
[Tabloid Daerah], Nabire -- Sudah saatnya Orang Asli Papua
(OAP) khususnya pemilik tanah yang terdapat potensi sumber daya alam (SDA)
seperti kehutanan, pertambangan, kelautan dan perkebunan, sesuai aturan yang
berlaku dan kemampuan dapat mengelola potensi sumber daya alam secara mandiri
di wilayah adat mereka, agar OAP tidak terus menjadi penonton yang setia di
atas tanah adatnya. Hal ini dikatakan, Stella Misiro, S. Hut, Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) Provinsi Papua Tengah, ketika menjadi Pembicara dalam
Seminar bertajuk Pembangunan Yang Adil Dan Berkelanjutan “Merangkul Keadilan
Sosial, Merajut Masyarakat Adat Papua, Menjaga Lingkungan” yang
dilaksanakan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Wilayah Papua
gandeng Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) pada Jumat 30 Mei
2025, di Aula Adaman Hotel, Nabire, Papua Tengah.
Lebih lanjut, Misiro, mengatakan, pemerintah yang bijak
adalah pemerintah yang membuat reguĺasi yang tegas dan jelas yang dapat
memberikan perizinan kepada pemilik tanah adat, untuk dapat mengelola potensi
sumber daya alamnya agar mereka Sejahtera di atas tanah adatnya mereka sendiri.
Misiro, selanjutnya mengatakan bila memerlukan investor
karena keterbatasan dana dan peralatan, maka investor yang datang hanya sebagai
Mitra yang bekerja di bawah perizinan yang dimiliki oleh pemilik tanah adat,
bukan sebaliknya pemilik tanah adat menjadi penonton dan investor menjadi
pemilik tanah dengan dalil memiliki izin.
“Ini komitmen kami, agar masyarakat adat menjadi tuan di
negerinya sendiri dan akan kami wujudkan dengan mengusulkan regulasi daerah di
Papua tengah,” tutup Misiro.
Kemudian Emanuel Gobay, S.H., M.H, dari Yayasan Lembaga
Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengatakan Penanam modal yang melakukan
investasi di wilayah Provinsi Papua Tengah harus mengakui dan menghormati
hak-hak masyarakat adat setempat sebagaimana diatur di dalam Pasal 42 ayat (2),
UU Otonomi khusus (otsus). Hal itu disampaikan ketika menjadi pembicara tentang
Hak atas Tanah Masyarakat Adat Papua dalam seminar yang dibikin oleh Walhi dan
Jikalahari tersebut.
“Perundingan yang dilakukan antara Pemerintah Provinsi,
Kabupaten/Kota, dan penanam modal harus melibatkan masyarakat adat setempat,”
jelas Gobay.
Lebih lanjut Gobay menegaskan pengakuan Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang
Pasal 18b ayat (2), UUD 1945.
“Oleh karena itu,” lanjut Gobay, “prinsipnya pemerintah
Provinsi Papua Papua wajib mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan dan
mengembangkan hak-hak masyarakat adat dengan berpedoman pada ketentuan
peraturan Pasal 43 (1), UU Otsus.”
Sebab menurutnya hak masyarakat adat telah dilindungi dalam
peraturan perundang-undangan baik ditingkat nasional hingga internasional.
“Dalam rangka Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah sebagaimana sudah diatur didalam Pasal 28i ayat (4), UUD 1945,” pungkas Gobay menutup. (YoGo)