Foto bersama saat membacakan pernyataan sikap, "Hentikan Operasi Blok Warim Migas Timika Papua", KNPB, FRI-WP, dan AMPTPI/Dok. Emil W |
[Tabloid Daerah], Nabire -- Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Konsulat Wilayah Minahasa Raya bersama Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) dan Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua se-Indonesia (AMPTPI) Sulawesi Utara (Sulut) menolak tegas operasi Migas Blok Warim di Timika, dan menuntut agar segera! Menggelar Referendum di Tanah Papua bagi Rakyat Papua sebagai solusi demokratis.
Hal tersebut di atas disampaikan dalam keterangan pers 14 November 2023 dari Asrama Mahasiswa Papua Kamasan Tondano usai menggelar diskusi, "diskusi konsolidasi menuju 62 tahun dan menyatakan sikap atas situasi terakhir di Papua terlebih di Wilayah Meepago, Mimika, Papua, identik dengan surga kecil yang jatuh ke bumi dan memberikan harapan hidup bagi siapa saja yang hidup di Papua," ditulis dalam pernyataan sikap tersebut.
KNPB, FRI-WP, dan AMPTPI, mengatakan bahwa dalam kurun waktu yang singkat, kini Tanah Papua telah berubah bagaikan neraka yang jatuh ke bumi dan masih hidup di dalam situasi yang sangat represif dan memprihatinkan.
"Aroma kematian tercium setiap waktu dan terus menghantui rakyat kecil di Provinsi Papua dan Papua barat. Hal tersebut dapat kami lihat, dengar, dan mengalaminya diakhir-akhir ini. Di saat harapan hidup Orang Papua dikebiri dan dirampas habis-habisan oleh penguasa melalui sistem Negara ini," kata KNPB, FRI-WP, dan AMPTPI dalam keterangan pers itu.
Lebih lanjut, mereka menjelaskan bahwa Papua selalu penuh dengan kekerasan yang tidak pernah redah. Politik menjadi domain kaum elite yang mengakibatkan penyimpangan sosial-ekonomi. Bahkan, nilai demokrasi di Tanah Papua terus dibungkam oleh alat negara baik itu TNI dan POLRI, maupun pejabat negara dari pusat sampai ke daerah dengan kekuasaannya.
Ditambahkan lagi, aturan dan hukum di Negara Indonesia dilacurkan oleh Kapitalisme dan neo-liberalisme yang sedang mementaskan kemenagan kaum elite, penguasa, dan pengusaha yang kuasai uang dan tahta serta mendatangkan kemiskinan yang akut terhadap rakyat kecil.
"Dalil kesejahteraan melalui kue pembangunan justru menyebabkan dislokasi sosial," ungkap Rico perwakilan dari FRI-WP.
Rico Perwakilan dari FRI-WP berorasi bersama KNPB dan AMPTPI./Dok. Emil W. |
Perwakilan dari FRI-WP itu lebih jelas mengatakan bahwa sudah 60-an tahun, sejak Negara Indonesia aneksasi Papua, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak membawa dampak positif bagi rakyat Papua, lebih khusus Orang Asli Papua (OAP) sebab politik birokrasi telah memaksa semua identitas, semangat, dan nilai budaya masyarakat Papua hidup dalam irama regulasi negara. Sehingga, rakyat Papua terus mengalami intimidasi, marginalisasi sampai pada slow-Motion Genocide.
Tambah Rico, nampaknya di Papua dari dulu hingga sekarang kelihatannya isu kesejahteraan dan pembangunan, konsep mati, justru konsep Alimurtopo dimana, Alimurtopo pernah menyatakan bahwa kita merebut papua bukan mas-mas Papua tapi karena, emas-emas Papua.
"Pantaslah semua kebijakan pusat mengarah pada kepentingan penguasa. Hal tersebut sangat terlihat dengat adanya beberapa paket Undang-undang yang direvisi lebih mementingkan para pemodal dan membuka ruang investor asing untuk dapat menanam saham dalam negeri maka, sangat berbahaya akan terancam hutan yang dijadikan warga papua sebagai sumber kehidupan," jelas Rico.
Masih di tempat yang sama, Ketua AMPTPI, Elmau Mosip menyatakan akan berbahaya lagi ketika akan membuka tambang migas ini.
"Kami punya pengalaman korban yang banyak salah satunya adalah P.T. Freeport Indonesia. Jadi, kehadiran perusahaan lah sebagai akar konflik dan peningkatan skalasi Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua," pungkas Mosip.
Dirinya menyampaikan, walaupun Luhut Panjaitan membeberkan bahwa Pemerintah Indonesia menemukan potensi ‘harta karun’ berupa minyak bumi bisa mencapai 27 Miliar Barel di Papua hal itu akan sulit bagi kami.
Atas melihat dinamika dan dasar ini semua, inilah yang membuat KNPB Konsulat Minahasa Raya, FRI-WP, dan AMPTPI menyatakan sikap dengan tegas. Yaitu:
Pertama, Menolak Operasi Tambang Migas di Timika,
Kedua, Hentikan Perpanjangan Kontrak PT. Freeport Indonesia,
Ketiga, Menolak Operasi Blok Wabu di Intan Jaya,
Keempat, Menolak Rencana Smelter Di Fak-Fak,
Kelima, Bebaskan Hariz Azhar dan Fatia,
Keenam, Berikan Hak Penentuan Nasib Sendiri Bagi Bangsa Papua Barat,
Ketuju, Hentikan Pembahasan DOB di Papua,
Kedelapan, Hentikan Pilkada di Papua 2024, dan negara segera! Menyelesaikan Pelangaram HAM di Papua.
Editor: Dani MB