
![]() |
Ilst. Sumber: Jubi |
Oleh: Maximus Syufi *
Kontributor TaDahNews
27 Tahun sudah berlalu, aroma darah di bawah Menara air masih menyengat. Meninggalkan ingatan penderitaan berkepanjangan, traumatis terstruktur.
8 orang meninggal, 3 orang hilang, 4 orang luka berat, 33 luka ringan, 150 orang ditahan dan disiksa serta 32 jenazah dibuang di laut Biak.
Itu bukan sekedar angka, itu tragedi Kemanusiaan yang dipahat Negara. Luka itu terus berdarah, sejak sang Bintang Fajar berkibar atas dasar Kebebasan Tanah Air Bangsa Papua.
Sejak 1 Juli, Orang Papua berkumpul mengingatkan kembali Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Papua. Peringatan yang sama juga Dibicarakan oleh Masyarakat Biak. Mereka berkumpul di bawah menara air, dan di atas menara tersebut Bendera Bintang Kejora dikibarkan.
Ekspresi kebebasan itu, sekejap jadi lautan berdarah di Biak. Selang sehari, tepat Tanggal 2 Juli 1998, Pasukan Militer tiba di Pulau Biak. Kebebasan berubah jadi kematian.
Bunyi tembakan mulai bergemuruh, dari sisi laut, Peluru mulai berterbangan menuju menara air. Pasukan berseragam lengkap, dengan alat perang yang lengkap mulai menguasai Biak.
Ratusan warga bertahan di Menara Air. Filep Karma terus berorasi, melantungkan ayat-ayat kebebasan. Para Insar dan Mansar mengelilingi menara air, berpelukan melindungi Sang Bintang Kejora yang berkibar. Insar Angganeta Manufandu dan lainnya menyiapkan makan minum, sementara Mansar Filep Karma dan lainnya terus berbicara tentang arti kebebasan.
Tak pandang manusia, tak pandang bulu, tak pandang hak, apalagi demokrasi. Pasukan utusan negara itu, tiba di menara Air, tempat Sang Bintang Kejora berkibar. Semua orang dibubarkan, ditangkap, diperkosa hingga dibunuh.
Suasana Pulau Biak berubah. Asap tembakan menyelimuti Menara air, peluru mengejar tiap sentak kaki yang berlarian. Anak-anak berlarian mencari tempat bersembunyi. Mama-mama memilih bertahan. Bapak Filep terus berorasi. Para pemuda memeluk Menara air.
Bunyi senjata terus mengancam, hingga langit Biak mulai hitam pekat dan membisu.
Tanggal 6 Juli 1998, di bawah menara air hanya tersisa ampas peluru dan bercak darah. Mansar Filep sudah ditangkap. Pemuda-pemudi diseret ke dalam truk. Mama-mama disiksa, diperkosa hingga dibunuh.
Puluhan orang diikat lalu dibuang ke lautan Biak yang biru. Tamparan ombak menyerat satu per satu mayat yang mangapung. Anak-anak bersembunyi di balik putihnya pasir pantai Biak. Mama-mama saling membagi tangis dan saling mencari saudaranya yang hilang.
Tiang Bintang Kejora yang tertancap di pucuk menara air telah patah. Kain kebebasan itu dirobek dan dibakar. Kebebasan telah hilang.
Siapa yang Peduli dengan Kasus Berdarah di Biak? Media telah buta dan bisu. Kematian terabaikan. Bahkan aroma mayat pun tak digubris hidung negara. Hanya ikan-ikan di lautan Biak yang peduli atas tubuh-tubuh yang mengapung.
Negara menyebut peristiwa itu sebagai Upaya menjaga Kedaulatan Negara. Tapi, Generasi Papua menyebutnya Tragedi Kemanusiaan "Biak Berdarah". [*]