
[Tabloid
Daerah], Nabire -- Di Tengah meningkatnya eskalasi konflik bersenjata di Papua
dan makin bertambahnya jumlah pengungsi dan adanya dugaan pelanggaran Hak Asasi
Manusia (HAM), Kementerian Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (KemenHAM RI)
terkesan memilih diam. Lantas padamnya suara KemenHAM RI, Yayasan Lembaga
Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Deks Papua Emanuel Gobay, S.H., M.H., mempertanyakan tugas dan fungsi kerjanya.
“Ini
pelanggaran HAM terjadi di depan mata. Menteri HAM sedang kerja apa?” Tukas
Emanuel Gobay, S.H., M.H, disampaikan dalam acara diskusi publik yang digelar
oleh sejumlah organisasi gerakan sosial, bertempat di Asrama Mahasiswa Puncak,
Jl. Jakarta, Karang Mulia, Nabire, pada Sabtu (31/05) sore.
Kementerian
HAM yang berfungsi untuk mengawasi kebijakan yang berdampak pada pelanggaran
Hak Asasi Manusia, dinilai tidak menjalankan fungsinya di tengah naiknya
eskalasi konflik di Papua.
Mantan
Direktur LBH Papua itu menjelaskan bahwa dari rentetan operasi militer yang
terjadi di Papua telah terjadi pelanggaran terhadap warga atas hak Sipil
Politik (Sipol) dan Hak Ekonomi Sosial Budaya (Ekosob).
Sejak
tahun 2000 hingga 2025, telah terdata lebih dari 70 ribu warga yang mengungsi
keluar dari tempat mereka. “Untuk tahun 2025 belum ada data. Dengan adanya
eskalasi konflik yang meningkat, tentu akan menambah jumlah korban pengungsian
yang,” jelas Gobay.
Warga yang
mengungsi telah kehilangan hak untuk hidup aman dan nyaman; hak untuk peroleh
Pendidikan bagi anak usia sekolah; hak untuk mendapatkan layanan Kesehatan; dan
seterusnya. Gobay menegaskan bahwa kenyataan ini warga Pipil di Intan Jaya dan
Puncak telah mengalami pelanggaran pemenuhan HAK Ekosobnya.
Lantas
pemerintah wajib untuk memenuhi hak-hak itu. Untuk daerah konflik dan
pengungsian, Gobay menegaskan bahwa kewajiban tersebut merupakan perintah UU
No. 1 Tahun 2018, “Ini perintah UU Palang Merah, bukan Saya yang menyuruh.”
Imbuh Gobay tengah diskusi yang dihadiri oleh puluhan mahasiswa dari berbagai
kampus dan organisasi.
***
Berdasarkan
revisi UU TNI No. 2 tahun 2025 tentang penyerahan penyerahan pasukan berada
ditangan Presiden, atas persetujuan dari DPR RI.
Gobay mengatakan pasca UU TNI dibentuk sampai saat ini tak ada pengerahan
pasukan oleh presiden berdasarkan mekanisme yang ada. Lantas dengan adanya
terjadi operasi di berbagai daerah konflik, itu sangat illegal.
“Karena
bila ada instruksi presiden, maka sudah pasti diumumkan secara terbuka
menetapkan wilayah konflik dan penyerahan pasukannya, berlaku dalam kurung
waktu tertentu.”
Sekalipun
pendropan militer itu terjadi di daerah konflik bersenjata, Indonesia sudah
meratifikasi konvensi Jenewa Pasal 3 ayat 1, konvensi Jenewa tahun 1949
tentang Jaminan Perlindungan Masyarakat Sipil, yang diratifikasi Indonesia
dari Konvensi Jenewa, yang diatur didalam UU 59 Tahun 1958, “maka Indonesia
dan TPNPB wajib tunduk dibawa aturan hukum humaniter. Misalnya, warga tidak
boleh ditembak, anggota TNI yang tidak bertugas tidak boleh ditembak, dst.”
Jelas Gobay, dalam UU konvensi Jenewa tersebut, setiap kelompok militer yang
berperang, akan disebut sebagai peserta agung.
Lantas, yang menjadi pertanyaannya kata Gobay, dari 18 orang yang korban di Intan Jaya,
tentu 14 orang lainnya adalah warga sipil.
“Tindakan
menewaskan warga sipil tersebut melanggar konvensi Jenewa.” Tegas Gobay,
mengatakan bahkan sudah melanggar Hak Sipol warga sipil dimana warga sipil
Intan Jaya berhak untuk hidup, makan, dan sebagainya.
Di saat
ini lah warga membutuhkan tim investigasi dari Komisi Hak Asasi Republik
Indonesia (Komnas HAM RI), juga suara dari Menteri Kementerian Hak Asasi
Manusia.
“Situasinya seperti itu, dan sudah diberitakan dimana-mana. Lalu Menteri HAM sedang kerja Apa? Hanya duduk manis, habiskan uang Negara? atau apa?” katanya menutup. (YoGo)