
[Tabloid Daerah], Nabire -- Masyarakat Dani dari berbagai elemen menggelar pertemuan perdana guna mencari solusi pengungsi pasca konflik Suku Dani dan Mee di Topo dan Urumusu, Kabupaten Nabire.
Hal itu disampaikan kepada media ini, Koordinator Pertemuan, Oktovianus Tabuni, Sabtu (11/10/2025), sore pukul 16.00 WIT di Lapangan Bola Voli, Kampung Kali Susu, Distrik Nabire, Kabupaten Nabire, Provinsi Papua Tengah.
Oktovianus kerap disapa Okto menyatakan pihaknya telah menggelar rapat perdana lintas elemen masyarakat Lani yang berdampak pasca konflik Topo di Kabupaten Nabire pada Hari Jumat pekan kemarin, 3 Oktober 2025 di Lapangan Bola Voli, Kali Susu, Nabire.
Okto menjelaskan masyarakat Dani yang berdampak itu, mengungsi di Nabire Kota kondisi sosialnya sangat memprihatinkan. Konflik Tapal Batas tanah yang pecah pada, 5 Juni 2023 di Urumusu dan Topo Jaya tidak hanya merenggut korban jiwa dan harta benda. Tetapi juga, memaksa banyak masyarakat dari Kilometer (Km) 80, Km 74, Kali Adai, Km 62, Cenderik, hingga Km 58 meninggalkan tempat pedulangan mereka.
"Mereka mengungsi ke kota dan kini tersebar di sejumlah titik di Nabire kota menghadapi kondisi sosial yang sangat memprihatinkan," jelas Okto.
Kesulitan Ekonomi
Okto mengatakan saat rapat perdana berlangsung, pengungsi masyarakat dani sebagian besar masyarakat sebelumnya menggantungkan hidup dari pedulangan.
"Setelah konflik Dani-Mee di Topo dan Urumusu, mereka harus mengungsi ke kota. Ini berakibat juga, mereka kehilangan akses makan dan minum," kata Okto meneruskan curahan hati masyarakat pengungsi.
Okto bercerita, di kota, mereka tidak memiliki pekerjaan tetap, hanya mengandalkan kerja serabutan. Seperti, kuli bangunan, bertani di lahan keluarga, atau menjual hasil hutan dalam jumlah kecil.
"Pendapatan yang diperoleh tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Karena, pekerjaan yang tidak sesuai. Bahkan, banyak keluarga hanya bisa makan sekali sehari, mirisnya sering mengandalkan bantuan dari kerabat," tandasnya.
Ia mengungkapkan kondisi rumah pengungsian yang dihuni dua sampai lima kepala keluarga (KK) dalam satu rumah membuat biaya hidup semakin besar, sementara pemasukan minim.
"Hal ini juga, menimbulkan setiap hari suami dan istri berkelahi akibat kekurangan makan minum, juga anak tidak bisa disekolahkan," ungkap Okto berauk sedih.
Pendidikan Anak
Okto menyebutkan Anak-anak pengungsi yang sebelumnya sekolah dibiayai orang tua, kini terhenti pendidikannya.
"Ketiadaan biaya membuat mereka kesulitan membayar SPP, seragam, buku, dan transportasi ke sekolah," sebut Okto Tabuni yang akrab bersama orang Mee.
"Banyak anak akhirnya membantu orang tua mencari uang dengan bekerja serabutan atau menjaga adik. Sehingga, risiko putus sekolah sangat tinggi," tambahnya.
Menurutnya, selain biaya, perasaan trauma dan ketidaknyamanan tinggal di pengungsian membuat anak-anak sulit berkonsentrasi untuk belajar.
Kesulitan Akses Kesehatan
Okto menyampaikan pengungsi yang sakit atau mengalami cedera akibat terbentur biaya cukup besar. Banyak dari mereka tidak memiliki jaminan kesehatan (BPJS). Sehingga, untuk berobat ke Puskesmas atau Rumah Sakit harus membayar penuh.
"Akibatnya, masyarakat lebih sering mengandalkan obat tradisional atau menahan sakit, yang justru memperparah kondisi. Kasus gizi buruk, infeksi kulit, dan penyakit pernapasan mulai banyak dialami, terutama anak-anak dan lansia di pengungsian," ungkapnya.
Kehidupan Sosial dan Psikologis
Dari pertemuan itu, Okto membeberkan kisah masyarakat dani, sebelumnya hidup rukun, saling berbagi suka, dan duka, kini mengalami retaknya hubungan sosial akibat konflik.
"Hidup berdesakan di pengungsian membuat tensi sosial meningkat. Karena, ruang gerak terbatas, fasilitas sanitasi tidak memadai, dan bisa juga memicu-muncul konflik baru terkait kebutuhan dasar," beber Okto.
Lebih lanjut, banyak warga terutama anak-anak dan perempuan, mengalami trauma mendalam akibat beban hidup terlalu besar.
"Berdasarkan riset, persoalan yang dialami masyarakat pengungsi dari Mister Pilips hingga KM 80. Maka, perlu memberi solusi yang kongkrit agar menyelamatkan mereka dari krisis ekonomi, pendidikan, dan Ham/kesehatan," lanjutnya.
Sejumlah poin inilah, masyarakat dani melakukan diskusi terbuka untuk menjaring segala keluh dan kesah serta membuat resolusi sebagai upaya mengembalikan masyarakat dari tempat pengungsi. Selain itu, sebagai bentuk kepedulian dari sisi kemanusiaan.
Hasil Rapat
Okto menegaskan ada beberapa poin yang juga menjadi rekomendasi rapat perdana ini.
"Membentuk Tim resolusi konflik topo. Tim menyiapkan form pendataan, masyarakat pengungsi yang berada di semua titik dating ambil dan melakukan pendataan segala korban materiil," tegasnya.
Okto menuturkan pihaknya menyiapkan segala data, bila datanya fix maka tim akan menyurat ke pihak yang berwewenang untuk duduk bersama, mencari solusi.
"Bila upaya pertama tidak menemukan titik terang maka, masyarakat besepakat untuk melakukan demo damai terhadap pemerintah," tutur Okto.
Okto bersama pihaknya beharap agar tidak membangun isu provokatif di antara kita sesama teman-teman suku lain sebagai upaya menjaga stabilitas.(*)
Penulis: Kebagibui Deto