
![]() |
Foto Saat aksi massa Gerakan Solidaritas Untuk Raja Ampat tolak tambang Nikel di Raja Ampat, Selasa (10/6). Sumber: Arah Juang |
GERAKAN SOLIDARITAS UNTUK RAJA AMPAT
Tolak Tambang
Nikel, Selamatkan Raja
Ampat!
Raja Ampat yang indah tengah
di ambang kehancuran. Sejumlah perusahaan beroperasi disana. Di antaranya
PT Gag Nikel di Pulau Gag, PT Kawei Sejahtera Mining di Pulau Kawei, PT Raymod
Perkasa di Pulau Batang Pele, dan PT Anugerah Surya Pratama di Pulau Manuran.
Dari hasil temuan Kementrian Lingkungan Hidup (KLH), ditemukan bahwa beberapa perusahaan beroperasi secara illegal, dan lainnya berpotensi merusak
lingkungan.
KLH
menyatakan bahwa pulau-pulau yang ditambang adalah kurang dari batas aman yang
ditetapkan dalam UU NO 1 Tahun 2014, sehingga tidak boleh ditambang karena akan
menghilangkan pulau untuk
selamanya. Sementara temuan
lain adalah beberapa
perusahaan tidak memiliki
izin, dan lainnya tidak memiliki manajemen lingkungan dan pengolahan air limbah
sebelum dibuang.
Oleh
karena itu, KLH menyegel semua pulau. Tetapi alih-alih menanggapi temuan ini,
Menteri ESDM, Bahlil Lahadaila—justru mengambil tindakan sebaliknya. Ia berdiri
dari kejauhan dan menyatakan dengan santai bahwa semua perusahaan dihentikan
sementara. Kemudian, tanggal 7 Juni 2025, ia melakukan kunjungan ke Raja Ampat.
Dari
hasil jalan-jalan ini, Bahlil menyimpulkan bahwa Raja Ampat baik-baik saja. Ini
juga diperkuat oleh Gubernur
Papua Barat Daya, Elisa Kambu.
Tetapi ini adalah
pembohongan publik. Karena bukan saja bertentangan dengan temuan illmiah
dari KLH, tetapi
juga fakta-fakta lain yang
bersebaran di lapangan.
Aktivitas
pertambangan nikel jelas adalah aktivitas yang merusak. Sedimenya akan terbawa
ke laut dan merusak 75% karang yang ada disana. Kemudian hilir-mudik tongkang
yang akan mengangkut hasil pertambangan juga akan merusak
lalu-lintas satwa endemik
seperti penyu sisik, manta ray, dsb. Memang hari ini dampaknya belum besar, karena
memang mayoritas perusahaan baru beroperasi, akan beroperasi, dan satu di Pulau
Gag sudah beroperasi.
Tapi siapa yang akan menjamin kenyamanan setelah semua perusahaan beroperasi? Temuan KLH sudah jelas, bahwa mayoritas perusahaan tidak memiliki kelayakan AMDAL, dan di luar batas aman pulau yang layak dikeruk. Maka argument Bahlil dan Gubernur Elisa Kambu adalah argumen tanpa data dan tidak mendasar sama sekali.
Pulau seperti Pulau Batang Pele tidak bisa dikeruk. Bukan hanya karena terlalu kecil, tetapi juga berdekatan langsung dengan Piaynemo, Wayag, dan Yetnabi—yang menjadi pusat pariwisata kelas dunia yang terdapat di Raja Ampat. Demikian juga Pulau Kawei, Manuran, dsb. Kawasan- kawasan ini juga termasuk Geopark UNESCO dan Suaka Perairan yang dilindungi. Sehingga tidak bisa ditambang sama sekali.
Pertambangan nikel telah terbukti gagal dan merusak di berbagai daerah. Mulai dari Teluk Weda di Halmahera hingga Morowali di Sulewasi Selatan. Sedimentasi tinggi menyebabkan kerusakan lingkungan yang parah. Selain itu, kemiskinan dan penyakit tumbuh merata di sana.
Hasil
riset Universitas Tadulako dan Ne3sus Foundation (2025) menyimpulkan terdapat
kadar nikel dalam darah manusia yang hidup area sekitar tambang nikel. Kemudian
Michaella GY Lo dan Tim Jurnal One Heart (2024) melaporkan dari 7.721 desa di area
tambang di Sulawesi, tidak mengalami peningkatan ekonomi alias tetap miskin
seperti biasanya.
Laporan
lain dari Greenpeace 2025 juga menunjukkan jumlah penderita Infeksi Saluran
Pernapasan (ISPA) di tempat
pembarakan bijih nikel juga meningkat
menjadi 1.148 orang/tahun. Sementara WALHI Indonesia melaporkan banjir besar
menghantam Teluk Weda setiap tahun sejak tambang nikel mulai beroperasi.
Sehingga,
dari fakta-fakta ini sangat jelas bahwa rekam jejak tambang nikel adalah
kerusakan lingkungan dan penderitaan. Karena
itu, apabila para mafia ini mulai merambah kukunya di Raja Ampat, kita dapat memastikan hal demikian pun akan terjadi
di Raja Ampat dan laut Papua secara keseluruhan.
Mayoritas
pemegang saham dalam perusahan-perusahan nikel juga adalah para elit asal
Tingkok dan Perancis. Sehingga
berharap bahwa ekonomi masyarakat lokal akan
berkembang baik adalah tipu daya
paling menyesatkan. Memang ada lapangan pekerjaan untuk segelintir orang,
tetapi kerusakan yang dihasilkan akan mengakibatkan ribuan orang menderita,
termasuk generasi yang akan datang.
Baik
Gubernur Papua Barat Daya maupun Menteri ESDM, sama-sama mengatakan bahwa
tambang untuk kesejahteraan dan meningkatkan pendapatan asli daerah.
Argumen ini sepenuhnya kontradiktif. Sebab, Raja
Ampat adalah kawasan wisata kelas dunia yang diminati oleh semua manusia di
dunia. Maka alih-alih tambang nikel, pariwisata justru lebih menjanjikan.
Selain
itu, pertambangan adalah sesuatu yang bersifat sementara dan tidak
berkelanjutan. Pulau akan dikeruk hingga selesai, dan selanjutnya tidak ada
apa-apa lagi. Generasi selanjutnya tidak mendapatkan manfaat serupa. Maka
pandangan yang menempatkan
pertambangan sebagai ujung tombak ekonomi adalah pandangan yang pendek, dan
tidak berkelanjutan.
Selanjutnya, hilirisasi demi tujuan transisi
energi bersih sebagaimana pidato Prabowo-Gibran juga sepenuhnya menyesatkan. Mereka
berbiacara soal energi yang ramah lingkungan, tetapi menghancurkan alam untuk tujuan
itu. Maka argument
semacam ini sepenuhnya kontrakdiktif dan
cacat secara logika. Oleh sebab itu, kami menolaknya. Transisi
energi harus menggunakan energi yang ramah lingkungan seperti air, matahari dan
sebagainya. Bukan energi fosil yang mengeruk bumi secara brutal.
Pertambangan nikel di seluruh
Indonesia telah menunjukkan kegagalannya. Sehingga bukan tidak
mungkin Raja Ampat pun demikian. Ini bukan kebetulan. Tetapi corak produksi
yang berlandaskan motif profit atau kapitalisme memang demikian. Tidak peduli
alam dihancurkan, yang penting adalah keuntungan. Demikian juga bukan untuk
kesejahteraan, tetapi demi keuntungan pribadi.
Sejarah
telah mengkofirmasi semua ini. Bahkan di daerah Timika, tempat penghasil emas,
tembaga, dan uranium terbesar dunia—hari ini menempati posisi nomor satu
wilayah paling miskin di Indonesia. Demikian pun di Teluk Weda Halmahera,
Morowali Sulawesi Selatan, dan sebagainya.
Berbiacara soal pertambangan di Papua tidak bisa terlepas
dari ketamakan kapitalisme dunia yang rakus dan
tidak segan-segan menghancurkan alam Indonesia demi keuntungan bagi mereka.
Setelah membabat dan mengeruk habis Pulau Kalimantan dan Sumatera, sekarang
Papua menjadi target
berikutnya. Ini dibuktikan dengan maraknya investasi asing yang dibungkus dengan narasi Proyek Strategis
Nasional (PSN).
Proyek-proyek
ini telah menghacurkan alam Indonesia secara luas biasa, dan melibatkan
mobilisasi militer secara
massif. Rangkap jataban
menjadi tontonan sehari-hari, korupsi, dan juga kolusi. Demokrasi merosok hingga
titik paling akhir, dan rakyat sekarang sedang menderita kemiskinan paling
parah. Ribuan buruh juga telah di-PHK secara masal, dan jutaan petani
kehilangan tanah. Termasuk juga masyarakat adat di Papua.
Di Provinsi
Papua Barat Daya,
selain tambang nikel di Raja Ampat. Para bos investor
juga sedang menargetkan ribuan
hektar tanah-tanah adat untuk perkebunan sawit. Kejahatan ini akan merusak keaneka ragaman hayati Papua
yang indah, tetapi
juga terlepasnya ribuan
tanah dari penduduk
asli. Ini merupakan proses
proletariasi masyarakat lokal
untuk menciptakan ketergantungan bagi sirkuit modal.
Ini
berarti kita tidak lagi berdaulat, dan hidup bergantung sepenuhnya pada
sirkulasi modal yang tidak menentu. Ini adalah awal dari jatuhnya sebuah bangsa
dalam pelukan kapitalisme demi tujuan mereka yang sempit yaitu keuntungan,
alih-alih kegunanaan.
Berdasarkan latar belakang tersebutkan di atas maka, kami atas nama Gerakan Solidaritas Untuk Raja Ampat menyatakan sikap sebagai berikut:
1. Menolak dengan tegas dan mendesak pemerintah Republik Indonesia untuk mencabut semua Izin Usaha Pertambangan (IUP) Nikel di Raja Ampat.
2. Mendesak Menteri ESDM, Bahlil Lahadaila untuk mengehentikan secara permanen semua pengoperasian pertambangan di Raja Ampat, termasuk PT Gag Nikel yang telah beroperasi sejak tahun 2017.
3. Mendesak Gubernur Provinsi Papua Barat Daya, Elisa Kambu untuk segera mencabut peryataannya bahwa aspirasi masyarakat tentang tambang nikel di Raja Ampat dan segera meminta maaf kepada seluruh elemen masyarakat yang telah dilukai!
4. Pemerintah Daerah dan Pusat segera lindungi Raja Ampat dan mengakui hak masyarakat adat yang harus dilindungi!
5. Menolak dengan tegas semua rencana pembukaan lahan sawit di seluruh teritori Provinsi Papua Barat Daya!
6. Menolak dengan tegas semua proyek akstraktif dan perusahaan yang merusak alam di seluruh tanah Papua!
7. Menolak kembalinya Dwi Fungsi ABRI melalui Undang-Undang TNI!
8. Hak Menentukan Nasib Sendiri Bagi Bangsa Papua!
Demikian peryataan
sikap ini kami sampaikan. Atas Perhatiannya kami sampaikan terima
kasih.
Sorong, 10 Juni 2025
Abner Dimara Koodinator Umum