ada di sekitar.
Ketiga: "Ekowai" yang berarti Bertindak dan atau Melakukan (Act).
"Ekowai" adalah kata kerja (verb) dalam Bahasa Mee yang artinya bertindak dan atau melakukan (act). Orang Mee sejak jaman nenek moyang meyakini bahwa sesuatu yang dilakukan atau dikerjakan tanpa melihat dan berpikir serta memahaminya dengan seksama, maka kemungkinan besar aksi tersebut akan gagal ataupun mendapatkan hasil yang tidak maksimal.
Bahkan, aktivitas tersebut bisa saja membawa malapetaka terhadap diri sendiri juga orang lain di sekitar. Oleh sebab itu, keterlibatan aktivitas "Dou" melihat (look), dan "Gai" berpikir (think) sebelum "Ekowai" bertindak (act) menjadi syarat yang mutlak agar mendapatkan hasil yang baik dan tidak mengganggu hak asasi orang lain.
Mendulang Kesamaan Nilai Filosofis
Pendekatan belajar baru yang digagas oleh Mendikdasmen ini ada kesamaan mendasar dengan Falsafah Hidup Orang Mee di Pedalaman Papua.
Pertama, agar pembelajaran terlaksana dengan aman dan lancar, maka pertama siswanya harus diajak untuk menyadari bahwa diri mereka adalah individu yang unik (mindful). Jika dalam tradisi Suku Mee maka hal ini berkaitan dengan, sebelum melakukan sesuatu seorang siswa harus dapat melihat dan memahami benar tentang dirinya terlebih dahulu (dou dan gai).
Kedua, pembelajaran harus dapat mendorong siswa untuk berpikir dan terlibat aktif dalam setiap kegiatan belajar (meaningful). Berkaca pada kebiasaan Orang Mee, maka siswa hendaknya selalu dianjurkan untuk berpikir matang lalu bertindak dalam hal apa saja (gai dan ekowai).
Ketiga, proses pembelajaran harus menyenangkan agar hal yang dipelajari berfaedah (joyful). Kebiasaan Orang Mee setelah melakukan sesuatu adalah berjaga-jaga dengan penuh ceria (ekowai dan ewanai).
Peran Guru dalam Pengembangan Pendidikan di Wilayah Adat Meepago
Ada lima peran utama yang dituntut bagi guru dalam penerapan pendekatan Deep Learning, antara lain:
Pertama, dapat menjadi fasilitator yang mampu membimbing siswa dalam proses pembelajaran, bukan hanya sebagai penyampai informasi. Harapannya, agar siswa dapat menciptakan pengalaman belajar yang bermakna dan berpikir kritis.
Kedua, dapat menjadi mentor yang mampu membimbing siswa dalam mengembangkan pemahaman mendalam tentang materi yang dipelajari dan memberikan dukungan dalam mengatasi kesulitan belajar.
Ketiga, dapat menjadi aktivator yang mampu membangkitkan rasa ingin tahu dan partisipasi aktif siswa melalui berbagai kegiatan pembelajaran yang menarik dan relevan dengan kehidupan sehari-hari.
Keempat, dapat menjadi pembangun budaya yang mampu menciptakan lingkungan belajar yang positif, aman, nyaman, dan mendukung perkembangan setiap siswa.
Kelima, dapat menjadi evaluator yang mampu mengevaluasi perkembangan siswa dan memberikan umpan balik konstruktif untuk membantu mereka terus berkembang.
Kesimpulan
Pendekatan belajar mendalam (deep learning) memiliki tiga prinsip utama yang wajib diakomodir oleh guru dalam proses belajar mengajar. Ketiga prinsip tersebut antara lain;
(a) belajar dengan kesadaran (mindful learning);
(b) belajar dengan makna (meaningful learning), dan
(c) belajar dengan kegembiraan (joyful learning).
Sementara Falsafah Hidup Orang Mee di Papua juga memiliki tiga nilai penting, antara lain: melihat atau menyimak (dou), berpikir dengan matang (gai) dan bekerja dengan suka cita (ekowai).
Dengan demikian, bagi siapa saja yang berperan penting dalam implementasi pendidikan di Wilayah Adat Meepago Papua Tengah wajib diketahui bahwa Orang Mee memiliki ketiga nilai luhur yang sama persis dengan prinsip pembelajaran mendalam.
Berharap catatan ini akan menjadi referensi penting dalam mengembang tugas guru sebagai fasilitator, mentor, aktivator, pembangun budaya dan evaluator.
Akhir kata "Selamat Hari Guru Nasional 2025".
Penulis adalah dosen UPP FKIP Universitas Cenderawasih Kampus Nabire Papua Tengah
Editor: Melkianus Dogopia