Iklan

iklan

‎16 HAKTP, FIM-WP KPK Nabire: Pengungsian Warga Sipil, Bukti Darurat Kemanusiaan di Papua

Tabloid Daerah
12.02.2025 | 6:04:00 PM WIB Last Updated 2025-12-03T01:25:11Z
iklan
FIM-WP KPK Nabire menggelar Seminar Darurat Kemanusiaan di Tanah Papua, ‎merupakan kampanye dalam rangka 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP), berlangsung sejak tanggal 25 November 2025 sampai 10 Desember 2025, atau 16 hari, dilaksanakan di Asrama Mahasiswa Intan Jaya, Kota Studi Nabire, Papua Tengah. (#TaDahNews-Deto)


[Tabloid Daerah], Nabire -- Forum Independen Mahasiswa West Papua Komite Pimpinan Kota (FIM-WP KPK) Nabire menggelar Seminar Darurat Kemanusiaan di Tanah Papua.
‎Seminar tersebut merupakan kampanye dalam rangka 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP), berlangsung sejak tanggal 25 November 2025 sampai 10 Desember 2025, atau 16 hari.
‎Seminar 16 HAKTP dilaksanakan di Asrama Mahasiswa Intan Jaya, Kota Studi Nabire, Papua Tengah.
‎Kampanye 16 HAKTP menyoroti perlindungan bagi perempuan dan anak yang hingga kini menjadi korban terdampak konflik bersenjata di berbagai wilayah Tanah Papua, seperti di Papua Tengah; Intan Jaya dan Puncak Jaya.
‎Kampanye tersebut dilakukan sebagai bentuk perhatian serius terhadap situasi pengungsi yang kian memprihatinkan.
‎Data FIM-WP KPK Nabire menyebutkan Ribuan warga sipil, di dalam ada perempuan dan anak masih berada di lokasi pengungsian karena, merasa tidak aman kembali ke kampung halaman akibat kontak tembak antara aparat keamanan Indonesia dan kelompok bersenjata TPNPB-OPM.
‎Perwakilan FIM-WP KPK Nabire, Linda Mote menegaskan kampanye ini untuk menyadarkan negara akan kewajibannya dalam memenuhi hak dasar masyarakat sipil yang hidup di wilayah konflik.
‎“Kegiatan ini merupakan kampanye 16 HAKTP 2025, melihat kondisi pengungsian warga sipil, terutama perempuan dan anak di wilayah konflik. Kami berharap supaya warga sipil mendapatkan hak ruang hidup yang damai dan aman, pendidikan yang memadai untuk anak-anak, serta kesehatan yang baik,” tegas Linda.
‎Linda menekankan, perempuan harus menjadi perhatian utama negara.
‎Pasalnya, perempuan berperan sebagai poros dalam menjaga keberlangsungan hidup keluarga. Namun, dalam situasi konflik, merekalah yang justru kehilangan akses terhadap layanan dasar dan rasa aman.
‎Pada kesempatan itu, Narasumber Seminar 16 HAKTP, Melkiana Dendegau, perempuan asal Intan Jaya, membeberkan situasi yang dialami masyarakat di daerahnya.
‎Bernada senduh, rauk wajah sedih, menyeret dampak dari konflik yang berkepanjangan, Melkiana bercerita situasi ril di daerahnya bahwa warga sipil telah kehilangan hak hidup mereka yang paling dasar.
‎“Warga sipil menjadi korban karena, konflik antara aparat keamanan dan TPNPB-OPM. Mereka tidak mendapatkan hak ruang aman untuk hidup. Akses pendidikan sangat terbatas, dan fasilitas kesehatan pun tidak memadai,” beber Melkiana.
‎"banyak perempuan mengalami tekanan psikis dan trauma berkepanjangan karena, harus menyaksikan kekerasan bersenjata, kehilangan keluarga, dan hidup dalam ketidakpastian di pengungsian," tambahnya.
‎FIM-WP KPK mencatat sejak tahun 2018 hingga Oktober 2025, lebih dari 103.000 warga Papua telah mengungsi akibat konflik bersenjata, yang tersebar di berbagai titik pengungsian di hutan, gua, maupun wilayah-wilayah kota yang dianggap lebih aman.
‎"Keterbatasan akses kesehatan menyebabkan banyak perempuan mengalami kehamilan berisiko, bayi mengalami gizi buruk, dan penyakit menular menyebar," rilis FIM-WP.
‎"Sementara anak-anak terancam kehilangan masa depan karena tidak dapat mengikuti pendidikan formal secara konsisten," lanjut FIM-WP.
‎Selain itu, laporan yang masuk ke FIM-WP KPK menyebut adanya dugaan intimidasi, kekerasan psikis, hingga pemaksaan perpindahan tempat tinggal yang memperburuk kualitas hidup pengungsi.
‎FIM-WP KPK menilai pemerintah daerah dan pusat memiliki kewajiban konstitusional untuk memastikan pemenuhan hak anak dan perempuan sesuai dengan amanat UUD 1945 sebagaimana disebutkan pasal 28B ayat 2.
‎"Negara disebut tidak boleh lepas tangan terhadap krisis kemanusiaan yang melanda penduduk sipil Papua," tulis FIM-WP.
‎FIM-WP KPK mendesak hentikan kekerasan terhadap perempuan dan anak di wilayah konflik Papua.
‎FIM-WP KPK pun mengajak negara harus sediakan ruang aman yang layak dan manusiawi bagi pengungsi.
‎"Pastikan layanan kesehatan yang memadai untuk perempuan dan anak, Dan, akses pendidikan layak untuk anak-anak pengungsi," tegas FIM-WP.
‎FIM-WP KPK menolak kehadiran militer TNI-Polri yang hadir justru memicu konflik bersenjata atas nama daerah operasi, dan memakai fasilitas sipil.
‎"Tarik militer organik dan non-organik dari pemukiman sipil," pinta FIM-WP KPK.
‎FIM-WP KPK menegaskan upaya penanganan krisis kemanusiaan di Papua harus dilakukan secara komprehensif.

"Melibatkan semua pihak, dan yang paling penting mendengarkan suara perempuan sebagai kelompok yang paling merasakan dampak buruk konflik," tulus FIM-WP.
‎FIM-WP KPK mengajak negara bahwa tidak boleh menutup mata terhadap situasi ini.

"Ketika konflik terus terjadi, yang paling menderita adalah mereka yang tidak memiliki senjata perempuan dan anak-anak," tandas FIM-WP.
‎Kampanye ‎16 HAKTP ini diharapkan mampu membuka ruang dialog lebih luas agar pemerintah segera mengambil langkah cepat dan tepat dalam pemulihan kemanusiaan serta pengembalian hak-hak sipil masyarakat Papua.(*)




CR: Yikai Maga
Editor: Kebagibui Deto
Baca Juga
iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • ‎16 HAKTP, FIM-WP KPK Nabire: Pengungsian Warga Sipil, Bukti Darurat Kemanusiaan di Papua
iklan
iklan
iklan
iklan
iklan
iklan
iklan
iklan
iklan
iklan
iklan
iklan

Trending Now

iklan
iklan
iklan

Iklan

iklan