
![]() |
ilustrasi gambar. Ilst |
Oleh: Wallo *
*) Pemuda Pengangguran di Nabire
Dua tahun
belakangan ini banyak media yang berjamur di Papua, Khususnya di Papua Tengah.
Saat ini sedang di data.
Rata-rata
semua media ini penuh dengan pemberitaan tentang aktivitas pemerintah, pejabat
bikin apa, dimana? itu yang dituliskan. Sehingga, bila Karl Marx bilang
kesadaran manusia itu dibentuk oleh keadaan sosial, salah satunya masyarakat
peroleh informasi dari pemberitaan yang ada di media.
Bila isi
beritanya rata-rata abai terhadap realitas sosial yang memprihatinkan, maka,
aktivis harus menuliskan. Jangan tunggu wartawan harus kritis lalu menuliskan
narasi penindasan yang dialami oleh masyarakat.
Menulis
tidak harus yang keras, teoritik, dengan gaya penulisan filsuf. Bisa dimulai dari tulisan yang sederhana
saja. Cerita pengalaman, catat suatu kejadian atau pengamatan langsung terhadap
apa yang terjadi, itu juga tulisan.
Saat ini,
kita diberadapkan pada fase perang dingin. Sisi lain siapa yang menguasai
media, dia kontrol pikiran dan kesadaran rakyat. Bukti hari ini semua media
dikuasai konten yang tutup mata terhadap realita yang kita rasa sakit tapi
tidak pernah nongol di media.
Di Nabire,
sebenarnya banyak aktivitas yang dilakukan oleh para pelajar, mahasiswa,
pemuda, juga rakyat, dimana ada ruang untuk merefleksi tentang realitas sosial.
Tetapi satu hal yg luput dari aktivitas ini, adalah menuliskan. Semua lupa
untuk menuliskan pikiran-pikiran kritis, brilian yang muncul dan muncrat di
tengah di ruang-ruang itu.
Misalnya,
aktivitas lapak baca, seminar, kondisi jalan yang rusak, suhu panas yang
semakin meningkat di wilayah perkebunan sawit: trada yang tanya, itu kenapa?
Atau bagaimana suka-duka pemuda terminal, ana-anak aibon, perjuangan para
porter mencari rupiah di tengah sedang sumbat keran uang, tidak lagi mengalir
ke masyarakat akibat pemotongan (efisiensi) anggaran secara besar-besaran.
Atau
Lowongan Pekerjaan (Loker) yang sulit diterima bagi orang Papua di Nabire. Dan
yang lebih besar lagi, lebih tinggi, itu tentang kenapa orang Papua ingin
merdeka. Itu dituliskan, dibahas dari berbagai sudut pandang.
Saya tidak
sepakat bila ada aktivis yang mengatakan bahwa menulis itu buang-buang waktu.
penindasan terus berlanjut, jangan buang energi untuk menulis. Itu keliru.
Mengapa?
Kalau perubahan itu cipta aksi nyata gerakan rakyat yang sadar, maka menulis
itu salah satu cara membuat rakyat sadar. Menulis setiap hari tentang alasan
kenapa kita harus berjuang, itu sama dengan memberi nutrisi bagi pikiran dan
kesadaran rakyat yang selama ini masih terus dihegemoni oleh dominasi
pemberitaan versi pemerintah.
Kalau
bingun mau tulis darimana? Mulai lah dari cerita pribadi anda. Mulai dari
berpacaran dimana sampai baku bawa di tempat demonstrasi, misalnya. Atau
pengalaman kamu ditangkap, diinterogasi, dibebaskan dengan catatan a, b, c, d,
dst. Banyak hal yang harus dituliskan.
Menulis
itu soal melatih dan membiasakan diri tuk menulis. Cicil lah setiap hari sebanyak 600 kata.
Penulis pemula biasanya banyak salah. Tetapi jangan takut untuk mencoba dan
terus menulis. Sebab kegagalan itu wujud dari tidak mau mencoba. Orang yang
sudah mahir menulis itu pernah lewati tahapan yang paling sulit sekali pun. Tak
ada yang mudah dan instan di dunia ini, selain hujan yang turun tanpa
diperintah.
Kewajiban Aktivis itu Membaca, Menulis, Diskusi (Mengorganisir).
Bila kitong tra mulai hari ini, selesai sudah! [*]