Iklan

iklan

Petrus Tekege: "Pemekaran di Tanah Papua Untuk Apa dan Untuk Siapa?"

Tabloid Daerah
3.08.2022 | 12:40:00 PM WIB Last Updated 2022-03-08T03:40:32Z
iklan
Foto: Petrus Tekege, SH.MH., Dosen Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Satya Wiyata Mandala Nabire.

Wilayah Indonesia yang amat luas menjadi kendala tersendiri bagi sebagian besar daerah di tanah air termasuk provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat dalam pembangunan. Tanah Papua yang luas wilayahnya 3,5 lebih besar dari pulau Jawa ini membuat jangkauan pelayanan pemerintah kepada masyarakat menjadi kurang maksimal. Apalagi letak geografis yang ikut menunjang tidak terbangunnya Papua sesuai harapan dari keterbelakangan, kemiskinan, keterpurukan pada hampir semua lini kehidupan masyarakat. Dalam konsep pembangunan modern, pemekaran adalah salah satu cara untuk mempersingkat atau memperpendek jangkauan pelayanan pemerintah kepada masyarakat baik pada bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi maupun infrastruktur pembangunan seperti: jalan, jembatan dan fasilitas yang pada akhirnya masyarakat tersebut menjadi cerdas, sehat, hidup ekonomi yang berkecukupan dan mempermudah pemenuhan akses. Karena itu dapat dikatakan bahwa pemekaran merupakan suatu konsep ideal dalam ranah pembangunan bangsa. Bukan abal-abal, ternyata berdasarkan data Badan Statistik Pusat, di Tanah Papua dilanda permasalahan tersendiri dan serius. Data dari tahun 2001 pasca pemberian Otonomi khusus Papua, jumlah penduduk Papua adalah 2.285.291 Jiwa dan orang miskin tahun 2001 sebanyak 900.800 jiwa (39%) Sementara di Provinsi Papua Barat setelah pemekaran tahun 2007, jumlah penduduk pada tahun 2007 sebanyak 716.000 dan orang miskin 2007 sebanyak 266.800 (37,26%). Pada tahun 2019 jumlah penduduk di Provinsi Papua sebanyak 3.364,911 dan jumlah orang miskin (27,53) jiwa. Sedangkan Jumlah penduduk Pupua Barat sebanyak 953,947 jiwa dan jumlah orang miskin 211,490 jiwa (22,27%). Sedangkan tingkat kemiskinan di tanah Papua (Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat) pada tahun 2021 berdasarkan data Badan pusat statistik (BPS) adalah, urutan pertama kemiskinan di Provinsi Papua mencapai 26,8%, sementara Papua Barat berada pada posisi ke dua dengan tingkat kemiskinan sebesar 21,7%. Setelahnya disusul Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Gorontalo dengan tingkat kemiskinan masing-masing sebesar 21%, 21%, 17,99%, dan 15,99%. Tingkat kemiskinan ini menjadi salah satu dasar Jakarta terkesan memaksakan pemekaran di tanah Papua dan Papua Barat. Karena dianggapnya dengan dilakukan pemekaran provinsi baru di tanah Papua maka akan menurunkan angka kemiskinan dan akan meningkatkan kesejahteraan.

Pertanyaannya apakah pemekaran di Tanah Papua adalah jalan menuju kesejahteraan Orang Asli Papua di atas tanahnya sendiri? HAK EKSKLUSIF MRP DICEDERAI TUK KEPENTINGAN PEJABAT DAERAH & PUSAT Konsep ideal pemekaran Papua menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua adalah apabila diusulkan oleh masyarakat melalui Majelis Rakyat Papua (MRP). Dalam Pasal 76 UU Otonomi Khusus Papua Tahun 2001, Pemekaran Papua dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP setelah memastikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan Sumber Daya Manusia, dan kemampuan ekonomi dan perkembangan dimasa mendatang. Dilihat dari aksi-aksi demostrasi penolakan melanjutkan Otonomi Khusus di Papua menjelang perubahan UU Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Papua di ahir tahun 2021 lalu, maka sebenarnya Orang Asli Papua menyatakan bahwa mereka lebih suka pemenuhan hak-hak dasarnya bukan pemekaran (Tempo, 9 Juni 2021). Yang perlu diperhatikan adalah pasal 76. Karena susbtansi dari isi pasal ini adalah apakah dengan pemekaran ekonomi di masyarakat biasa kuat, PADnya bisa meningkat? Ataukah pemekaran akan membawa masalah baru bagi orang Asli Papua karena jabatan-jabatan diisi oleh bukan OAP, transmigrasi non regular tumpah di tanah Papua sehingga ekonomi dan bisnis dikuasai dan menenggelamkan jumlah penduduk Asli Papua di atas tanah sendiri!. Mestinya mekanisme pemekarannya dikembalikan sesuai pasal 76 UU otonomi Khusus tahun 2001 yakni berdasarkan rekomendasi MRP atas aspirasi dan analisis-analis yang telah dilakukan. MRP harus melakukan verivikasi-verikasi terlebih dahulu bukan nafsu kekuasaan jabatan dan uang. Sehingga benar-benar pemekaran memberikan dampak kepada Orang Asli Papua sesuai indikator yang jelas. Agar pemekaran tanah Papua lebih mudah terjadi, maka perubahan UU Nomor 21 tahun 2001 menjadi UU Nomor 2 Tahun 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus bagi Papua secara maraton terjadi di tahun 2021.

Berdasarkan Amat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan kedua atas UU Nomor 21 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, Pasal 76 ayat 2; menyatakan bahwa Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat dapat melakukan pemekaran daerah Provinsi dan Kabupaten/kota menjadi daerah otonom untuk mempercepat pemerataan pembangunan, peningkatan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat serta berkat martabat Orang Asli Papua dengan memperhatikan aspek politik, administratif, hukum, kesatuan, sosial budaya, kesiapan sumber daya manusia, infrastruktur dasar, kemampuan ekonomi, perkembangan pada masa yang akan datang,dan/atau aspirasi masyarakat Papua.

Kenapa Jakarta bernafsu melakukan Pemekaran-pemekaran di Tanah Papua? Bagi pemerintah karena ada dasar yang melegitimasi hadirnya 4 Provinsi baru, antara lain:

PERTAMA. Provinsi Papua Barat Daya (Domberai), yang menjadi dasarnya adalah Adanya SK Gubernur Papua Barat Nomor 125/72/3/2020 tentanq Persetujuan Pembentukan Provinsi Papua Barat Daya sebagai Provinsi Pernekaran dari Provinsi Papua Barat pada 12/3/2020.

KEDUA. Provinsi Papua Selatan ( Ha Anim) yang menjadi dasarnya adalah sejulah Bupati antara lain; Merauke, Asmat, Mappi, Boven Digul resmi mendektarasikan Pembentukan Provinsi Papua Setatan pada 15/6/ 2021 di Merauke.

KETIGA. Provinsi Papua Tengah (Mee Pago), yang menjadi dasar pembentukannya adalah Deklarasi pada 4/2/2021 di Timika yang meliputi Kab. Mimikai Nabire, Dogiyai, Deiyai, Intan Jaya, dan Puncak.

KEEMPAT. Provinsi Pegunungan Tengah (La Pago), yang menjadi dasar pembentukannya adalah, Ketua Asosiasi Bupati Pegunungan Tengah Papua, Befa Yigibalon meminta Presiden Joko Widodo untuk memberikan izin pemekaran wilayah Pegunungan Tengah Papua di Wamena (28/10/2019).

Secara hukum SK dan Deklarasi pejabat daerah tersebut diatas sudah melanggar hirarkis peraturan perundang-undangan sesuai UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Perundang-Undangan. Dapat dipahami bahwa sebenarnya pemerintah sendiri sudah tidak taat dan konsisten dengan hiraki peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

Undang-Undang Otonomi Khusus dieliminasi dengan SK dan Deklarasi para pejabat daerah tersebut yang sebenarnya tidak termasuk dalam hirarki peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 12 tahun 2011 tersebut. Seharusnya pemerintah menjunjung tinggi kewenangan atribusi yang dimiliki oleh MRP berdasarkan pasal 76 UU Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Papua bukannya SK dan Deklarasi pejabat tersebut sebagai dasar legitimasi perubahan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Bila dicermati maka secara substansial hak eksklusif (khusus) MRP tercederai dengan SK dan Deklrasi para pejabat Papua dan Papua Barat yang kemudian diteruskan pada pasal 76 ayat 2 UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Papua tersebut. Yang tadinya pemekaran bisa terjadi bila diusulkan oleh masyarakat melalui MRP sekarang pemekaran dilakukan langsung oleh pemerintah dan DPR baik Provinsi maupun Kabupaten dan Kota. Dalam konteks SK dan Deklarasi itu seolah-olah mereka sudah menjadi pengganti MRP.

Mengapa Majelis rakyat Papua MRP) yang adalah lembaga kultural yang diberikan amant oleh UU otonomi khusus Nomor 21 Tahun 2001 untuk mengusulkan pemekaran tanpa alasan yang jelas dicabut wewenangnya dengan UU Nomor 2 tentang Otonomi khusus hasil revisi dari UU Nomor 21 tahun 2001 Tentang Otonomi khusus Papua?

Mengapa wewenang usulan pemekaran menjadi kabur dan dieksekusi langsung oleh pemerintah sebagaimana dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua?

Apakah pengganti MRP adalah para bupati saat masyarakat mengusulkan pemekaran?ataukah para pejabat daerah bebas mengusulkan pemekaran di tanah Papua? 

Mengapa Pemekaran Tanah Papua terkesan dipaksanakan? berikut beberapa alasan yang melarbelakanginya:

PERTAMA. Para pejabat di Papua merasa kesulitan berkompromi dengan MRP untuk pemekaran Tanah Papua untuk kepentingan jabatan dan uang, sehingga mendatangi Jakarta untuk dilakukan perubahan UU Otonomi Khusus Papua khususnya pasal 76 yang mengatur kewenangan MRP terkait pemekaran.

KEDUA. Jakarta meskipun awalnya menolak adanya pemekaran dengan alasan moratorium akhirnya menyetujuinya untuk memecah belah tanah Papua dalam beberapa Provinsi agar mempermuah control dan penguasaan wilayah, pemetaan wilayah pergerakan TPN-OPM yang kian terus meningkat untuk tuntutan kemerdekaan Papua.

KETIGA. Dengan pemekaran besar-besaran di tanah Papua maka akan memindahkan pencari kerja orang Non Papua di Tanah Papua (transmigransi terselubung) dan akan memarginalisasai orang asli Papua di atas Tanahnya sendiri dalam ekonomi, politik dan pada saatnya potensi konflik horizontal antar warga sipil muncul sewaktu-waktu.

KEEMPAT. Untuk peningkatan pengelolaan dan penguasaan sumber daya alam di Tanah Papua oleh oknum pejabat Jakarta.

KELIMA. Jika pemerintah dengan alasan tingkat kemiskinan Papua berada pada urutan pertama dan kedua di Provinsi Papua dan Papua Barat sehingga perlu diturunkan maka dapat dikatakan bahwa orang Asli Papua pesimis kareana pasca pemekaran beberapa kabupaten di Tanah Papua pada tahun 2007, kesejahteraan tidak meningkat dan berubah justru kemiskinan terus meningkat hingga tahun 2021 sebagaimana tergambar dalam data Badan Statistik Pusat dari tahun ke tahun.

Berdasarkan pesimisme pemekaran di tanah Papua tersebut maka sebaiknya Provinsi maupun kabupaten atau kota induk memberikan perhatian sungguh-sunguh antara lain tingkat pendapatan (ekonomi) masyarakat, tingkat kesadaran masyarakat sebagai wajib pajak, kondisi sosial-politik, kesiapan sumber daya manusia (pendidikan), kesehatan dan fasilitasnya dan lain sebagainya sebagaimana diamanatkan Undang-undang Otonomi Khusus. Bukan karena kejar jabatan, kekuasaan kemudian berjuang pemekaran apalagi dengan mengabaikan hak-hak dasar masyarakat. Jangan sampai berjuang pemekaran. Tetapi, justru masyarakatnya belum disiapkan dan kemudian dengan pemekaran masyarakat lokal atau asli menjadi semakin miskin, terbelakang tanpa ada perhatian Jangan sampai dari sisi ekonomi (kontraktor-kontraktor) dikuasai orang lain, banyak pekerjaan proyek tetapi dimiliki pejabat-pajabat itu sediri bukan para sarjana yang sedang menganggur, SMA-SMK/SMP yang menganggur, pegawai negeri yang diterima lebih banyak bukan Orang Asli Papua tetapi non Papua. Itu semuanya adalah problema tersendiri.

REFLEKSI BERSAMA Sebagai bahan refleksi, sebagian besar daerah Pemekaran di Papua belum menunjukan peningktan PAD dari APBD dan kemiskinan terus bertumbuh sementara hampir semua proyek-proyek bersumber APBN di kuasai kontraktor-kotraktor Non Papua tanpa mempekerjakan orang Asli Papua apalagi mau melakukan alih teknologi kepada orang Asli Papua (OAP). Belum lagi dengan pemekaran akan meningkatkan tinggkat perjudian (Togel, Roleks dan lain-lain) dan penyebaran kekerasan akibat tidak terkontrolnya penjualan dan pengedaran serta konsumsi minuman keras ( MIRAS).

Bahan refleksi bagi pemerintah adalah apakah pengalaman pemekaran selama ini sudah menempatkan OAP sebagai tuan di atas tanahnya sendiri? Apakah sudah mengangkat harkat dan martabat orang asli Papua? Atau bagaimana? 

Apakah dengan pemekaran benar-benar sebagai putra daerah telah ditempatkan atau putra daerah telah menempatkan diri sebagai tuan di atas tanahnya sendiri ataukah secara sosial budaya, ekonomi dan politik-hukum Orang Asli Papua dimarginalkan? Sementara orang non Papua menguasai atas semua sisi karena pemekaran dianggap sebagai pintu surga dan peluang hidup sejahterah?

Kalau memang demikian pemekaran itu untuk apa dan untuk siapa?



Penulis adalah Petrus Tekege, SH.MH., Dosen Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Satya Wiyata Mandala Nabire.
Baca Juga
iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Petrus Tekege: "Pemekaran di Tanah Papua Untuk Apa dan Untuk Siapa?"

P O P U L E R

Trending Now

Iklan

iklan