Iklan

iklan

Pidato Peringatan HUT ke-64 Bangsa Papua: 1 Desember 1961 - 1 Desember 2025

Tabloid Daerah
12.01.2025 | 6:00:00 AM WIB Last Updated 2025-12-01T01:11:29Z
iklan
Menase Tabuni, Presiden ULMWP.


Disampaikan Kepada seluruh komponen gerakan perjuangan bangsa Papua Barat di masing-masing Tempat Upacara 01 Desember 2025.

Hadirin sekalian, para Pemimpin Adat, Gereja, Pemuda, Perempuan, Mahasiswa, Organisasi Masyarakat Sipil, Pejuang Kemerdekaan, serta seluruh rakyat Papua di dalam dan luar negeri yang saya Cintai dan Muliakan.

 
Salam Revolusi

Hari ini, 1 Desember 2025, kita berkumpul dengan hati yang penuh syukur dan semangat juang yang tak pernah padam untuk memperingati Hari Lahir Bangsa Papua yang ke-64.

Enam puluh empat tahun yang lalu, tepat pada tanggal 1 Desember 1961, kita berdiri tegak sebagai bangsa yang mendeklarasikan identitas, kemandirian, dan hak fundamental kita di hadapan dunia.

Perayaan ini bukan sekadar seremoni; ini adalah momentum Rekonsiliasi, Konsolidasi, dan Komitmen Ulang terhadap cita-cita luhur para pendahulu kita.

Refleksi Sejarah dan Pondasi Bangsa (1961)

Perjuangan kita didasari oleh sebuah fondasi sejarah yang kokoh.


Rekonsiliasi Rakyat dan Pembentukan Parlemen New Guinea (1961)

Tepat sebelum 1 Desember 1961, rakyat Papua melaksanakan Kongres Pertama Bangsa Papua. Kongres ini adalah manifestasi sejati dari rekonsiliasi dan persatuan nasional.

Puncaknya adalah pembentukan lembaga-lembaga negara, termasuk Parlemen New Guinea, yang mewakili seluruh suku dan wilayah.

Langkah ini sejalan dengan Resolusi PBB No. 742 (bukan 73, yang umumnya dikaitkan dengan non-self-governing territories) tentang wilayah yang tidak memiliki pemerintahan sendiri, yang menegaskan hak rakyat untuk menentukan nasibnya.

Rakyat Papua telah memenuhi semua syarat untuk menjadi sebuah negara merdeka.


Komando Trikora, Invasi Militer, dan Operasi Intelijen

Namun, deklarasi kemerdekaan kita disambut dengan ancaman. Presiden Indonesia saat itu, Soekarno, mengeluarkan Komando Trikora pada 19 Desember 1961, yang secara terbuka menyatakan niat untuk menginvasi dan merebut wilayah Papua Barat.

Ini menandai awal dari kejahatan invasi militer Indonesia dan serangkaian operasi intelijen klandestin yang bertujuan untuk menggagalkan kedaulatan yang baru lahir.

Invasi ini adalah pelanggaran terang-terangan terhadap hukum internasional dan hak penentuan nasib sendiri bagi bangsa Papua.


Kejahatan Perjanjian New York (1962) 

Pada 15 Agustus 1962, sebuah perjanjian ditandatangani di New York, yang dikenal sebagai Perjanjian New York.

Perjanjian ini, yang diatur oleh PBB dan Amerika Serikat, memindahkan administrasi Papua dari Belanda ke Indonesia melalui UNTEA tanpa melibatkan representasi sah dari rakyat Papua yang telah menyatakan kemerdekaannya.

Perjanjian ini adalah kejahatan diplomatik karena mengabaikan hak politik dan hukum bangsa Papua, hanya berfokus pada kepentingan geopolitik dan ekonomi global.


Kejahatan Politik Aneksasi 1 Mei 1963

Berdasarkan Perjanjian New York, Indonesia secara resmi mengambil alih administrasi Papua pada 1 Mei 1963.

Tanggal ini dikenal sebagai Aneksasi Politik, yaitu pencaplokan sepihak dan ilegal. 
Sejak hari itu, Papua resmi berada di bawah cengkeraman kekuasaan Indonesia, dan hak-hak sipil serta politik rakyat Papua mulai diberangus.


Kejahatan Kontrak Karya Freeport (1967)

Sebelum pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera), pada tahun 1967, rezim Orde Baru di Indonesia secara tergesa-gesa menandatangani Kontrak Karya (KK) dengan PT Freeport Sulphur (sekarang PT Freeport Indonesia).

Penandatanganan ini adalah kejahatan ekonomi dan politik karena dilakukan di atas tanah yang status politiknya belum diputuskan.

Kontrak ini menunjukkan bahwa motif utama aneksasi adalah penguasaan kekayaan alam Papua, mengorbankan hak-hak politik rakyat pribumi.


Kejahatan Rekayasa Pepera dan Resolusi PBB No. 2504 (1969)

Puncaknya adalah Pepera 1969, yang seharusnya menjadi pelaksanaan hak penentuan nasib sendiri. Namun, prosesnya direkayasa secara brutal dan militeristik.

Dari 800.000 penduduk papua saat itu, Hanya 1.025 orang yang dipilih (Dewan Musyawarah) di bawah ancaman militer untuk "bermusyawarah" dan menyetujui integrasi. 

Hasil rekayasa ini kemudian dicatat oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa /PBB, melalui Resolusi No. 2504. PBB mengakui hasil tersebut, namun resolusi ini tidak menyelesaikan konflik, melainkan hanya menangguhkannya. 

Sejak saat itu, rakyat Papua menyebut resolusi ini sebagai Tragedi Politik PBB yang melegitimasi kejahatan kolonialisme baru.


Rekonsiliasi dan Konsolidasi Perjuangan (Pasca-1969)

Kekecewaan terhadap hasil Pepera dan Resolusi PBB No. 2504, justru memicu gelombang konsolidasi perlawanan berkelanjutan.

 
Rekonsiliasi, dan Proklamasi 1 Juli di Victoria (1971)

Dua tahun setelah Pepera, sebagai bentuk penolakan, para pejuang di bawah pimpinan Brigjen Seth Rumkorem dan Jacob Prai melaksanakan Rekonsiliasi kekuatan perjuangan dan mendeklarasikan Proklamasi Kemerdekaan 1 Juli 1971 di Markas Victoria.

Proklamasi ini menjadi simbol bahwa semangat 1 Desember 1961 tidak pernah mati, dan perlawanan rakyat terhadap aneksasi ilegal terus berlanjut.


Rekonsiliasi dan Kongres Rakyat Papua Kedua (2000)

Setelah tiga dekade penindasan, gelombang rekonsiliasi kembali menguat. Pada tahun 2000, dilaksanakan Kongres Rakyat Papua Kedua di Jayapura.

Kongres ini menghimpun berbagai aspirasi elemen masyarakat dan menghasilkan Resolusi yang secara tegas menolak Otonomi Khusus dan menuntut peninjauan kembali status politik Papua melalui dialog damai yang dimediasi pihak ketiga.

Kongres 2000 adalah penegasan kembali kehendak politik rakyat.


Rekonsiliasi dan Kongres Rakyat Papua Ketiga (2011)

Pada tahun 2011, Kongres Rakyat Papua Ketiga dilaksanakan di Lapangan Zakeus, Waena. Kongres ini menghasilkan puncak konsolidasi dengan pembentukan Negara Federal Republik Papua Barat.

Resolusi yang dihasilkan menegaskan bahwa solusi konflik Papua harus didasarkan pada hak penentuan nasib sendiri dan mekanisme internasional.


Proses Konsolidasi Pasca-2000: Menuju Kekuatan Bersatu

​Hadirin sekalian,
​Setelah Kongres Rakyat Papua Kedua dan Ketiga, kesadaran akan pentingnya persatuan dan rekonsiliasi terus semakin mendalam.
 
Pengalaman pahit pasca-Pepera 1969, telah mengajarkan kita bahwa faksi-faksi yang terpisah hanya melemahkan perjuangan kita di mata penjajah dan komunitas internasional.

Oleh karena itu, langkah-langkah besar konsolidasi mulai dijalankan, menyatukan elemen sipil dan militer di dalam dan luar negeri seperti; 


Koalisi Nasional Papua Barat untuk Pembebasan (WPNCL) - 2005

​Pada tanggal 1 Desember 2005, di Mewani, Papua Nugini, sebuah momen bersejarah terjadi: Rekonsiliasi dan Konsolidasi elemen sayap militer dan sipil politik Papua Barat diumumkan melalui pembentukan Koalisi Nasional Papua Barat untuk Pembebasan (West Papua National Coalition for Liberation/WPNCL).

​Pembentukan WPNCL adalah upaya strategis untuk menyatukan beragam faksi militer dan politik yang sebelumnya terpecah. Menciptakan satu suara tunggal di panggung internasional, khususnya untuk lobi di forum sub-regional Melanesia, serta, regional Pasifik dan Internasional/PBB.

​Langkah ini menunjukkan komitmen serius para pejuang untuk meninggalkan perbedaan demi kepentingan nasional yang lebih besar, membangun platform politik yang kredibel di mata dunia.


Eksodus Mahasiswa dan Pembentukan KNPB (2008-2012)

​Tahun 2008 menjadi titik balik dalam gerakan sipil. Terjadinya Eksodus Besar-besaran Mahasiswa Asli Papua dari berbagai kota studi di luar Papua, sebagai respons terhadap meningkatnya diskriminasi, Rasisme, kekerasan, dan kegagalan pemerintah kolonial memicu gelombang konsolidasi di kalangan pemuda.

​Dari kesadaran bersama ini, lahirlah Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Tahun 2009.
KNPB dengan cepat menjadi garda terdepan gerakan sipil, mengorganisir aksi-aksi massa damai dan terus mendorong kesadaran nasional.

​Konsolidasi ini berpuncak pada:
​Pembentukan Parlemen Nasional West Papua (PNWP) pada tanggal 5 April 2012, di Sentani.

​PNWP dibentuk sebagai lembaga politik dan legislatif sementara yang mewakili kehendak rakyat dan bertujuan untuk mendorong referendum serta mendirikan pemerintahan transisi.

​KNPB dan PNWP adalah simbol rekonsiliasi antara energi muda yang militan namun damai dengan struktur politik yang terorganisir, memastikan bahwa perjuangan tidak hanya dilakukan di hutan tetapi juga di jalan-jalan kota, dan di meja perundingan.

Konsolidasi di Akar Rumput

Adapun konsolidasi Adat, Gereja, dan Masyarakat Sipil. Rekonsiliasi dan konsolidasi tidak hanya terjadi di tingkat elite politik; ia juga merasuk ke setiap sendi kehidupan rakyat Papua.

​Masyarakat Adat menyatu melalui Dewan Adat Papua, untuk melindungi tanah, karakter dan identitas bangsa papua.

Demikian juga dengan Kombatan Militer Papua (TPNPB). terus meningkatkan konsolidasi persatuannya untuk mempertahankan eksistensi Api revolusi terus menyalah dirimbah rayah papua.

​Gereja-Gereja bersatu, dan bersuara kenabian melalui lembaga-lembaga keagamaan untuk menyuarakan keTuhanan, kemanusiaan, keadilan dan perdamaian abadi.

Pemuda, Perempuan, dan Mahasiswa terus melakukan gerakan progresif serta pengorganisasian massa dan pendidikan politik.

Adapula ​CSO dan NGO membangun agenda kerja bersama, saling menopang serta sinergis untuk mengadvokasi masalah kejahatan kemanusiaan yang terus terjadi, dan mencari solusi konflik yang berkepanjangan di atas tanah air Papua Barat.

​Rekonsiliasi di akar rumput ini memastikan bahwa perjuangan adalah milik seluruh rakyat, dan bukan hanya segelintir orang papua.


Konsistensi dan Kesadaran Nasional

​Saudara-saudari sebangsa dan setanah air.
​Setiap proses sejarah rekonsiliasi dan konsolidasi persatuan komponen rakyat Papua, sejak penentuan nasib sendiri tahun 1960 hingga hari ini, adalah cerminan dari tiga kesadaran fundamental:


Kesadaran Terhadap Adanya Penjajahan

Pengakuan kolektif bahwa kita masih berada di bawah kekuasaan asing yang ilegal.


Rasa Senasib dan Seperjuangan

Ikatan emosional dan spiritual yang kuat di antara semua klen, marga, suku bangsa pribumi Papua.


Upaya Membangun Kekuatan Nasional

Tekad untuk menyatukan barisan demi mencapai tujuan akhir.

​Rekonsiliasi dan konsolidasi ini adalah bukti nyata konsistensi Bangsa Papua Barat di hadapan penjajah dan di mata masyarakat internasional.

Kita tidak pernah menyerah, dan kita akan terus menyatukan barisan sampai kedaulatan rakyat terwujud.


Puncak Rekonsiliasi dan Pengakuan Internasional (2014-Sekarang) 

Puncak dari upaya rekonsiliasi di tingkat internal dan eksternal terjadi pada 6 Desember 2014, ketika seluruh komponen bangsa Papua (Komponen Sipil, Militer dan Diplomasi) di dalam dan luar negeri mencapai kesepakatan untuk bersatu dalam satu wadah payung yaitu, United Liberation Movement for West Papua, (ULMWP), yang disebut Deklarasi Saralana, di Port Fila, Negara Republik Vanuatu.

Koordinasi Persatuan ini membuahkan hasil nyata, di mana entitas politik bangsa Papua berhasil mendaftar dan diakuioleh negara- negara anggota forum sub-regional seperti Melanesian Spearhead Group (MSG), mendapatkan dukungan politik dari Pacific Islands Forum (PIF), African, Caribbean, Pacific (ACP) Group of States, dan terus berjuang untuk mendapatkan pengakuan di forum-forum internasional/PBB.

Ini adalah bukti bahwa persatuan adalah Kebutuhan dalam Perjuangan serta Kekuatan kita yang Utama.


Seruan dan Komitmen Bersama

Saudara-saudari sebangsa,
Melihat ke belakang, kita menyaksikan 64 tahun perjuangan yang penuh tantangan, darah, air mata, dan pengkhianatan.

Namun, 64 tahun juga merupakan bukti nyata dari keabadian harapan dan kekuatan Persatuan kita.


Mengheningkan Cipta, Komitmen, dan Seruan Konsistensi

Pada hari yang bersejarah ini, kami mengajak seluruh rakyat Papua di dalam dan luar negeri, serta komunitas solidaritas internasional, untuk sejenak:

Mengheningkan cipta untuk mengenang dan menghormati jasa para leluhur, pahlawan, dan martir perjuangan yang telah gugur mendahului kita, demi kedaulatan bangsa.

Merayakan HUT 1 Desember 2025 dengan penuh Hikmat, Damai, dan Bermartabat, menjadikan hari ini sebagai refleksi dan konsolidasi Batin.

Saya menghimbau dan mengajak semua elemen bangsa Papua , Anak Adat, Gereja, Pemuda, Perempuan, Mahasiswa, CSO, dan NGO – serta negara-negara pendukung kita.

Untuk terus konsisten berdiri bersama kami dalam memperjuangkan Keadilan, Perdamaian, dan Hak-Hak Fundamental Kemanusiaan, termasuk Hak Menentukan Nasib Sendiri bagi Bangsa Papua.


Tingkatkan Semangat Perjuangan dan Solusi Damai

Dengan semangat perjuangan yang tak pernah padam, saya mengucapkan:


Selamat Merayakan HUT yang ke-64 Manifesto Politik Bangsa Papua!

Baiklah kita tingkatkan Persatuan sebagai kekuatan utama kita. 

Mari kita terus bergerak maju bersama,, mencari solusi penyelesaian masalah Papua secara Damai dan Bermartabat, sesuai dengan mekanisme dan prinsip-prinsip hukum Internasional yang Konsisten.


Salam Pembebasan, 
" _Sejiwa , Sebangsa_ "


Menase Tabuni, Presiden ULMWP.

Port Numbay, West Papua: 29 Nov 2025.
Baca Juga
iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Pidato Peringatan HUT ke-64 Bangsa Papua: 1 Desember 1961 - 1 Desember 2025
iklan
iklan
iklan
iklan
iklan
iklan
iklan
iklan
iklan
iklan
iklan
iklan

Trending Now

iklan
iklan
iklan

Iklan

iklan