
![]() |
Victor Yeimo, Juru Bicara Internasional Organisasi Komite Nasional Papua Barat (KNPB). Doc pribadi VY |
Oleh: Vicyor F. Yeimo *
*) Penulis adalah juru bicara internasional Organisasi Komite Nasional Papua Barat (KNPB)
Aksi ribuan rakyat Papua di Nabire, 17 Juli 2025, adalah peringatan keras: rakyat menolak tambang, menolak perampasan, menolak genosida diam2 atas nama pembangunan. Blok Wabu bukan proyek biasa, ia adalah ladang emas kolonial seluas 69.118 hektare di Intan Jaya, dengan cadangan kurang lebih 8,1 juta ounce emas yang ditargetkan negara lewat Perpres No. 109 Tahun 2020 sebagai Proyek Strategis Nasional. Tapi di balik kata “strategis” itu tersembunyi bencana ekologis dan tragedi kemanusiaan.
Tanpa persetujuan bebas dan sadar (FPIC) dari masyarakat adat pemilik ulayat, negara menyerahkan tanah warisan leluhur ini ke PT ANTAM dan induknya, MIND ID. Air Sungai Wabu dan Kemabu, tanah kebun, hutan berburu, kampung adat, semua dikapling jadi lubang tambang. Hanya satu tujuan: menguras emas dan menghancurkan rakyat Papua.
Sejak proyek diumumkan, Intan Jaya jadi zona operasi militer. Amnesty (2022) mencatat 60+ warga sipil tewas, 6.000+ mengungsi. Data terbaru Human Rights Monitor (2025) menunjukkan 7.000–10.000 orang terusir dari Hitadipa, Sugapa, dan Agisiga akibat pemboman dan penembakan oleh TNI; dua warga dieksekusi, lima luka, tujuh hilang. Sekolah tutup, layanan kesehatan lumpuh total. Pemerintah tetapkan status tanggap darurat Mei 2025, tapi akses bantuan terhalang. Semua ini bukan kebetulan, tapi strategi sistematis: kosongkan kampung, masukkan tambang.
Proyek Blok Wabu akan menjadi proyek konkret ekosida dan etnosida. Air bersih akan diracuni limbah tambang, tanah pangan akan dihancurkan alat berat, budaya akan disapu bersih oleh kebijakan negara. Rakyat Papua sudah dipaksa menjadi pengungsi di tanahnya sendiri. Inilah wajah pembangunan dalam sistem kapitalisme kolonial: rampok kekayaan alam, bunuh manusianya, lalu bungkam suara-suara perlawanan dengan peluru dan penjara.
Tak ada tambang yang netral. Freeport di Timika sudah menjadi bukti berdarah sejak 1967 (ratusan ribu hektar hutan dihancurkan, sungai Ajkwa jadi kuburan limbah beracun, dan ribuan orang kehilangan hidup, tanah, dan masa depan). Blok Wabu akan jadi episode baru dari horor yang sama. Dalam setiap ton emas, ada darah, air mata, dan nyawa manusia Papua.
Negara hari ini bukan sekadar gagal melindungi rakyat, tapi ia adalah pelaku utama kejahatan. Negara menjadi makelar kapital: membuat regulasi, mengerahkan tentara, memanipulasi narasi “pembangunan” untuk menutupi fakta kolonialisme. Aparat digunakan untuk menyiksa, menembak, dan menangkap rakyat yang menolak tambang.
Karena itu, rakyat Papua harus terus tegas menuntut: proyek
Blok Wabu harus dihentikan secara total dan permanen. Aparat militer dan
kepolisian harus segera ditarik dari Intan Jaya dan seluruh wilayah yang
dikapling demi kepentingan tambang. PT ANTAM dan MIND ID sebagai pelaksana
penjajahan ekonomi harus dibubarkan dan seluruh izin tambang dicabut tanpa
syarat. Negara harus bertanggung jawab atas semua kekerasan dan pengusiran yang
telah terjadi, serta mengadili semua pelaku kejahatan atas nama proyek pembangunan.
Dan yang paling fundamental: rakyat Papua berhak penuh untuk menentukan
nasibnya sendiri, termasuk hak untuk menolak tambang, menolak kolonialisme, dan
memilih jalannya sendiri menuju kemerdekaan.
Langkah selanjutnya bagi rakyat Papua adalah memperluas perlawanan di seluruh tanah adat yang terancam investasi kapitalis. Gereja, sekolah, kampung, dan komunitas adat harus menjadi pusat pendidikan politik. Narasi palsu bahwa tambang membawa kesejahteraan harus dihancurkan dengan fakta dan pengalaman rakyat. Kita harus buka data, sebar dampak, dan satukan semua kekuatan masyarakat adat dari Sorong sampai Merauke. Kekuatan ada di tangan rakyat yang sadar, bersatu, dan tak bisa dibeli. Kekuasaan hanya tumbang jika dilawan oleh massa yang terorganisir dan tidak takut. [*]