Iklan

iklan

NASIB ORANG PAPUA MATI DAN HIDUP DITENTUKAN OLEH JAKARTA BUKAN OLEH TUHAN

MELKIANUS DOGOPIA
3.27.2022 | 7:31:00 AM WIB Last Updated 2022-03-27T05:07:29Z
iklan

NASIB ORANG PAPUA MATI DAN HIDUP DITENTUKAN OLEH JAKARTA BUKAN OLEH TUHAN


Jakarta Melihat Orang Papua sama dengan Binatang sehingga nasib masa depan orang Papua diatur dan ditentukan oleh manusia superior dari Jakarta. 


Hanya hewan atau ternak dalam kadang, ikan dalam aquarium nasibnya dan kehidupanya diatur oleh tuanya. Begitu pula saat ini nasib orang Papua sama, orang Papua di mata Indonesia hewan sehingga nasib masa depan ditentukan oleh Jakarta, berapa lama hidup, dan kapan orang Papua mati ada di tangan Jakarta. 


Mengapa kita harus menolak otonomi khusus dan pemakaranDOB di Papua karena Otonomi khusus dan DOB ancaman serius yang kita harus hadapi.


Kenapa pemakaran dipaksakan di Papua dan apa tujuan Resim Jokowi terus bernafsu memaksakan Otonomi khusus dan pemakaran Provinsi Baru jelas Investasi imperalis.


Jokowi ingin Indonesia menjadi negara kuat di Asia Tenggara atau macan Asia Pasifik harus diperhitungkan di dunia. Indonesia ingin menjadi negara maju keluar dari daftar negara berkembang di dunia. 


Saat ini Indonesia membangun mega proyek besar besaran di pulau jawa seperti Smelter di kersik, mega proyek lainnya agar 2050 target Indonesia negara super Power dan ingin keluar dari daftar negara berkembang menjadi negara maju. 


Jadi Pemaksaan pengesahan otonomi khusus nomor 2 tahun 2021 terkesan rasis kehendak Jakarta tanpa melibatkan orang asli Papua sebagai subjek. Karena ingin meloloskan kepentingan ekonomi nasional kepentingan oligarki imperalis.


Pemaksaan pengesahan otonomi khusus jilid II dan pemekaran DOB di Papua tidak jauh bedah dengan sejarah bangsa Papua demi kepentingan ekonomi kapitalisme Amerika. 


Pertama Perjanjian New York agreement 15 agustus 1962 dipaksakan tanpa melibatkan orang Papua. 


Perjanjian roma italia pada 30 september 1962 dilakukan tanpa melibatkan orang Papua. 


Penyerahan administrasi West Papua dari UNTEA ke Indonesia 1 mei 1963 tanpa sepegetahuan orang Papua. 


Perjanjian kontrak kerja PT Freeport Indonesia 7 april 1967 tanpa melibatkan orang Papua. 


Kemudian pelaksanaan penentuan pendapat rakyat ( PEPERA1969) tidak sesuai kesepakatan internasional 15 agustus 1962 karena ada kepentingan ekonomi imperalis Amerika. 


Hal yang sama sedang terjadi melalui Pemaksaan otonomi khusus jilid II dan realisasinya pemakaran Provinsi Baru mencapai legalitas hukum dan perizinan investasi di Papua. 


pemakaran Provinsi dan kabupaten kota hanya buka lapangan kerja bagi kaum migran dan buka akses serta legalitas hukum untuk realisasi investasi dan eksploitasi di Papua. 


Jika kita simak Perubahan undang undang nomor 2 tahun 2021 yang akan diperlakuan otonomi khusus jilid II akan diperlakukan pada juni mendatang ini tidak menguntungkan rakyat Papua. Orang Papua hanya jadi objek untuk kepentingan kelompok oportunis boneka Jakarta di Papua. 


Istilah Otonomi dalam tinjauan etimologis berasal dari bahasa Latin “autos” yang berarti sendiri dan “nomos” berarti aturan. Jadi secara harafiah berarti aturan sendiri. Dalam terminologi Encyclopedia Of Social Science Otonomi dalam pengertian orisional adalah “The legal self sufficiency of social body and its actual independence.” Dalam terminology ini tersirat dua dimensi, yakni: legal self sufficiency dan actual dependen.


Otonomi khusus harus ada kebebasan dan kewenangan sesuai dengan kebutuhan daerah atau wilayah tersebut. Otonomi daerah merupakan pengalihan wewenang dari pusat ke daerah, sekaligus mengaktifkan daerah yang selama ini telah tumbuh dan hidup sebagai perwujudan kelengkapan pemerintahan negara. 


Namun selama 20 tahun otonomi khusus jilid pertama tidak ada kewenangan dan kebebasan kepada pemerintah daerah untuk mengatur regulasi sesuai dengan kebutuhan daerah.


Sesungguhnya makna otonomi Daerah ditegaskan kembali dalam produk Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang baru, yakni ayat 5, pasal 1, UU No 32 Tahun 2004, menyatakan:


 “bahwa Otonomi Daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.” 


Jika mencermati seluruh perubahan dan penambahan yang ada, setidaknya terdapat dua peran pemerintah pusat yang begitu dominan dan mengesampingkan peran pemerintah daerah yang seharusnya menjadi pihak utama dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah otonomi khusus Provinsi Papua.


Pertama, terkait dengan pembentukan badan khusus yang diketuai oleh Wakil Presiden Republik Indonesia. Pada Pasal 68A UU Otsus 2021, dalam rangka sinkronisasi, harmonisasi, evaluasi, dan koordinasi pelaksanaan Otonomi Khusus dan pembangunan di wilayah Papua, dibentuk suatu badan khusus yang kemudian bertanggung jawab secara langsung kepada Presiden.


Badan khusus ini diketuai oleh Wakil Presiden dan beranggotakan Menteri Dalam Negeri, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, dan Menteri Keuangan, serta satu orang perwakilan dari setiap provinsi di Provinsi Papua sebagai anggotanya.


Hal inilah yang kemudian menampakkan bahwa pemerintah pusat melakukan over-control penyelenggaraan pemerintahan di daerah Otonomi Khusus Provinsi Papua. Badan Khusus ini akan mengungkung kebebasan dan keleluasaan pemerintah daerah dalam menentukan dan membuat kebijakan di daerah otonomi khususnya.


Sangat potensial, akan ada kewenangan yang saling tumpang tindih antara kewenangan yang dimiliki oleh badan khusus dan kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah, bahkan lebih jauh lagi akan mengurangi dan memangkas kewenangan pemerintah daerah Provinsi Papua.


Sesuai dengan statement dari Ketua Panitia Khusus RUU Otsus Papua Komarudin Watubun pada Juli lalu, pembentukan badan khusus ini merupakan simbol kehadiran Istana di Papua, namun di sisi lain juga merupakan simbol arogansi dan sikap otoriter pemerintah pusat atas pelaksanaan pemerintahan di daerah otonomi khusus Provinsi Papua.


Kedua, terkait dengan usulan pemekaran daerah. Pada Pasal 76 UU Otsus 2021, pada ayat (2) pemerintah pusat kembali menampakkan arogansinya atas usulan pemekaran daerah di daerah otonomi khusus Provinsi Papua.


Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat dapat melakukan pemekaran daerah provinsi dan kabupaten/kota menjadi daerah otonom untuk mempercepat pemerataan pembangunan, peningkatan pelayanan publik, dan kesejahteraan masyarakat, serta mengangkat harkat dan martabat orang asli Papua dengan memperhatikan aspek politik, administratif, hukum, kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumber daya manusia, infrastruktur dasar, kemampuan ekonomi, perkembangan pada masa yang akan datang, dan/atau aspirasi masyarakat Papua.


Munculnya subjek yang dapat mengusulkan adanya rencana pemekaran daerah pada ayat (2) ini merupakan bentuk lain atas arogansi pemerintah pusat dalam upaya pemekaran di daerah otonomi khusus Provinsi Papua dalam UU Otsus 2021.


Ayat (2) tersebut kemudian dipertegas kembali dengan pengaturan di ayat (3) Pasal 76 yang mengatur bahwa jika Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan usulan atas pemekaran daerah di Papua, maka pemekaran tersebut dilaksanakan dengan tanpa dilakukan melalui tahapan daerah persiapan.


Sesuai dengan Penjelasan Pasal 76 ayat (3) yang dimaksud dengan "tanpa dilakukan melalui tahapan daerah persiapan" termasuk tanpa harus memenuhi persyaratan dasar dan persyaratan administratif.


Jika dibandingkan dengan pengaturan pemekaran daerah dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah, pemekaran daerah secara detail dan rigid harus dilaksanakan dengan pemenuhan syarat-syarat dasar dan administratif sebagaimana diatur mulai dari Pasal 33 hingga Pasal 48 baik berupa pemecahan daerah maupun penggabungan daerah. 


Syarat dasar dan syarat administratif tersebut dimaksudkan untuk memberikan parameter yang jelas kemampuan suatu daerah sebelum dilakukan pemekaran, sekaligus dengan kemampuan dan kesiapan masyarakat pada daerah tersebut.


Apabila syarat dan tahapan pemekaran ditiadakan hanya karena subjek yang mengusulkan pemekaran adalah pemerintah pusat, hal ini tentu akan berimbas pada tataran pelaksanaan pemekaran dan berdampak langsung kepada masyarakat asli papua yang merasakan langsung efek dan dampak dari pelaksanaan pemekaran daerah.


Apakah pemerintah pusat tidak memikirkan nasib masyarakat Papua? Akankah persiapan pemekaran daerah yang seharusnya dijalankan oleh masyarakat Papua dapat dikesampingkan oleh pemerintah pusat? Jawabannya tentu tidak.


Patut diduga adanya pasal ini merupakan langkah konkret persiapan pembentukan daerah baru Provinsi Papua Tengah oleh pemerintah pusat yang kemudian akan menjadi agenda politik dalam rangka eksploitasi alam di Papua dengan dalih percepatan pembangunan.


 Selain mengesampingkan kesiapan dan dampak pada masyarakat Papua, perlu diingat kembali bahwa isu pemekaran daerah ini telah menuai banyak protes dari berbagai kalangan.


Pada tanggal 4 Maret 2022 Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia mengundang 9 Bupati yang berasal dari wilayah Pegunungan tengah Papua. 


Pertemuan yang direncanakan pada Jumat 14 Maret 2022 itu mengagendakan Persiapan Pemekaran Provinsi di Wilayah Papua Pegunungan Tengah. Pembahasan itu atas dasar pasal 76 ayat 3, UU No. 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Otonomi Khusus bagi provinsi Papua Nomor 21 Tahun 2001.


Sebelumnya, tuntutan pemekaran ini juga disampaikan oleh beberapa elit politik di Papua: 


1). SK Gubernur Papua Barat No. 125/72/3/2020 tentang pemekaran Provinsi Papua Barat daya.


2). Deklarasi 4 bupati (Merauke, Asmat, Mapi dan Boven Digul).


3). Deklarasi di Timika pada tanggal 4 februari 2021 meliputi Kab. Timika, Pantai, Dogiyai, Deyai, Nabire dan Puncak. 


4). Permintaan ketua Asosiasi Pegunungan tengah Papua, Befa Jigibalom kepada Jokowi di Jakarta. Berbeda dengan sikap rakyat Papua.


Profesor Dr Rocky Gerung menyebut bahwa UU Otsus adalah “Paket Perintah Menyogok Papua”. Dengan demikian dua Pasal yakni UU Perimbangan Keuangan dan Pemekaran Propinsi Papua saat ini sedang dibahas oleh DPR RI di Senayan diketuai oleh Komaruddin Watubun bertujuan “menyogok” lagi dan itu mau dipaksakan pada rakyat Papua adalah semacam Paket UU Sogokan Pemerintah bagi rakyat Papua.


Dari semua kebijakan mulai dari sejarah aneksasi sampai dengan Otonomi khusus dipaksakan ini seakan kami ini bukan manusia namun kami ini binatang. 


Jika kami manusia nilai kemanusiaan kami harus dihormati, hak politik kami tidak dirampas , hak demokrasi kami dibungkam tidak diberikan ruang. Kami bangsa Papua manusia sama seperti bangsa lain di dunia ini, nasib masa depan bangsa kami tidak bisa diatur oleh orang lain. 


Bangsa Papua punya hak untuk mengatur dirinya sendiri bukan diatur oleh Indonesia, semua produk hukum Paket politik pendudukkan bagian dari praktek Nekolonialisme Indonesia wajib dan harus menolak.


Semua kebijakan resmi Jokowi berwatak militer atek oligarki imperalis dipaksakan melalui borjuis lokal di Papua harus dihentikan sebelum tuntutan rakyat Papua tidak terpenuhi. Jangan kita diam malas tau otonomi khusus jilid II dan pemekaran DOB dan investasi di Papua menjadi ancaman serius. 


Jika kita diam menunjukkan sikap acu tak acu atau apatis terhadap ancaman ini maka kita akan minoritas termarginalisasi dan akan punah secara sistematis masif dan terstruktur. 


OTONOMI KHUSUS JILID II DAN DOB SENJATA NUKLIR PEMUSNAH ORANG PAPUA 


Silakan simak strategi jokowi dalam Video berikut: https://fb.watch/bZEroXPE8m/


Penulis adalah Juru Bicara Nasional KNPB Pusat, ONES SUHUNIAP

Baca Juga
iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • NASIB ORANG PAPUA MATI DAN HIDUP DITENTUKAN OLEH JAKARTA BUKAN OLEH TUHAN

P O P U L E R

Trending Now

Iklan

iklan