Iklan

iklan

Fakta Migrasi, Diskriminasi, Pelanggaran HAM, Dan Kejahatan Ekologi di Lima Kabupaten Kota di Tanah Papua

MELKIANUS DOGOPIA
3.04.2022 | 11:47:00 PM WIB Last Updated 2022-03-04T14:54:50Z
iklan

Foto: Markus Haluk

Oleh Markus Haluk*)


Pengantar

Saya memilih lima kabupaten (kota) di Tanah Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat) berikut ini, Kota Jayapura, Kabupaten Keerom, Kabupaten Merauke, Kabupaten Timika, dan Kota Sorong sebagai indikator dampak migrasi, pembangunan dan serta terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) khususnya hak hidup dan hak atas tanah bagi Orang Papua.


Saya sudah kirim materi ini pada dua minggu lali. Tetapi melihat dua Surat Gembala, Uskup Jayapura, dan Uskup Merauke. Saya kembali membagikan ini. Supaya, mereka yang keluarkan surat gembala dan juga penguasa Kolonial Indonesia dan Elit Politik Orang Asli Papua yang membantu Firaun Indonesia melibas Orang Papua membaca ini kembali. Semoga surat ini dan refleksi saya untuk Anda semua dimasa Prapaska, yang akan ditandai dengan Rabu Abu, 2 Maret 2022.


Fakta Diskriminasi dan Depopulasi di Lima Kabupaten (Kota) Tanah Papua


 1. Kota Jayapura


Pada 1910, Pemerintah Belanda untuk pertama kalinya membuka pos pemerintahan di dekat kali Imbi Kota Jayapura. Sejak dibukanya pos pemerintahan telah terjadinya migrasi warga Eropa dan Asia (Indonesia) masuk di Kota Jayapura.


Migrasi semakin meningkat ketika Pos Penginjilan dan Sending di buka di Kota ini. Migrasi dalam rangka penginjilan warga dari beberapa wilayah basis Kristen dari Indonesia seperti Toraja, Manado, Sanger, Batak, Jawa Tengah, Maluku dan Nusa Tenggara Timur membantu para Pendeta dan Pastor di Kota ini. 


Sesuai dengan kesepakatan pembagian wilayah Papua diantara para penginjil, Sending Protestan (GKI) dan Misi Katolik, sampai dengan 1927 Gereja Katolik dilarang membangun pos di Kota Jayapura. Para misionaris Katolik diarahkan untuk membuka Pos penginjilan di wilayah pedalaman, Waris dan Arso (Keerom).


Memasuki 1930, Gereja Katolik mulai membuka pos penginjilan (Gereja) di Kota Jayapura. 


Pada 1950 Pemerintah Belanda membuka Masjid pertama di Kota Jayapura tepatnya di ujung Jalan Percetakan. Masjid ini dibangun oleh pemerintah Belanda bagi warga migran dari Indonesia (Jawa dan Sulawesi).


Pada 1930 warga trans dari Jawa tiba di Jayapura dan ditempatkan di Sabron, yang kemudian dikenal dengan lokasi Kerto Sari. 


Pada 1962, Warga Migran Indonesia dan Belanda di Kota Jayapura sekitar 2.200 orang. Pemerintah Belanda mulai 1949-1961 mulai menggalang pembangunan dalam rangka mempersiapkan Papua Merdeka. Dalam kurun waktu tersebut pemerintah Belanda menggalang bidang pembangunan, pelatihan kerja bagi orang Papua. 


Pada 1961-1971 pemerintah Belanda berencana menyiapkan orang Papua dalam bidang Politik dan pemerintahan. Pada 1971, pemerintah Belanda menyerahkan sepenuhnya kedaulatan kepada orang Papua untuk menentukan nasib mereka sendiri.


Namun rencana pemerintah belanda digagalkan oleh pemerintah Indonesia dengan bantuan pemerintah Amerika Serikat melalui PBB.


Migrasi penduduk di Kota Jayapura dan Papua semakin meningkat pasca Mei 1963. Kota Jayapura sebagai ibu Kota Provinsi menjadi tujuan Migrasi penduduk dari Indonesia maupun migrasi lokal dari Papua. Sampai dengan memasuki akhir tahun 2021, akibat migrasi penduduk Kota Jayapura orang asli Port Numbay menjadi minoritas.


Berdasarkan data yang dimiliki Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dispendukcapil) Kota Jayapura, saat ini jumlah penduduk Orang Asli Port Numbay hanya 2,84 persen, dari total penduduk di Kota Jayapura atau hanya ada 11.949 jiwa yang tersebar di 5 Distrik. 


Diakui bahwa telah terjadi migrasi dan pembangunan selama 60 tahun ini tetapi tidak membawa dampak perubahan positif bagi penduduk setempat orang Port Numbay namun sebaliknya membawa dampak positif kepada warga migran non Papua dan non orang asli Port Numbay di tanah Port Numbay. 


Kepemilikan tanah, 90% tanah yang ada di Port Numbay telah beralih tangan dan fungsi. Lebih dari 85 Persen tanah di kota Jayapura di duduki dan di’miliki’ oleh penduduk migran non Port Numbay. 


Belakangan ini beberpa orang Port Numbay tinggal di rumah kontrakan/kos yang dibangun oleh orang non Port Numbay. Mereka juga semakin terisolasi dan tersingkir di pingiran kota. Beberapa dari mereka terkepung ditengah bangunan ruko-ruko, pasar dan bangunan lainnya. 


Semakin Sulit ditemukan pemukiman asli orang Port Numbay. Hak kepemilikan tanah sudah beralih tangan dan fungsi. Bertolak dari dari situasi demikian, pertanyaan refleksi saya ialah bagaimana nasib orang Port Numbay pada Tahun 2121 atau pada 100 tahun yang akan datang? Migrasi dan Pembangunan berdampak positif bagi orang Port Numbay?


 2. Kabupaten Keerom


Sejak 1939 Misionaris Katolik telah membuka pos Misi Gereja di Arso kemudian di daerah Waris. Selama tahun 1970-pertengahan tahun 1995, Wilayah Keerom telah lama menjadi daerah Operasi Militer. Akibatnya banyak warga Keerom menjadi korban. Sebagian warga korban memilih mengungsi di Negara Papua Niuw Guinea (PNG). Pada kurun waktu yang sama wilayah Keerom khususnya di Arso telah menjadi wilayah tujuan Trasmigrasi. 


Setelah lama menjadi bagian dari Jayapura, pada 12 April 2003 melalui UU Nomor 22 tahun 2001 menjadi Kabupaten dengan 7 Distrik. Sebagaimana diungkapkan di atas, bahwa Kabupaten Keerom menjadi salah satu daerah sasaran program trasmigrasi pemerintah hingga penghentian program ini pada tahun 2000. 


Gelombang pertama transmigrasi di wilayah ini pada tahun 1964 dengan 9 keluarga atau 22 jiwa. 


Gelombang transmigrasi besar-bersaran terjadi pada era 1970-1990-an beriringan dengan pengembangan perkebunan Kelapa Sawit. Hingga tahun 2000, total jumlah transmigrasi Kabupaten Jayapura (dimana Keerom menjadi bagiannya hingga 2003) adalah sebanyak 8.457 KK atau 34,980 jiwa.


Berdasarkan data BPS, penduduk Keerom Tahun 2010 berjumlah 48.536 jiwa. Dari jumlah tersebut jumlah penduduk Asli Papua (Keerom) sebanyak 19.628 jiwa atau 40.44% dan Non Papua sebanyak 28. 908 jiwa atau 59,56%. 


Jumlah migrasi penduduk terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2020, jumlah penduduk Kabupaten Keerom, 64.136 jiwa. Kabupaten Keerom merupakan salah satu potred terjadinya marjinalisasi akibat Transmigrasi dan ‘pembangunan.’ Kabupaten Keerom juga menjadi salah satu wilayah yang sarat dengan pelanggaran HAM. Transmigrasi yang lama terjadi di Kabupaten Keerom berdampak orang Keerom menjadi minoritas di atas tanah mereka sendiri. 


Sebagaimana terbaca di atas bahwa migrasi penduduk non Papua di Kabupaten Kerom mengakibatkan demografis penduduk orang Papua (Keerom) dari 100% menjadi 40,44% dalam empat dekade terakhir. Saat ini jumlah penduduk non Papua 59,66%.


 3. Kabupaten Merauke


Kontak komunikasi pertama orang luar dengan orang Merauke (Malin-Anim, Muyu, Mandobo, Auyu, Mappi dan Asmat) terjadi pada 1902 dengan tibanya Pemerintah Belanda di wilayah itu. Tiga tahun kemudian pada 1905 Misionaris Gereja Katolik tiba di wilayah Merauke. Dalam perkembangan selanjutnya setelah 1963 pemerintah Indonesia menjadikan Merauke sebagai salah satu tujuan migrasi penduduk dari luar Papua.  


Pada tahun 1964-1993 jumlah transmigrasi yang dikirim ke Merauke 13.482 Kepala Keluarga dengan jumlah orang 54.051 jiwa dengan prosentase 31.87%. Jumlah transmigrasi tersebut dikirim di 7 wilayah/lokasi. Dilihat dari populasi jumlah penduduk pada 1985-1995, 209.200 jiwa. Dilihat dari prosentasinya, pada 1995, jumlah orang asli Papua 70.9% dan non Papua 21.3%.


Populasi penduduk Kabupaten Merauke setelah Pemekaran kabupaten Mappi, Asmat dan Boven Digoel pada 2010 dari total 195.716 jiwa, jumlah Orang Papua sebanyak 72.826 jiwa atau 37,21% sedangkan non Papua sebanyak 122.890 jiwa atau 62,21%. 


Dilihat dari data presentasi ini terlihat jelas bahwa orang Merauke dalam kurun waktu lebih dari 60 tahun ini menjadi minoritas. Dalam kurun waktu 11 tahun antara 2010-2021 jumlah populasi penduduk di Kabupaten Merauke sebanyak 230.932 jiwa atau penambahan penduduk 35.216 jiwa.


Dalam satu dekade terakhir Papua mengalami kehancuran tanah dan hutan terbesar. 


Kabupaten Merauke yang terbesar kehancuran alam dan perampasan tanah. 


Khusus di Kabupaten Merauke, hutan seluas 112 ribu hektare rusak karena berbagai izin pembukaan lahan sawit, Hutan Tanam Industry (HTI), dan proyek lumbung pangan. 


 4. Kabupaten Timika


Kabupaten Timika sebelum tahun 1996 merupakan salah satu wilayah Administrasi dari Kabupaten Fak-Fak. Dengan berbagai pertimbangan, khususnya demi mempermudah eksploitasi Sumber Daya Alam (PT. Freeport Indonesia), maka Pada tanggal 8 Oktober 1996 Pemerintah Indonesia mengumumkan Mimika sebagai wilayah administrative Kabupaten. 


Kabupaten Mimika saat ini menjadi pusat perekonomian dan industri di Provinsi Papua. Dengan luas wilayah 19.592 km2, kabupaten Mimika mempunyai jumlah penduduk 304.000 jiwa dengan tingkat pertumbuhan per tahun mencapai 3,75%. Sebagian besar penduduk Kabupaten Mimika terpusat di Distrik Mimika Baru.


Dari Waktu ke waktu migrasi penambahan Jumlah penduduk di Kabupaten Mimika terus meningkat.


Kabupaten Mimika merupakan salah satu migrasi terbesar di Papua. Pada 1973, jumlah penduduk orang Asli West Papua dari suku Amungme dan Kamoro di Mimika kurang dari 10.000 orang, pada 1995, 60.000 orang penduduk antara orang Asli Papua dan non Papua kemudian pada 2000 berjumlah 72.341 orang. Pada tahun 2010, jumlah orang Papua 75.068 atau 41.24% dan non Papua 106.933 jiwa atau 58,75% dengan jumlah total penduduk 182.001 jiwa. 


Pada tahun 2013 jumlah penduduk Kabupaten Timika berjumlah 196.401 orang dan pada 2018 jumlah penduduk kabupaten Timika 304.000 Jiwa. Hal yang sulit dibayangkan secara akal sehat dimana, hanya dalam kurun waktu 5 tahun, jumlah penduduk di Kabupaten Timika bertambah 100.000 jiwa. Migrasi dari luar Papua terus digalakkan oleh Pemerintah Indonesia maupun oleh PT. 


Freeport dengan berbagai tawaran kerja dan bertujuan politik.


Laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Mimika per tahun selama tiga tahun terakhir yakni dari tahun 2018 - 2021 sebesar 3,75% per tahun. Laju pertumbuhan penduduk Distrik Mimika Baru adalah yang tertinggi dibanding distrik lainnya di Kabupaten Mimika yakni mencapai 4 persen, sedangkan laju pertumbuhan penduduk terendah ada di Distrik Tembagapura sebesar 1,64 persen. Jumlah migrasi masuk yang begitu besar dan terus bertambah setiap tahun. 


 5. Kota Sorong


Kota Sorong termasuk salah satu kota pemerintahan tua di tanah Papua. Kota ini beriteraksi dengan migrasi penduduk dari luar sejak awal tahun 1903. Pada tahun 1935 pulau Dom oleh pemerintah Belanda menjadikan pusat pemerintahan. Pulau Dom menjadi salah satu pusat mobilisasi migrasi lewat udara maupun Laut. Sampai dengan tahun 2001, beberapa kabupaten di wilayah Kepala Burung Papua seperti Kabupaten Sorong, Sorong Selatan, Maibrat, Raja Ampat, Tambrauw dan Kabupaten Teluk Bintuni menjadi satu kesatuan dari Kota Sorong. 


Sejak 1963 sampai dengan pada 2000, Sorong menjadi tujuan migrasi dan transmigrasi penduduk dari luar Papua. Pada 1964-1993, pemerintah pusat telah mengirimkan 7.551 KK atau 31.027 jiwa. Dilihat dari prosentasinya 18%. 


Transmigrasi di Sorong menempati 3 lokasi. Jumlah penduduk pada tahun 1985 sebanyak 174.100 jiwa dan pada tahun 1995 berjumlah 224.250 jiwa. Selama 10 tahun dari tahun 1985-1995 bertambah 70.150 jiwa dengan orang asli Papua 79.7% dan non Papua 21,02%. 


Setelah dilakukan pemekaran Kota dan Kabupaten, jumlah penduduk khusus di kota Sorong sampai 2017 berjumlah 307.229 jiwa. Dimasa mendatang dalam kurun waktu 10 hingga 15 tahun yang akan datang, jumlah penduduk Kota Sorong di Proyeksikan mencapai 500.000 jiwa. Dengan jumlah penduduk demikian Kota Sorong berptensi besar bergeser dari klasifikasi kota sedang menjadi salah satu kota besar dikawasan Indonesia Timur. 


Dampak migrasi dan transmigrasi di Kota Sorong, orang Asli Sorong khususnya suku Moi semakin tersingkir dan terisolasi. Tanah mereka di Kota Sorong hampir semua diambil untuk pembangunan pemukiman rendah, sedang dan tinggi, perkantoran swasta dan pemerintah, Sekolah, Pasar, Jalan, Bandara, dan Kawasan Militer termasuk Pelabuhan Militer.


 Catatan Penutup


Bertolak dari beberapa ulasan ini dapat disimpulkan bahwa:


1. Kontak pertama pada abad ke-8 (762) hingga sebelum abad 19 (1855) belum ada migrasi etnis luar Papua (Eropa, AS dan Asia khusunya Indonesia) yang masuk ke Papua. Dapat diakui bahwa sering terjadi sistem perdagangan dan kemudian di susul penangkapan paksa serta perbudakan dari orang Maluku di pulau Seram, juga oleh orang Maluku yang ada dibawah pengaruh kekuasaan Sultan Tidore dan Ternate pada orang Papua di wilayah Kepala Burung Papua (Fak-Fak, Kaimana, Raja Ampat dan Sorong). Namun belum terlihat dampak migrasi dalam jumlah besar. 


2. Migrasi dari luar masuk ke Papua mulai terjadi setelah 5 Februari 1855, masuknya Injil oleh Otto dan Geisler di Mansinam Manokwari Papua Barat. Klaim pemerintah Belanda pada 1875 atas tanah Papua (Papua Barat) hingga pada 1962 terjadi migrasi orang Eropa dan Indonesia di Tanah Papua. Namun secara kwantitatif jumlah orang Eropa pada masa itu tidak banyak dan signifikan. 


3. Jumlah migrasi penduduk Papua telah meningkat pasca pemerintah Indonesia mengambil tanggungjawab administrasi Papua (Irian Barat, Irian Jaya) dari tangan PBB pada Mei 1963. Hingga memasuki 58 Tahun ini (1963-2021), beberapa Kabupaten/Kota di Papua, Kota Jayapura, Kabupaten Keerom, Kabupaten Merauke, Kabupaten Timika dan Kota Sorong orang Papua telah menjadi minoritas akibat migrasi penduduk luar Papua. 


4. Masalah Tanah, Pelanggaran HAM masih terjadi di tanah Papua akibat konflik sejarah politik yang belum terselesaikan secara menyeluruh dan konferhensip. Pada saat yang sama eksploitasi sumber daya alam kian menyata di hampir seluruh tanah Papua. 


5. Rencana pemekaran baru beberapa Provinsi di Tanah Papua oleh pemerinbtah Indonesia merupakan sebagai siasat untuk mempercepat pendudukan Indonesia di tanah Papua yang berakibat terjadinya Genosida, Etnosida dan Ekosida bagi Papua. Hanya orang tak waras yang masih buta dan tuli atas situasi ancaman Umat Papua saat ini.


Editor: Admin

Baca Juga
iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Fakta Migrasi, Diskriminasi, Pelanggaran HAM, Dan Kejahatan Ekologi di Lima Kabupaten Kota di Tanah Papua

P O P U L E R

Trending Now

Iklan

iklan