Iklan

iklan

Yosias Iyai: Aktivis yang Konsisten hingga Nafas Terakhir

Tabloid Daerah
8.10.2025 | 6:21:00 PM WIB Last Updated 2025-08-10T09:21:19Z
iklan
Yosias Iyai pemilik rimba Mapiha, kerap dipanggil Labedo, juga Gobai besar. Ia juga sering disapa Pemilik kata Anjal61, foto saat mahasiswa di kota studi Bogor, Jawa Barat (Ist)

[Tabloid Daerah], Nabire --
Minggu dini hari, 10 Agustus 2025, pukul 05.48 waktu Papua, Yosias Iyai menghembuskan nafas terakhir di RSUD Siriwini, Nabire.

Perjuangan panjangnya melawan sakit, yang dideritanya sejak setidaknya 2011, akhirnya usai. Keluarga, kerabat, dan kawan seperjuangan mengenangnya sebagai sosok yang konsisten, bertanggung jawab, dan tak pernah menyerah, meski tubuhnya sering didera rasa sakit.

Belajar Sambil Mengajar

Tahun 2011, Yosias menamatkan pendidikan di SMA YPPPK Adhi Luhur, Colese Lecoq d’Armanvile. Keterbatasan biaya membuatnya menunda kuliah dan kembali ke kampung halamannya di Mapia, Dogiyai, untuk mengajar Ekonomi di SMA Negeri setempat.

Setahun kemudian, ia berangkat ke Bogor untuk melanjutkan pendidikan. Namun sakitnya kambuh, memaksanya kembali ke Papua. Tahun 2014, ia mencoba lagi. Sambil menempuh studi di sekolah tinggi ekonomi, ia aktif di Aliansi Mahasiswa Papua (AMP).

Pada 2017, sakitnya kembali memaksanya pulang, tetapi Yosias tidak berhenti belajar. Ia mengikuti kursus Microsoft Office, komputer, dan manajemen bisnis. Awal 2018, ia meninggalkan Pulau Jawa untuk menetap di Papua.

Belajar Menjadi Kritis

Sifat kritis Yosias telah tumbuh sejak SMA. Saat menjadi Ketua Asrama Taruna Karsa, ia menggagas program Analisis Sosial (Ansos). Setiap akhir pekan, ia mengajak siswa mengamati aktivitas mama-mama Papua di Pasar Karang atau Pasar Sentral Oyehe, mewawancarai mereka, lalu menulis hasil pengamatan.

Tulisan para siswa bimbingannya bahkan dimuat di koran Papua Pos Nabire edisi cetak, seperti artikel “Potret Buram Mama-Mama di Pasar Karang” karya Yohanes Gobai, siswa kelas X saat itu.

Menjadi Pejuang Revolusioner

Meski kondisi fisiknya rapuh, Yosias tak pernah jauh dari dunia pergerakan. Pada 2012, ia resmi bergabung dengan AMP Komite Kota Bogor, aktif mengikuti diskusi, seminar, hingga aksi massa di Bogor dan Jakarta.

Tahun 2015, ia terpilih menjadi Ketua AMP Bogor, menggantikan Samuel Amona Nawipa. Tahun yang sama, ia dipercaya mengisi Biro Keuangan AMP Pusat. Hingga awal 2018, ia terlibat penuh sebelum mengundurkan diri dalam Kongres Nasional AMP IV dan kembali ke Papua.

Di tanah kelahirannya, ia bergabung dengan Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Wilayah Mapia. Tahun 2019, ia ikut aksi menolak rasisme di Deiyai. Aksi tersebut berakhir ricuh, memakan korban jiwa, dan berujung pada penangkapan dirinya bersama Ketua KNPB Deiyai, Step Pigai, dan aktivis lainnya.

Setahun kemudian, Pengadilan Negeri Nabire memutuskan mereka tidak bersalah. Yosias pun kembali aktif, khususnya di sektor diplomasi KNPB Mapia: menggelar pendidikan politik, diskusi, dan agenda penyadaran. Bahkan pada 2024, meski baru keluar dari rumah sakit setelah dua bulan dirawat, ia masih berjalan kaki melewati dua gunung untuk membentuk Sektor Takadei di Topo, Distrik Uwapa.

Tulang Punggung Keluarga

Di luar aktivitas organisasi, Yosias adalah tulang punggung keluarga. Ia kerap menjadi sopir lintas Nabire–Paniai, membiayai pendidikan adik-adiknya, dan menopang istri serta putri semata wayangnya. Istrinya, yang baru lulus kuliah kedokteran, menjadi saksi saat Yosias menghembuskan nafas terakhir.

Hari-Hari Terakhir

Sebulan terakhir, kondisinya terus menurun. Dari RSUD Paniai, ia dibawa ke Nabire. Dokter mendiagnosis gagal ginjal dan merekomendasikan hemodialisis. Awalnya, pihak rumah sakit mengatakan prosedur tidak bisa dilakukan di Nabire. Keluarga diminta bersiap untuk rujukan ke Jayapura. Namun, malam berikutnya, informasi itu berubah: cuci darah bisa dilakukan di Nabire.

Keluarga menerima saja, meski kecewa. “Ikuti saja apa yang mereka bilang,” kata Iyaibo, tak ingin perdebatan memperlambat penanganan.

Pagi, pukul 05.48, Yosias memberi hormat terakhirnya.

Jejak yang Ditinggalkan

Bagi sebagian orang, hidup adalah tentang mencari kenyamanan. Bagi Yosias Iyai, hidup adalah tentang tanggung jawab. Meski tubuhnya rapuh, ia tetap berdiri di garis depan perjuangan politik, sosial, dan keluarga.

Di mata kawan-kawan seperjuangan, ia adalah sosok yang tidak pernah mengeluh, tidak pernah menolak tugas, dan selalu tersenyum, bahkan ketika rasa sakit menggerogoti tubuhnya.

Warisan yang Tak Tertulis

Tidak semua warisan bisa dihitung dengan angka atau ditulis di dokumen resmi. Warisan terbesar Yosias adalah semangatnya: keyakinan bahwa perubahan hanya mungkin terjadi jika kita mau bergerak, meski keadaan tubuh atau situasi sosial tidak berpihak.


Menutup Cerita, Membuka Jalan Baru

Kini, jalan yang ia tempuh berhenti di RSUD Siriwini pada Minggu pagi itu. Namun, jalan yang ia buka tetap terbentang: jalan pendidikan, kesadaran politik, dan keberanian bersuara.

Putri kecilnya mungkin belum mengerti sepenuhnya siapa ayahnya. Tapi kelak, ketika ia membaca catatan-catatan perjuangan itu, ia akan tahu: ayahnya adalah seorang yang tidak pernah mundur, bahkan di detik-detik terakhir hidupnya.

Hormat terakhir Yosias bukan hanya salam perpisahan. Itu adalah undangan bagi mereka yang ditinggalkan untuk melanjutkan langkah — melangkah di jalan yang mungkin panjang, berat, dan penuh rintangan, tapi juga jalan yang Yosias percayai sampai nafas terakhirnya.

Kini, hormat terakhirnya menjadi simbol: penghormatan kepada perjuangan, kepada tanah kelahiran, dan kepada orang-orang yang ia cintai.



Yohanes Gobai
Baca Juga
iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Yosias Iyai: Aktivis yang Konsisten hingga Nafas Terakhir
iklan
iklan
iklan
iklan
iklan

Trending Now

Iklan

iklan