
[Tabloid Daerah], Nabire – Sekira Pukul 10 massa aksi tolak Blog B. Wabu yang tergabung dalam Front Mahasiswa dan Rakyat Intan Jaya masih bergantian orasi di titik kumpul Pasar Karang, Nabire, Papua Tengah, pada Kamis (17/7), Siang. Pasalnya mereka saling menunggu massa dari titik kumpul aksi yang lain.
“Blok B Wabu adalah saya. Blok Wabu adalah hidup saya.
Membiarkan Blok Wabu dihancurkan, itu sama dengan membuat diri Saya hancur,
membuat hidup Saya hancur,” begitu teriakan seorang pemuda dengan berpakaian
kebesaran kampus di ujung megaphonenya.
“Kami masih saling menunggu massa dari titik kumpul Wadio
dan dari bagian SP 1,” beber Ando Douw mengkonfirmasi kepada awak ini. Bahwa
selain menunggu massa aksi dari titik kumpul Satuan Perubahan atau SP 1, mereka
juga sedang menunggu konfirmasi dari titik kumpul dari arah Nabire Barat yang
dipusatkan di depan Rumah Sakit Umum Daerah (SRUD) Nabire yang berlokasi di
Siriwini, Ibu Kota Papua Tengah.
Ditengah massa bergantian orasi itu dua orang mama-mama dari
pedagang Pasar Karang juga ikut turut bersolidaritas dengan memberikan beberapa
karton air mineral diantar langsung di tengah massa aksi.
Sementara di depan para massa yang sedang duduk menghadap
para orator itu, seorang Mama, juga pedagang, diberikan kesempatan berorasi.
Mama yang sedari tadi menunggu kesempatan itu mengawali
orasi pembuka dengan minta semua massa pendemo untuk mengangkat tangan kiri,
“Hidup Mahasiswa”
“Hidup.”
“Hidup mama-mama pasar”
“Hidup”
“Hidup anak-anak kecil, tapi besok kalian orang besar,”
“Hidup”
Teriakan itu kedengarannya senada dengan kepalan tangan para
pendemo. Ia menyampaikan bahwa dirinya akan bicara mewakili mama-mama Pasar.
![]() |
Situasi saat mama-mama pedagang Pasar Karang mengantar dua karton air mineral untuk massa aksi di titik kumpul pasar karang, Kamis (7/17) siang. |
Perempuan kulit coklat hitam berbaju putih oblong itu
memulai orasinya dengan sebuah pertanyaan yang sederhana, jelas, tetapi penuh
tekanan.
“Di lima benua ini, benua mana yang kosong [tidak
berpenghuni]?” Katanya di ujung megaphone itu. Sontak massa menjawab dengan
serentak mengatakan “tidak ada.”
Ia mengulang mempertegas bahwa memang tak ada benua yang tak berpenghuni. Sebagai Masyarakat adat, mama-mama berpengetahuan bahwa di Papua, yang masih terlihat hutan sekali pun, sudah terbagi berdasarkan suku, marga, hingga sub marga. Dan itu berlaku turun temurun bagi Masyarakat adat.
Papua tak ada tanah kosong. Ini lah pemahaman umum yang sudah terwarisi dan terbangun menjadi pengetahuan
dalam alam pikir Masyarakat adat Papua. Dan itu sudah menjadi hukumnya,
mengambil dan mengolah alam di batas wilayah orang lain, marga lain, bahkan
suku lain, maka itu sudah melanggar.
“Kalau Manusia, yang punya [pemilik] katakana tidak, berarti
tidak usahlah. Tidak usah memaksa.” Pintanya tegas, mengatakan bahwa barang
milik orang lain, itu hak miliknya. Ia mengatakan hak menguasai atas sesuatu
tak perlu diambil dengan cara yang paksa dan keji.
“Tidak boleh ambil dengan tembak-tembak,” tegasnya, apa lagi
mencuri dengan cara yang tidak bertanggungjawab.
“Kalau yang punya [pemilik] berikan, maka ambil. Kalau
tidak, tidak perlu memaksa.” Tegas Ibu itu berorasi seperti para orator lainnya
yang selalu memberikan penegasan pada akhir penjelasan, menegaskan apa yang
sedang terjadi hari ini, aksi tentang penolakan blok B. Wabu tersebut memiliki
alasan kuat dan benar.
Tanah Papua ini milik anak negeri ini. Tanah ini milik
anak-anak kaki kosong, berpenampilan jelek ini. Mereka lah pemiliknya. Begitu
kata-kata itu terdengar di ujung pengeras suara dengan berulang kali Ia
mengucapkan. “Anak-anak kecil bicara kalau itu dia punya dan tidak, maka itu
dia pemiliknya. Apa lagi orang-orang besar,” ucapnya lagi.
Sementara itu orator lain dari mama-mama pedagang Pasar
Karang menyampaikan rasa prihatin terhadap kondisi Masyarakat Intan Jaya.
mengingat kondisi perang dan Masyarakat masih terus mengungsi akibat perang
konflik bersenjata, Ia bahkan dengan berani mempertanyakan kepada Pemerintah
Provinsi Papua Tengah dan Pemerintah Daerah Kab. Intan Jaya tentang siapa yang
menguntungkan atas keberadaan Blok B. Wabu yang telah/sedang digencar untuk di
eksploitasi.
“Berapa sumber Daya Manusia yang sudah disiapkan di Intan
Jaya? Orang asli di Intan Jaya itu bisa dihitung dengan jari. Jadi Perusahaan
besar itu untuk siapa?” tanya orator ibu asal suku Mee itu mengingatkan apapun
ada di Papua, termasuk kekayaan alam, harus diperuntukkan dan wajib dinikmati
pula oleh orang asli atau Masyarakat adat Papua, khususnya masyarakat adat
setempat.
“Tanah Papua itu milik orang Papua.” katanya lagi dengan
suara yang meninggi menandakan dirinya sedang menegaskan tentang hak
kepemilikan.
Perihal kemajuan SDM ini, menurutnya dalam orasi itu,
Pemerintah Daerah baik provinsi juga kabupaten mesti membicarakannya serius.
“Jangan bicara banyak tentang pemekaran, [yang nantinya akan berdampak pada]
membunuh anak-anak generasi Papua, mencuri kekayaan alam papua secara diam-diam
[tanpa diketahui pemiliknya yang sementara sedang berada di kamp pengungsian].”
Katanya lagi.
Kemudian, salah satu orator, Wallo, mengatakan bahwa yang
paling pertama berdampak dari keberadaan Perusahaan tersebut adalah mama-mama.
Dirinya mengatakan bahwa keberadaan Perusahaan akan berdampak pada kehilangan
lahan Perkebunan yang selama ini mayoritas Perempuan yang olah.
“Dengan begitu mama-mama sudah tidak ada lagi sarana untuk
menghasilkan segala sesuatu untuk hidup. Tak ada lagi mama-mama jualan sayur
dan hasil olahan lainnya karena tanah yang menjadi sumber utama sudah dilahap
Perusahaan. Sekali pun ada, itu pun akan berdampak dari racun limbah yang
terjadi seperti di Tanah Amungsa hari ini,” bebernya mengutip orasi pria yang
mengenakan baju kebesaran kampus itu.
Wollo menambahkan bahwa membiarkan Perusahaan masuk sama dengan membiarkan mama-mama mengalami keterasingan dari sarana sumber penghidupannya. Membiarkan Perusahaan melahap tanah, sama halnya dengan membiarkan mama-mama kehilangan semangat dan jati dirinya. [*]