Iklan

iklan

Mama-Mama Pasar Karang Ikut Bersolidaritas Dalam Aksi Tolak Blok Wabu

Yohanes Gobay
7.17.2025 | 9:00:00 PM WIB Last Updated 2025-07-18T14:02:42Z
iklan

Situasi saat Ibu (berbaju putih dengan Megaphone di tangan) perwakilan mama-mama pasar saat sedang berorasi di depan massa aksi tolak blok B. Wabu yang di pelopori oleh front Mahasiswa dan Rakyat Intan Jaya, pada Kamis (7/17) siang, di Pasar Karang. 

[Tabloid Daerah], Nabire – Sekira Pukul 10 massa aksi tolak Blog B. Wabu yang tergabung dalam Front Mahasiswa dan Rakyat Intan Jaya masih bergantian orasi di titik kumpul Pasar Karang, Nabire, Papua Tengah, pada Kamis (17/7), Siang. Pasalnya mereka saling menunggu massa dari titik kumpul aksi yang lain.

 

“Blok B Wabu adalah saya. Blok Wabu adalah hidup saya. Membiarkan Blok Wabu dihancurkan, itu sama dengan membuat diri Saya hancur, membuat hidup Saya hancur,” begitu teriakan seorang pemuda dengan berpakaian kebesaran kampus di ujung megaphonenya.

 

“Kami masih saling menunggu massa dari titik kumpul Wadio dan dari bagian SP 1,” beber Ando Douw mengkonfirmasi kepada awak ini. Bahwa selain menunggu massa aksi dari titik kumpul Satuan Perubahan atau SP 1, mereka juga sedang menunggu konfirmasi dari titik kumpul dari arah Nabire Barat yang dipusatkan di depan Rumah Sakit Umum Daerah (SRUD) Nabire yang berlokasi di Siriwini, Ibu Kota Papua Tengah.

 

Ditengah massa bergantian orasi itu dua orang mama-mama dari pedagang Pasar Karang juga ikut turut bersolidaritas dengan memberikan beberapa karton air mineral diantar langsung di tengah massa aksi.

 

Sementara di depan para massa yang sedang duduk menghadap para orator itu, seorang Mama, juga pedagang, diberikan kesempatan berorasi.

 

Mama yang sedari tadi menunggu kesempatan itu mengawali orasi pembuka dengan minta semua massa pendemo untuk mengangkat tangan kiri,

 

“Hidup Mahasiswa”

 

“Hidup.”

 

“Hidup mama-mama pasar”

 

“Hidup”

 

“Hidup anak-anak kecil, tapi besok kalian orang besar,”

 

“Hidup”

 

Teriakan itu kedengarannya senada dengan kepalan tangan para pendemo. Ia menyampaikan bahwa dirinya akan bicara mewakili mama-mama Pasar.


Situasi saat mama-mama pedagang Pasar Karang mengantar dua karton air mineral untuk massa aksi di titik kumpul pasar karang, Kamis (7/17) siang. 


 

Perempuan kulit coklat hitam berbaju putih oblong itu memulai orasinya dengan sebuah pertanyaan yang sederhana, jelas, tetapi penuh tekanan.

 

“Di lima benua ini, benua mana yang kosong [tidak berpenghuni]?” Katanya di ujung megaphone itu. Sontak massa menjawab dengan serentak mengatakan “tidak ada.”

 

Ia mengulang mempertegas bahwa memang tak ada benua yang tak berpenghuni. Sebagai Masyarakat adat, mama-mama berpengetahuan bahwa di Papua, yang masih terlihat hutan sekali pun, sudah terbagi berdasarkan suku, marga, hingga sub marga. Dan itu berlaku turun temurun bagi Masyarakat adat. 


Papua tak ada tanah kosong. Ini lah pemahaman umum yang sudah terwarisi dan terbangun menjadi pengetahuan dalam alam pikir Masyarakat adat Papua. Dan itu sudah menjadi hukumnya, mengambil dan mengolah alam di batas wilayah orang lain, marga lain, bahkan suku lain, maka itu sudah melanggar.

 

“Kalau Manusia, yang punya [pemilik] katakana tidak, berarti tidak usahlah. Tidak usah memaksa.” Pintanya tegas, mengatakan bahwa barang milik orang lain, itu hak miliknya. Ia mengatakan hak menguasai atas sesuatu tak perlu diambil dengan cara yang paksa dan keji.

 

“Tidak boleh ambil dengan tembak-tembak,” tegasnya, apa lagi mencuri dengan cara yang tidak bertanggungjawab.

 

“Kalau yang punya [pemilik] berikan, maka ambil. Kalau tidak, tidak perlu memaksa.” Tegas Ibu itu berorasi seperti para orator lainnya yang selalu memberikan penegasan pada akhir penjelasan, menegaskan apa yang sedang terjadi hari ini, aksi tentang penolakan blok B. Wabu tersebut memiliki alasan kuat dan benar.

 

Tanah Papua ini milik anak negeri ini. Tanah ini milik anak-anak kaki kosong, berpenampilan jelek ini. Mereka lah pemiliknya. Begitu kata-kata itu terdengar di ujung pengeras suara dengan berulang kali Ia mengucapkan. “Anak-anak kecil bicara kalau itu dia punya dan tidak, maka itu dia pemiliknya. Apa lagi orang-orang besar,” ucapnya lagi. 


Sementara itu orator lain dari mama-mama pedagang Pasar Karang menyampaikan rasa prihatin terhadap kondisi Masyarakat Intan Jaya. mengingat kondisi perang dan Masyarakat masih terus mengungsi akibat perang konflik bersenjata, Ia bahkan dengan berani mempertanyakan kepada Pemerintah Provinsi Papua Tengah dan Pemerintah Daerah Kab. Intan Jaya tentang siapa yang menguntungkan atas keberadaan Blok B. Wabu yang telah/sedang digencar untuk di eksploitasi.

 

“Berapa sumber Daya Manusia yang sudah disiapkan di Intan Jaya? Orang asli di Intan Jaya itu bisa dihitung dengan jari. Jadi Perusahaan besar itu untuk siapa?” tanya orator ibu asal suku Mee itu mengingatkan apapun ada di Papua, termasuk kekayaan alam, harus diperuntukkan dan wajib dinikmati pula oleh orang asli atau Masyarakat adat Papua, khususnya masyarakat adat setempat.

 

“Tanah Papua itu milik orang Papua.” katanya lagi dengan suara yang meninggi menandakan dirinya sedang menegaskan tentang hak kepemilikan.

 

Perihal kemajuan SDM ini, menurutnya dalam orasi itu, Pemerintah Daerah baik provinsi juga kabupaten mesti membicarakannya serius. “Jangan bicara banyak tentang pemekaran, [yang nantinya akan berdampak pada] membunuh anak-anak generasi Papua, mencuri kekayaan alam papua secara diam-diam [tanpa diketahui pemiliknya yang sementara sedang berada di kamp pengungsian].” Katanya lagi.

 

Kemudian, salah satu orator, Wallo, mengatakan bahwa yang paling pertama berdampak dari keberadaan Perusahaan tersebut adalah mama-mama. Dirinya mengatakan bahwa keberadaan Perusahaan akan berdampak pada kehilangan lahan Perkebunan yang selama ini mayoritas Perempuan yang olah.

 

“Dengan begitu mama-mama sudah tidak ada lagi sarana untuk menghasilkan segala sesuatu untuk hidup. Tak ada lagi mama-mama jualan sayur dan hasil olahan lainnya karena tanah yang menjadi sumber utama sudah dilahap Perusahaan. Sekali pun ada, itu pun akan berdampak dari racun limbah yang terjadi seperti di Tanah Amungsa hari ini,” bebernya mengutip orasi pria yang mengenakan baju kebesaran kampus itu.

 

Wollo menambahkan bahwa membiarkan Perusahaan masuk sama dengan membiarkan mama-mama mengalami keterasingan dari sarana sumber penghidupannya. Membiarkan Perusahaan melahap tanah, sama halnya dengan membiarkan mama-mama kehilangan semangat dan jati dirinya. [*]

Baca Juga
iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Mama-Mama Pasar Karang Ikut Bersolidaritas Dalam Aksi Tolak Blok Wabu
iklan
iklan
iklan
iklan
iklan

Trending Now

Iklan

iklan