
![]() |
Aleks Giyai, Pegiat Literasi Papua, tinggal di Nabire, Papua Tengah. Ilst |
Oleh: Aleks Giyai*
*) Pegiat Literasi
Papua
Provinsi Papua Tengah adalah entitas baru yang seharusnya
menjadi ruang harapan bagi masyarakat di wilayah Papua tengah. Namun, dalam beberapa
tahun terakhir, kita melihat bahwa geliat pembangunan yang didorong oleh
pemerintah provinsi lebih banyak menyasar hal-hal yang kasat mata: gedung,
jalan, dan kantor. Yang luput – dan terus terpinggirkan – adalah pembangunan
manusia. Salah satu yang paling krusial tapi nyaris diabaikan adalah soal
gerakan literasi.
Saya menyampaikan ini sebagai bentuk keprihatinan,
sekaligus seruan kritis: Pemerintah Provinsi Papua Tengah (Dinas Pendidikan
dan Kebudayaan) belum memiliki konsep yang jelas dan strategis dalam membangun
gerakan literasi.
Kita tidak bisa terus menerus menutup mata terhadap
kenyataan bahwa minat baca masyarakat Papua masih rendah lebih khusus
Masyarakat Papua tengah. Bahkan, bukan hanya soal minat, banyak anak di kampung
belum pernah membaca buku cerita yang mencerminkan kehidupan mereka. Bukan
karena mereka tidak mau membaca, tapi karena tidak ada bahan bacaan yang
tersedia dan relevan. Lalu, di mana posisi negara – dalam hal ini pemerintah
provinsi maupun pemerintah kabupaten – dalam menjawab tantangan ini?
Pemerintah Gagal Menyentuh Akar Gerakan
Literasi
Selama ini, penggerak literasi lokal – para relawan,
mahasiswa, guru muda, bahkan pastor dan pendeta – telah berupaya membangun
rumah baca, membagikan buku bekas, mendampingi anak-anak belajar membaca dan
menulis di halaman gereja, di bawah pohon, atau di kompleks maupun Kampung.
Tapi ironisnya, gerakan-gerakan ini tidak pernah menjadi bagian dari agenda
besar pemerintah.
Ini bukan hanya soal komunikasi yang buruk. Ini adalah
kegagalan struktur perencanaan pembangunan yang tidak melihat literasi sebagai
fondasi pembangunan jangka panjang. Pemerintah terjebak dalam proyek-proyek
instan, tanpa keberanian membangun ekosistem literasi yang berpihak pada
masyarakat. Program pembangun literasi sesuai amanah UU kemendikbud ada 3
komponen yang harus di gerakan yaitu Gerakan Literasi Sekolah (GLS), Gerakan
Literasi Keluarga (GLK) dan Gerakan Literasi Masyarakat (GLM).
Literasi Bukan Acara, Tapi Proses
Literasi bukan tentang mendatangkan pegiat literasi dari
luar, membagikan buku sekali waktu, lalu berfoto. Literasi adalah proses
panjang membentuk cara berpikir, membangun daya nalar kritis, dan menghidupkan
kesadaran kolektif. Itu sebabnya, kita butuh peta jalan literasi Papua Tengah –
bukan daftar kegiatan tahunan, tapi strategi lintas sektor yang menjadikan
literasi sebagai ruh pembangunan: mulai dari sekolah, gereja, kampung, sampai
ruang-ruang informal lainnya.
Kita butuh ekosistem lietasi yang hidup, bahan bacaan dalam
bahasa ibu, perpustakaan sekolah yang tidak terkunci, guru yang dilatih untuk
menghidupkan budaya membaca, dan ruang diskusi terbuka yang menghidupkan
literasi. Inilah makna sejati dari membangun provinsi: bukan hanya
infrastruktur, tapi membangun manusia yang mampu berpikir dan bertindak secara
merdeka dengan gerakan Literasi.
Menagih Keberpihakan Nyata
Pemerintah Papua Tengah harus berani keluar dari cara pikir
birokratis yang kaku. Literasi tidak bisa dibangun dari atas ke bawah. Ia harus
tumbuh dari bawah, dari kampung-kampung, dan pemerintah seharusnya menjadi fasilitator
dan pelindung ruang-ruang literasi itu, bukan hanya menjadi sponsor acara.
Mulailah dengan hal kecil: dengarkan komunitas, libatkan mereka dalam
perencanaan, dan alokasikan anggaran yang berpihak.
Kalau tidak, maka Papua Tengah hanya akan menjadi provinsi
baru yang mewarisi pola lama: pembangunan tanpa kesadaran, dan kemajuan tanpa
pengetahuan. [*]
Yohanes Gobai