Iklan

iklan

Kejahatan Kronis Kolonialisme dan Rezista

Editor - Tabloid Daerah
6.25.2025 | 7:46:00 PM WIB Last Updated 2025-06-25T10:46:05Z
iklan

Prosesi pertukaran atau perdagangan budak di Amsterdam, Belanda, karya seniman Jan Luyken (1684). sumber: cnn indonesia
 

Oleh: Robert Allua *
*) Mantan Ketua Aliansi Mahasiswa Papua Kota Malan
g


"Kolonialisme bukanlah mesin berfikir, bukan pula tubuh yang dianugerahi kemampuan berpikir. Kolonialisme adalah kekerasan dalam kondisi alamiahnya, dan akan menyerah ketika berhadapan dengan kekuatan perlawanan yang lebih besar"


Pengertian dan perkembangan


Kolonialisme bagaikan pohon beringin yang tumbuh menjalar menguasai tanah dan musnahkan pepohonan sekitar. Demikian pula paham yang mengakar dalam sumsum otak manusia individu maupun terorganisasi seperti suatu negara yang pada prakteknya dengan paksa membangun kekuasaan di wilayah lain termasuk terhadap manusianya. Seperti pahamnya kolonial melakukan dominasi dan kontrol terhadap politik ekonomi, budaya, hukum, Agama dan lewat pendudukan dengan tujuan utama eksploitasi kekayaan alam manusia juga segalah makhluk hidup lainnya hingga dunia modern ini perkembangan penjajahan meluas merajalela & mematikan.


Pada perkembangannya sejak 500-an tahun lalu, kolonialisme secara praktik telah ada semenjak zaman kuno oleh kekaisaran Yunani Kuno, Romawi Kuno, dan Mesir Kuno. Abad ke-15 kolonialisme modern, dimulai saat Portugis berupaya menemukan jalur perdagangan baru mencari  peradaban di luar Eropa dan jejak yang sama diikuti oleh bangsa Spanyol dipimpin oleh Christopher Columbus, kemudian menjelajah ke barat. Dari sanalah kolonialisme bermula setelah Columbus menemukan Amerika, akhirnya memberi jalan bagi Spanyol dan bangsa Eropa lainnya untuk menjajah suku Indian di Amerika. Praktek penguasaan perampasan dengan kekerasan yang sama pula dilakukan oleh Portugis terhadap orang-orang di timur Afrika. Hingga akhirnya portugis menguasai perdagangan antara Afrika, Cina, India termasuk kepulauan Melayu (nusantara) dan lautan Atlantik, Amerika selatan dikuasai oleh Spanyol dengan kekuatan tentara lengkap, Spanyol taklukan penduduk asli tanah-tanah milik mereka dikuasai menjadi milik Spanyol orang-orang pribumi dipekerjakan bekerja diladang tebu, kopi tembakau, kapas dan bekerja di tambang-tambang emas, tembaga semua hasil keringat orang asli yang diperbudak kemudian dibawah ke Eropa (Jonsson & Baum, 2010).


Abad ke-18 di Lancashire, Inggris, Industri permesinan berkembang para kapitalis membayar ahli-ahli mesin, untuk menciptakan mesin-mesin baru seperti Mesin kapal laut bertenaga uap, kereta api sebagai alat transportasi hingga bunyi mesin terdengar dimana-mana, mesin melakukan berbagai kerja, pabrik-pabrik tumbuh makin banyak, dan asap pabrik menutupi bumi dan langit. Hasil produksi makin bertambah berbagai alat transportasi mengangkut barang barang yang telah diproduksi ke berbagai negeri untuk menjual dan akumulasi kekayaan. Kemajuan sangat pesat ini, tidak berjalan dengan muda atau hasil kerja individu kapitalis, namun tentu saja hasil keringat kolektif banyak orang para buruh dari berbagai suku bangsa  yang bekerja siang-malam dalam kondisi kesengsaraan. Seperti anda ketahui, bahwa kini semuanya maju pesat dan kapitalis di berbagai Negeri berdiri kokoh dan bersamaan itu pula kekerasan dan kesengsaraan selimuti kehidupan umat manusia. Ini dirasakan tidak hanya oleh manusia dan tentunya dirasakan juga oleh alam dan makhluk lainnya yang eksistensinya makin merosot terancam punah. Dahulu hingga sekarang para kapitalis untuk menjalankan tujuan ekspansi atau perluasan kekuasaan untuk penjajahan, eksploitasi, dan akumulasi tidak berjalan sendirian sudah tentu kolonial lah pemandu jalannya dan para tentara lengkap dengan senjata bayonet pesawat tempur dan bermacam-macam jenis kendaraan berlapis baja disentralisasikan guna pengamanan akses modal (Rydberg et al., 2010).


Abad ke-19 hingga awal abad ke-20, Imperialisme klasik berwujud dalam kolonialisme langsung, dengan negara-negara barat menguasai Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Namun, pasca perang Dunia II, berganti bentuk penjajahan langsung digantikan dengan neokolonialisme penguasaan tidak lagi melalui pendudukan militer, melainkan melalui pengendalian ekonomi, teknologi, dan kebijakan politik luar negeri. Sejarah singkat imperialisme, diringkas oleh seorang Comrade dan di unggah di perpustakaan online (@tekoodayalanan).


Seperti penjelasan singkat di atas, praktek penguasaan dan dominasi memang, tidak hanya secara langsung tetapi pada era modern ini dengan kendali ekonomi, teknologi, dan kebijakan luar negeri seperti  Imperialisme Amerika yang mendominasi di negara-negara dunia ketiga. Juga negara-negara kapitalis maju memainkan peran teknologi modern yang merupakan perang dingin gaya baru tanpa keterlibatan militer dan senjata melainkan, perang teknologi inovasi serta ekonomi misalnya negara super power AS, dan Cina yang terus bersaing demi perdagangan global. Persaingan produksi kendaraan listrik, teknologi komunikasi dan informasi, persenjataan militer, kecerdasan buatan AI, dan persaingan industri Cip semikonduktor yang merupakan otak dari semua perangkat teknologi modern. Namun, tidak menutup kenyataan bahwa penjajahan oleh negara kolonial akibat imperialisme yang menjadikan negara berkembang sebagai alat dominasi. Kita ketahui kolonialisme di planet ini, dari urat nadi sampai dalam sumsum otaknya berwujud kekerasan & keras kepala melakukan beragam kejahatan seperti misalnya dengan pendudukan paksa di wilayah yang masih bermasalah, sehingga menimbulkan beragam problem. Disini cukup nyata problem kolonialisme pendudukan paksa dengan kekuatan militer, eksploitasi alam, berdayakan sumber daya, peperangan tanpa akhir dan manusia dipaksa mati dengan peluru senjata & itu berkali-kali, hal ini dapat dipahami, bila anda bersedia mendengarkan kesaksian pribumi atau siapapun yang menceritakan kehidupan orang Palestina juga West Papua.


Kejahatan Kronis


Sekali lagi, tentang kolonialisme kejahatan dan kekejaman perang seperti yang terjadi pada masa perkembangan, apakah masih terjadi pada kehidupan saat-saat ini? Tentu jawabnya Iya. Namun, bagi individu atau kelompok tertentu mungkin jawabannya tidak. Tetapi mata kita Nurani manusia dari akal sehatnya selalu mengatakan apa kebenaran obyektif. Mustahil juga kalau kedua makhluk antara kolonialisme dan kapitalisme di wilayah kekuasaannya, tidak menipu lalu menjajah seperti yang ditulis Frantz Fanon "Kita dengan setia menjadi kaki tangan kolonial sebagai representasi orang asli, namun sisi lainnya dalam berbagai aspek pada praktiknya menjajah terus menerus. Kolonialisme seperti kalian ketahui, penjajah buat hancur orang pribumi. Sering kali kita mengungkapkan realitas penindasan dan itu kebenarannya yang bertahun-tahun terkubur oleh hegemoni dalam sumsum otak mata telinga kemanusiaan kita". Jadi tidak salah, seketika intelektual orang asli dari bangsa terjajah begitu berada di pihak penjajah tentu penggambaran tentang representasi tidak jauh dari penipuan dan pembodohan seperti misalnya melalui kebijakan para elite lokal papua yang sama sekali tidak berpihak pada mayoritas masyarakat kelas bawah. Meski ada satu atau dua isian poin dari kebijakan dianggap benar lalu didukung oleh pengikut-pengikutnya, tetapi itu semacam obat penenang bagi gangguan kecemasan, kekhawatiran, insomnia dst.. Suara dari mulut orang-orang yang dipilih kemudian diangkat menjadi pemimpin sebagai perwakilan bangsa terjajah adalah bohongan, dapat kita buktikan pada awal-akhir setiap periode siapapun pemimpinnya dari mana berasal tapi itu tidak penting tuk menyebutnya 1/1, sebab watak mereka sama saja. Dari undang-undang sampai peraturan hingga Kebijakannya justru melindungi aktivitas yang menggerogoti kekayaan alam dan manusianya diberdayakan.


Peperangan tanpa belas kasih seperti banyak pejuang anti penindasan menulis tentang wujud dari kolonialisme dan kapitalisme di dunia termasuk praktek kolonialisme Indonesia terhadap Timor-Timur tak sedikit  kejahatan dialami & tak hilang dari ingatan seperti Pembantaian Santa Cruz  271 orang massa aksi Pro Kemerdekaan ditembak mati (Wenner, 1991). Pembantaian 400 orang di My lai & My Khe, di Son My 347-504 orang warga sipil termasuk tentara pemberontak Gerilyawan, Front Pembebasan Nasional (NLF) oleh kolonialisme Perancis dan Amerika. Pembantaian itu buat selatan Vietnam gelap & menjadi lambang kejahatan perang Amerika di Vietnam (Herring, 2001). Atau selama ratusan tahun Eropa menjajah Afrika, penjajahan Portugis dan Spanyol di Amerika Latin yang menyebabkan dampak buruk seperti perpecahan juga konflik internal, kerusakan lingkungan, cacat fisik maupun gangguan psikis dan penderitaan yang berkepanjangan. Demikian tak mengenal akhir, praktek penjajahan yang tersistematis dan terstruktur itu siang malam masif sekali terjadi depan mata di West Papua setelah Indonesia menganeksasi Papua (Mei 1-1963). Beragam kekerasan bertahun-tahun mewarnai papua ini, jadi merah sejak rezim diktator Soeharto sampai Prabowo Gibran. Catatan panjang tentang jalan sejarah penuh peristiwa kelam yang meninggalkan luka traumatik akibat beragam operasi militer itu berkata bahwa kini pun Papua masih dalam penjajahan mengalami pembantaian, eksploitasi dan tentunya segala bentuk kejahatan kan terus buat keadaan pribumi terancam dan merasakan ketakutan tunduk terjajah.


Kekerasan kolonialisme tidak hanya dilihat dari satu bidang, tetapi jauh lebih luas menyeluruh dan brutal seperti yang anda saksikan tiap harinya warga sipil di papua ditembak, sumber kekayaan alam dikuras, hutan dibabat, gunung dan bukit di bor, laut dan sungai dicemari limbah, udara tak lagi segar berjuta-juta hektar tanah diambil paksa untuk pertanian, perkebunan sawit, peternakan juga perusahaan tambang dan sama sekali tak mengindahkan hak-hak masyarakat adat pemilik negeri. Tidak sampai situ, tingginya angka kemiskinan kelaparan yang Anda rasakan tiap hari, penderitaan yang berlarut -larut karena sakit akibat perang, fasilitas kesehatan buruk, ketergantungan alkohol, dan pembodohan melalui pendidikan yang manipulatif & tidak pada konteks kehidupan sosial budaya serta sejarah. Otonomi khusus jilid I, II, dan Pemekaran provinsi yang dipaksakan. Lalu rakyat bertanya semua kejahatan ini atas izin siapa?


Kejahatan terhadap alam, manusia dan, terhadap segalah makhluk hidup lainnya yang sungguh serius ini, menjadi bahan candaan dalam media penguasa dan tontonan orang banyak dengan perasaan baik-baik saja seperti sikap para elit lokal, borjuasi yang mengiakan terjadi. Tanpa kritisi atau dengan cara kita melawan lalu mengatakan hal itu mempermainkan penderitaan rakyat, tentu dalam kehidupan pribumi mengalami peningkatan malapetaka amat signifikan. Mungkin kita lupa mungkin juga tak menyadari bagaimana kapitalisme memainkan perannya guna meraup keuntungan dengan sistem ekonomi yang eksploitatif, memonopoli perdagangan di wilayah bangsa terjajah dan merugikan masyarakat lokal. Sisi sosial menyebabkan perubahan pada struktur sosial seperti munculnya kelas-kelas  sosial baru,  penghancuran identitas kebudayaan orang asli dan digantikan dengan budaya penjajah serta praktek pecah belah melalui berbagai kebijakan politik misal, pemekaran provinsi, diskriminasi rasial juga melalui konflik horizontal sesama orang asli maupun orang asli dengan non-pribumi yang didesain oleh penguasa elit politik dan militer. Termasuk penghancuran lingkungan hidup keanekaragaman hayati, hingga negara berhasil menghancurkan Surga orang papua. Anda mesti bertanya pada dirimu pembangunan yang dibanggakan dengan sadar, sambil menjajah melanggar habis-habisan ini untuk apa dan untuk siapa?  Kalian membaca kondisinya juga pahami keadaannya, kenapa diam-diam disitu?


People Rezista


Misi kolonialisme hanya penjajahan dan penindasan terhadap rakyat di suatu wilayah yang koloninya sudah pasti hidup dengan ketakutan, kebodohan, kemiskinan dan penderitaan yang diproduksinya. Bahasa pembangunan dan kata-kata manis dari mulutnya hanyalah tameng tuk menutupi ekspresi jahat. Jika penjajahan terus dilakukan, maka jawaban yang harus kami berikan adalah pemberontakan, perlawanan, dan dekolonisasi. Ketika bangsa terjajah menyadari bahwa realita hidup penuh masalah dan berpikiran kritis terhadap semua persoalan kemudian menemukan alternatif sebagai jalan keluar, maka akan ada ledakan-ledakan protes perlawanan. Rakyat baku kasih tau bergerak melancarkan perlawanan tentu sebagai upaya Dekolonisasi yang adalah proses penciptaan historys kemudian menulis sejarah bangsanya sendiri dari pengalaman aksi dan refleksi lalu bertindak lagi, refleksi kembali aksi lagi sampai impian orang banyak tentang dunia baru, Dunia kehidupan tanpa penindasan tercipta.


Perjuangan melawan dominasi kolonial, kemapanan kaum elite & kapitalisme, tidaklah mungkin jika tanpa didasari kesadaran kritis tentang sejarah dan sosialnya juga tanpa mengubah cara berpikir untuk bertindak. Menurut teori Paulo Freire, kesadaran kaum tertindas sebagai manusia yang hadir dalam dualitas kesadaran berkembang dari kesadaran "magis" menuju kesadaran "kritis". Juga Freire, mengatakan bahwa manusia dengan kondisi historis maupun fisiknya memiliki tiga tahap refleksi. Tahap Pertama, semitransitif, manusia terperangkap oleh inferioritas alam atau rasa rendah diri. Minat manusia semata-mata tertuju pada sekitar kelangsungan hidup, dan tidak mempunyai wawasan tentang aspek-aspek sejarah dan memiliki ciri khas fatalistik sikap menyerah daripada melawan kenyataan yang menindas. Tahap kedua, adalah kesadaran naif-transitif. Pada tahap ini, kesadaran manusia mulai mampu mengenal persoalan-persoalan yang muncul dalam realitas yang dihadapinya, namun kesadaran itu masih terisi oleh pendapat dan sikap-sikap naif, misalnya terlalu menyederhanakan masalah, mengidentifikasi diri sebagai elite, cenderung kembali pada masa lampau, keengganan meneliti sendiri, sikap emosional yang masih kuat, tidak jernih dalam berargumentasi, serta lebih gemar melakukan debat polemik ketimbang berdialog. Tahap ketiga, transitif-kritis. Tahap kesadaran ini muncul manakala manusia mulai mempercayai bahwa realitas adalah masalah yang harus dipecahkan. Manusia pada tahap ini dapat tumbuh ketika kepentingan dan pemikirannya bergerak keluar ke alam lain dan mulai berdialog dengan orang lain. Ciri yang paling khas dari kesadaran ini menurut Freire adalah adanya penangkapan situasi persoalan dengan sikap yang menyeluruh (komprehensif), matang, dan lebih kritis (Murtiningsih, 2004: 47-49). Fanon juga mengatakan "Kita terlalu lama terikat dalam budaya mistisme sehingga tak pernah tahu mana kebudayaan revolusioner dan dibangun dalam melawan kolonialisme. Disini pribumi melihat musuh yang sebenarnya dengan mata tertutup kesadaran revolusioner tidaklah dalam".


Oleh karena itu, perjuangan Rakyat West Papua dalam melawan kolonialisme Indonesia perlunya membangun kesadaran kritis, politik hingga ideologis dan dengan teliti menentukan apa pekerjaan mendesak lalu menjadi fokus kerja untuk perkuat unsur-unsur terpenting menopang jalannya pergerakan melawan penjajah. Kesadaran rakyat adalah hal terpenting dalam proses dekolonisasi seperti dijelaskan di atas kondisi hari-hari ini orang papua sebagian merasa baik-baik saja artinya, rakyat didominasi oleh penguasa elite lokal kesadarannya naif, mereka hanya bisa bicara dan melakukan apapun yang dijelaskan oleh penguasa lokal dan jakarta.Untuk selamatkan rakyat dari kesadaran demikian menjadi tanggung jawab tiap gerakan yang anti terhadap penindasan & dikerjakan bersama oleh siapapun individu maupun organisasi.


Orang Papua memiliki sikap berbeda-beda macam-macam pula, ada orang Papua yang ingin merdeka tapi tidak mau berjuang, ada yang mau merdeka tapi setelah jadi elite politik baru bicara, ada juga yang ingin merdeka tapi lewat Doa-doa sampai Tuhan kabulkan, berikut kelompok harga mati Papua Merdeka melawan pendudukan paksa kolonialisme, ada juga kelompok NKRI harga mati dan yang paling ekstrim adalah orang Papua yang sikapnya tidak mau lihat, dengar dan tidak mau tau sama sekali malas tau. Semua ini problemnya ada pada pola pikir yang tidak sehat dan banyak faktor sebagian karena luka traumatik, kondisi psikologi batin dan juga karena kesadaran yang memang belum dibangun tuntas.


Apa jawaban kita, ketika sekolah-sekolah, kampus-kampus, mungkin juga gereja-gereja tidak bisa membicarakan situasi penindasan? Tentu, organisasi sosial politik lah jawabnya sebab, hanya dengan organisasi politik akan mendidik rakyat Papua tuk berfikir lalu bertindak lebih kritis & revolusioner. Organisasi itulah alatnya sekaligus tempat membicarakan segala keresahan kejahatan lalu mencari cara tuk merubah keadaan yang menindas ini. Organisasi perlawanan adalah sekolah, kampus yang baik untuk semua orang papua yang merasakan penindasan hanya disini tempat bersama belajar banyak hal tentang sejarah perjuangan politik yang terus disembunyikan oleh penjajah, tentang kehidupan yang benar & baik, serta rakyat akan belajar kolektif juga akan dilatih bagaimana cara berjuang dst.. Maka itu, senyumlah datanglah dengan gembira bila, ada ajakan seruan tuk bergabung.


Kejahatan apa yang belum terjadi? Atau kah yang terus terjadi ini belum cukup nyata? Sehingga harus menunggu seperti memanaskan mesin motor menuju perjalanan ketimpangan. Harusnya setiap jalan buat belok kiri sambil nyanyikan lagu (Papua Bukan Merah Putih) seperti biasa perjalanan mesti dibuat penuh dengan fantasi, melihat orang banyak senyum sesat yang tampang biadab. Menentukan metode dan membangun kontak langsung dengan rakyat, jaringan antar komunitas organisasi anti kolonial,kapitalis, & militerisme serta membangun media alternatif guna menyebarluaskan propaganda memberi kabar perlawanan. Poin-poin itu unsur penting dan mesti dikerjakan kolektif oleh organisasi maupun individu-individu yang sadar akan penjajahan dilakukan terus menerus, meski penuh hambatan dan lika-liku.


Kolonial Indonesia ini, besar kuasanya di papua berangkat dari kondisi seperti itu penting tuk berhenti sejenak lalu merenung refleksikan terhadap tindakan kerja kemarin, amati situasi penjajahan, maju mundurnya pergerakan dan membuka ruang untuk saling menerima, saling memberi kritik juga saling mengakui kesalahan dan proses ini mungkin menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang, mengapa persatuan atau, bagimana ini barang kenapa stagnan dsb dsb. Tak ada yang bisa dilakukan sendiri-sendiri tanpa tindakan teoritik tentang taktik dan strategi (stratak) politik juga kesatuan tindakan dalam kerja-kerja perjuangan oleh semua pejuang dari berbagai komunitas, organisasi dan kelas sosial terpinggirkan terabaikan, maka tidak jauh seperti kata Fanon: "Hanyalah keinginan buta untuk merdeka, dengan risiko reaksioner yang mengerikan". [*]


Baca Juga
iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Kejahatan Kronis Kolonialisme dan Rezista
iklan
iklan
iklan
iklan
iklan

Trending Now

Iklan

iklan