Iklan

iklan

Surat Dari Penjara: Bapak Terkasih, Saya Ditembak dan Disembunyikan Di Penjara Tanpa Diberi Makan

Yohanes Gobay
5.11.2025 | 12:43:00 PM WIB Last Updated 2025-05-11T14:06:01Z
iklan

Nando Mote (26), pria yang ditangkap tanpa alasan, ditembak di bagian kaki, lalu disembunyikan di penjara selama 19 hari. Doc: YoGo
 


Yohanes Gobai )*

  

Isi Surat (#Dok-TadahNews/Yogo


 Keluarga yang terkasih


Dalam penjara sini tidak ada yang lihat saya.


Polisi tidak panggil dokter untuk obati saya punya kaki luka.


Saya sebenarnya bisa dibebaskan, tapi karena sa punya kaki luka yang dong tembak ini belum sembuh jadi mereka masih tahan saya.


Polisi dorang takut kalau sa bebas nanti sa tuntut dorang.


Maka dari itu, keluarga harus datang dan kasih bebas saya.


Polisi ini sedang sembunyikan saya dalam penjara sini agar jangan ada yang tahu kalau saya dapat tembak. Sa harap kam datang lihat dan  bebaskan saya.


Pelaku sebenarnya sudah ditangkap.


Sebenarnya saya sudah bisa dibebaskan, tapi karna luka tembak ini itu yang mereka sembunyikan saya.

 

Surat dari ruang Tahanan Kepolisian Resort (Polres) Nabire untuk keluarga dari seorang pemuda Papua.

 

Isi Surat (#Dok-TadahNews/Yogo)


Kepada yang terkasih, Bapa di rumah KPR.


Saya anak Nando Mote ingin Menceritakan kronologi penangkapan terhadap Saya yang berlangsung dengan penembakan di kaki saya.


Saya harap dengan adanya surat ini, bapa dapat membantu saya untuk melakukan penuntutan Kepada Pihak Kepolisian atas apa yang terjadi. Dan demikian bunyi kronologi penangkapan dan penembakan tersebut.


Awal mula penangkapan dan penembakan berawal dari KPR, Saya yang merasa tidak bersalah ini dikejar dengan Polisi. [awalnya duduk minum] mabuk karena melihat kehadiran polisi (Dalmas) merasa panik dan segera berlari dan mencari tempat persembunyian.


Tetapi karena mereka melakukan tembakan peringatan sehingga saya harus berhenti dan mengangkat tangan lalu menyerahkan diri kepada pihak Polisi.


Setelah Saya menyerahkan diri kepada Polisi, saya langsung ditembak menggunakan senjatah Api tepat di sisi kanan betis saya. Sehabis itu saya dipukul menggunakan pantat senjata di arah kepala sebanyak dua kali, lalu saya digiring naik ke atas mobil Dalmas.


Dalam perjalanan menuju Polres Nabire, Saya disiksa diatas mobil dalam keadaan kaki tertembak.


Sesampainya di Polres, Saya terus saja disiksa dan sambil ditanya tentang kejadian yang benar-benar tidak ada sangkut-pautnya dengan saya. Itu bukan saya yang melakukan.


Saya berharap bapa yang terkasih dapat membantu saya dalam hal menuntut kepada pihak Kepolisian.


Karena dalam penembakan tersebut, aparat tidak mempunyai surat izin menembak dan saya ditangkap pun atas dasar tidak bersalah.


Selama 7 hari di penjara, saya dibiarkan dan diabaikan begitu saja tanpa adanya Tindakan medis yang baik.


Saya merasa tidak diperhatikan malahan ketika saya melapor pun mereka hanya mengabaikan saya.


Setelah pelaku pemalangan dan perampasan tas tersebut ditangkap, saya masih saja di tahan. Padahal luka tembak ini sudah parah atau infeksi.


Saya harap bapa datang untuk membebaskan saya agar dapat melakukan penuntutan /visum dokter dan melakukan penuntutan terhadap kepolisian.

 

Hormat saya, anak Nando Mote di [tahanan] Polres Nabire

 

Surat ini merupakan surat kedua yang diketik ulang dan diberikan oleh Ibu dari Nando Mote, di Karang, Nabire (29/4/2025) saat hendak mencari Pendamping Hukum (PH) untuk Nando yang tak bersalah di Penjara dengan luka tembak.

 

Saya jumpai Nando Mote dirumahnya di KPR, Sriwini pada 5 Mei, Siang. Hari Itu Ia dibebaskan dari tahanan Polres Nabire.

 

Nando Mote adalah seorang pria asal Deiyai, tinggal di Nabire, di kompleks KPR, Sriwini. Nando, adalah korban kriminalisasi, ditahan dan ditangkap tanpa alasan, mendapatkan kekerasan fisik, bahkan Ia ditembak anggota Polisi Resort (Polres) Nabire menggunakan senjata api di bagian betis kaki kanan.


Saya merekam cerita ini atas izin dari Nando dan menuliskannya dari sudut pandang orang pertama.

 ***


Pada 17 April 2025, Sore, dari rumah KRP, Saya dan teman seorang teman laki-laki kami berangkat mengendarai motor ke Sriwini Bawa. Sampai di perempatan jalan kami bertemu dengan Polisi yang saat itu mereka sedang sweeping atau apa, kami tidak tahu. Tiba-tiba Mereka [Polisi] berhenti sambil berteriak, “Woi…”, “itu, kejar mereka, putar, putar,..” teriak polisi yang lain. Karena panik, Kami juga putar motor langsung melaju Kembali.

 

Beberapa anggota polisi mengendarai Mobil patrol masih mengejar kami dari belakang. Sampai di belakang Lambaga Pemasyarakatan (Lapas) KRP, Saya minta diturunkan dari motor dan berusaha menyelamatkan diri. Tapi Saya berhenti dan angkat tangan karena Polisi mengeluarkan tembakan peringatan.

 

Kakak, Saya tidak tahu apa-apa dan Saya tidak tahu masalahnya. Tapi Saya angkat tangan saja karena panik (polos Nando sambil angkat tangan).

 

Lalu, sekitar 6 sampai 7 anggota polisi bergerak ke arah Saya dan langsung popor senjata mendarat di muka sebanyak dua kali. Kakak, Itu [dilakukan] tanpa bicara mereka pukul saya.

 

Sementara itu, tanpa bicara, salah satu anggota Polisi mengokang senjata dan langsung menarik pelatuk, peluru karet mendarat di betis kaki bagian Kanan. Tanpa bicara langsung saya ditembak. Saya jatuh di situ (menghela nafas Panjang).

 

Setelah ditembak Saya masih diseret ke mobil Dalmas. Lalu ditarik ke bak mobil dengan paksa sambil melayangkan beberapa pertanyaan dengan nada yang intimidatif kepada Saya.

 

Dalam kondisi sakit karena tembak, dipukul, bahkan diseret ke mobil, Polisi masih menyuruh Saya untuk diantarkan ke alamat rumah pelaku jambret. “Ko antar kami ke anak itu, anak yang jambret itu,” kata Polisi berulangkali kepada Saya. Dari situ Saya baru sadar kalau ternyata saya ini salah target. Tetapi bagaimana mereka mau percaya? Saya sudah berulang kali mengatakan kepada Polisi bahwa bukan saya pelakunya, saya tidak tahu-menahu persoalan yang mereka maksud. Disisi lain Saya sudah dipukul, diseret, bahkan kaki saya penuh darah karena luka tembak.


Di Mobil patrol itu Saya diletakan begitu saja di bak. Sepatu laras milik polisi berada di atas kepala Saya. Sepatu laras itu tidak pernah pindah dari kepala sampai di kantor Polsek. Saya juga merasakan beberapa kali ujung tongkat bambu polisi sempat mendarat di tubuh saya berulang kali.

 

Dalam kondisi kaki berdarah dan memar di kepala, Saya diseret ke dalam ruangan tahanan Polsek Nabire. Polisi ini tidak punya rasa kemanusiaan, Kakak. Saya bicara serius. Mereka tidak peduli dengan kondisi Kaki yang berdarah itu. Menurut Saya muka yang bengkak dan memar ini tidak apa-apa. Tetapi Saya rasa, peluru yang mengenai kaki Saya itu masih bersarang di dalam kaki Saya.

 

Saya mengurung diri kesakitan didalam penjara. Tetapi karena beberapa tahanan peduli terhadap kondisi Saya, mereka melaporkan kepada pihak kepolisian untuk segera ditangani medis.

 

Darah terus mengalir di luka tembak. Beberapa tahanan bantu membersihkan darah itu dengan air minum yang mereka sisahkan.

 

Tidak lama kemudian, beberapa Polisi membawa saya ke klinik terdekat, klinik milik Polres. Sesampai di klinik, petugas menyarankan untuk harus dilakukan ronsen untuk memastikan keberadaan peluru sekaligus berapa jauh kedalaman luka tersebut.

 

Kemudian Polisi minta untuk lukanya ditutup saja. “Oh, io, kalau begitu saya jahit saja,” kata petugas medis yang sedang bertugas di sore itu sambil menyiapkan peralatan jahit. Ini dilakukan tanpa memeriksa lukanya, bahkan pelurunya masih belum dikeluarkan. Masih bersarang didalam kaki.

 

Mereka jahit luka, bungkus dengan perban, lalu mereka bawa saya ke Rumah Sakit Sriwini.

 

Sampai di RS mereka melakukan ronsen. Saat itu dokter yang sedang melakukan rosen dan seorang anggota Polisi dari Unit Reserse berada di dalam ruangan tersebut. Entah apa yang mereka lakukan, saya juga tidak tahu.

 

Usai ronsen, Saya tidak diperlihatkan hasil ronsennya. Bahkan dokter juga tidak menjelaskan kepada Saya bagaimana kondisi kaki Saya berdasarkan hasil ronsen tersebut. Tetapi justru Polisi yang menjelaskan kepada saya bahwa peluru tidak bersarang di dalam kaki.

 

“Ini tidak ada peluru di dalam kaki, jadi ini kayaknya teman kamu yang menembak itu bukan menggunakan senjarah, atau tembak pagai [alat] apakah,” Kata Polisi itu kepada Saya. Bah, ini padahal jelas-jelas yang tembak itu anggota Polisi. Saya tidak butah, saya lihat sendiri dengan mata kepala saya, bahkan saya yang mengalami luka ini tahu bagaimana kejadian itu. Tetapi polisi ini justru bilang bahwa yang menembak itu seakan-akan teman saya, dan menggunakan alat apa, ini gila. Polisi memang tidak mempunyai rasa kemanusiaan betul, kakak, sungguh (sambil menyalami salam kas papua—Kipo/kumbi, heran).

 

Saya juga heran dengan penjelasan dari anggota polisi itu. Saya bertanya memastikan ulang, “benarkah ini tak ada peluruh di dalam?” Tapi Polisi itu, dengan santainya menjawab, “ah, itu kamu pake [mengenakan] celana Panjang jadi mungkain waktu kamu ditembak peluruhnya memantul keluar.”

 

Lah, baru luka yang sedang berdarah itu akibat apa kalau bukan karena peluruh yang masuk merobek daging kaki saya dan masih bersarang di dalam kaki sana? Saya heran saja atas jawaban Polisi itu.

 

Padahal perawat di klinik sebelum pergi ke RS itu sudah menjelaskan bahwa karena peluru masih ada di dalam kaki dan kemungkinan jaraknya berada di dekat tumit kaki—senjata yang digunakan mengarah ke bawa, lantas perlu di ronsen untuk memastikan keberadaan peluru tersebut. Tetapi sampai di rumah sakit jawabannya sudah begini. Bahkan dokter yang memeriksa Kaki saya itu tidak memberikan penjelasan sama sekali. Diam dari seribu Bahasa. Justru anggota polisi itu yang berperan seakan asisten dokter atau perawat yang ada disitu.

 

Ini sangat miris kakak (Sambil menggelengkan kepala).

***

 

Foto Betis yang ditembak oknum aparat (Polres) Nabire (#Dok-TadahNews/Yogo)

Kakak, cara mereka membawa masuk saya ke dalam rumah sakit dan cara mereka bawa keluar itu aneh betul. Seakan saya ini orang yang berbahaya. Mereka pastikan sekitar rumah sakit itu orang harus kosong, steril, baru mereka turunkan saya, taru di kursi roda lalu mendorong masuk kedalam dengan cepat penuh tenaga. Begitu juga saat keluar.

 

Dengan kondisi itu mereka bawa Saya kembali ke ruang tahanan Polres Nabire.

 

Mereka biarkan saya menderita didalam ruangan tahanan selama 5 (limat) hari. Saya hanya minum obat itu di hari pertama. Obat itu juga dari klinik. Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Nabire tidak memberikan obat. Hasil ronsen juga saya tidak tahu selain penjelasan dari anggota Polisi.

 

Setiap kali saya teriak kesakitan anggota Polisi hanya tidak memperdulikan kondisi itu. “ahk itu [luka dan keberadaan sarang peluru] masih jauh dari jantung.” Kata Polisi berbicara dari luar, pintu ruangan uni tahanan. “ahk, itu masih jauh dari kematian,” kata polisi lainnya. Ini tidak ada penanganan yang baik. Tidak ada sama sekali, selain kata-kata itu yang saya dengar.

 

Justru tahanan lain yang repot tangani Saya, sirami luka itu dengan persediahan air minum mereka.

 

Sebenarnya Klinik itu memberikan persediahan obat macam anti nyeri itu untuk lebih dari satu hari. Tetapi Polisi tidak memberikan obat-obat itu selain di hari pertama Saya minum dari Klinik. Padahal obat sudah di berikan kepada penyidik. Tetapi tidak diberikan kepada saya. Bingung kenapa obatnya ditahan.

Pada hari ke tuju, saya teriak kesakitan dari sore sampai jam 5 pagi. Saat itu rasa nyeri, tambah lagi dengan panas dingin. Sunggu! Menderi betul, ini menyiksa Saya. Polisi hanya balas teriak dari luar, “ei, ko diam sudah. Tenang baru tidur situ.”

 

Terpaksa saya membuka perban luka—perban yang ditutup dan luka yang dijahit tanpa membersihkan dan mengeluarkan sisah peluruh yang bersarang didalam kaki. Ternyata, saat begitu buka perban, langsung nana bercampur darah keluar mengalir begitu banyak.

 

Hari itu juga saya menulis surat untuk diketahui keluarga saya. Seorang tahanan memberikan pulpen dan kertas lalu Saya menuliskan surat permohonan pembebasan kepada bapak saya di KRP, lalu surat itu dititipkan melalui keluarga tahanan lain yang datang menjenguk mereka.

***

 

Hari ke delapan, sih pelaku ditangkap. Nama inisialnya A, marganya Boma. Boma tinggal di KPR juga, tentu Saya mengenalnya.

 

Pagi itu, Polisi panggil Saya dan menjelaskan bahwa Saya akan dimintai keterangan untuk menjadi saksi atas pelaku. Kata Polisi “Nanti ko dimintai keterangan sebagai saksi, lalu ko akan dibebaskan. Ko di tahan selama ini hanya sebagai jaminan saja.”

 

Setelah buat laporan Saya baca ulang keterangan, ternyata Saya ditangkap karena pencuri motor. Itu keterangan yang dimuat di dalam poran tersebut. Bah, masa saya mencuri motor itu Dimana? Kapan? Siapa saksi dan siapa yang dikorbankan?

 

Saya tanya itu bahwa ini laporan yang salah. Langsung anggota [kalimat] itu dihapus dari berkas laporan penyidik.

 

Setelah itu saya dibawa kembali ke ruang tahanan.

 

Saat itu, Saya fikir dengan memberikan keterangan dan ditangkapnya pelaku maka saya akan dibebaskan.

 

Tetapi tidak.

 

Malam harinya saya bertanya kepada polisi yang bertugas di unit tahanan. “Bapak, besok Saya sudah bisa keluar kah? Karena ini luka sudah sangat pedis jadi saya harus berobat.” Tetapi Polisi itu menjawab dengan santai berkata, “ahk, sudah ko tenang saja. Nanti kami akan berikan obat. Nanti ko sembuh. Masih jauh dari jantung moo, tentang saja,” begitu kata Polisi.

 

Mendengarkan kata-kata itu tentu saya marah. Emosi. Tetapi apa yang bisa saya perbuat? Tak punya kekuatan dan tidak memiliki kekuasaan untuk membebaskan Saya. Hanya bisa diam dalam penyiksanaa itu. Itu yang bisa saya lakukan.

 

Pada hari ke 10 (Sepuluh) seorang tahanan, Namanya Elia Waner. Ia berprofesi sebagai tenaga medis. Masyarakat di lingkungan Ia tinggal sering di sapa sengan paman atau Pak Mantri. Paman Elia bekerja di RSUD sebelum Ia ditangkap dan dipenjara. Paman menawarkan memeriksa luka Saya.

 

Paman meletakan tangannya tepat di tumit, menekannya penuh kekuatan, dan menggerakan tangannya naik ke arah betis, ke arah luka berlubang. Tentu aksinya itu mengundang banyak nana yang banjir keluar. Lantas ada dua pecahan peluru karet berwarna hitam yang ikut keluar juga. Paman terdiam sebentar lalu mengatakan, “bah, ini Polisi bilang tidak ada peluru. Tapi kenapa ada pecahan peluru yang keluar?”

 

Pak Mantri itu hebat. Berkat aksinya kondisi nyeri di kaki saya semakin membaik, walau pun dilakukan tanpa peralatan medis yang lengkap.

 

Selama 19 hari saya didalam tahanan, Kakak, hanya dua kali tenaga medis datang memeriksa kondisi luka saya. Itu pun hanya lihat saja kondisi kaki saya lalu diberikan beberapa jenis obat. Begitu saja. Mereka tidak mengganti perban juga. Sejak Saya melaskan perban, saya membiarkan luka tanpa membukus menggunakan apa pun.

 

Setelah dua hari, hari ke 12 (dua belas), setiap apel pagi saya bertanya kepada penyidik kapan saya akan dibebaskan. Sebab saya ditahan tanpa alasan, ditembak pula, kemudian pelakunya sudah ditangkap tetapi masih ditahan. Tetapi penyidik terlalu banyak berlasan untuk menahan saya lama. “Sudah ko tenang saja. Ko minum obat saja. Ini keluarga kamu juga belum ketahui, belum ada yang datang juga.” Mendengar Jawaban dari Polisi itu, Kakak, saya langsung bertanya, “Bapak bisa bantu panggilkan? Atau bisa temani Saya pergi ke rumah untuk beritahu kondisi keberadaan saya?” Pertanyaan itu tidak diseriusi oleh Polisi. Mereka hanya menjawab, “sudah! Kamu tenang saja. Kamu beritahu orang tuamu lewat siapa, melalui kenalan siapa, itu terserah kami,” begitu jawab mereka. Saya hanya berfikir, kalau begitu apa tugas kepolisian ini?

 

Nah, dari situ, kakak dengar, pada hari ke 16 saya bertanya kepada penyidik yang tadi keluarkan saya. “Bapak, kenapa saya ditahan sangat lama. Apa salah saya?” Penyidik itu membenarkan pertanyaan saya dengan mengatakan, “itu benar. Tetapi yang menahan kamu sejak awal itu Dalmas. Coba tanya ke Dalmas.” Tetapi ketika saya bertanya kepada Dalmas, mereka lemparkan ke unit Reserde. Tetapi kata Reserse, penyidik yang menahan. Jadi mereka saling melembar kesalahan begitu (ketawa).

 

Pada hari ke 17 saya bertanya lagi kepada penyidik dan penyidik mengaku bahwa itu kasat yang menyuruh untuk menahan saya. Saya bingung ini kasat dari unit mana? Reserse, Dalmas, atau dari penyidik. Saya ini tidak tahu istilah kasat, atau apa pun struktur dan fungsi kerja mereka di dalam kepolisiana. Tetapi dalam kebingungan itu saya hanya bisa mendengarkan saja.

 

Sejak hari ke 16 ada seorang pria yang mengaku advokat (pandamping hukum) datang lalu memastikan kondisi saya. Ia datang sebanyak dua kali. Saya tidak mengenal dia dan lupa siapa Namanya. Tetapi Sempat saya titip pesan untuk harus beritahu orang tua saya. Tetapi Ia hanya datang dua kali itu. Selanjutnya tidak ada.

 

Kakak, lebih parah, selama 19 hari di dalam tahanan itu Polisi tidak memberikan makanan untuk saya. Untung saya bisa dapat makanan dari teman-teman tahanan lain yang berbagi makanan kepada saya. Makanan saja begitu, tidak diberikan. Padahal soal makan ini harus. Apa lagi obat atau mendatangkan tenaga medis untuk merawat.

 

Ini saya bingung dengan motifasi Polisi di Nabire menangkap dan menahan orang tanpa salah, lalu tak diberikan makanan. Ini heran saja, kakak.

 

Tidak ada jatah makan untuk Saya sejak awal saya ditangkap hingga terakhir saya dikeluarkan.


pada hari ke 18 (delapan belas) Polisi mengatakan bahwa keluarga sudah datang melapor. “Karena pihak keluarga kami datang jadi besok kamu akan dikeluarkan,” begitu dengar itu dari penyidik, saya langsung rasa senang, legah, bahwa besok saya bisa berobat langsung.

***


“Hallo, selamat siang,” ada suara di depan rumah jadi langsung Saya berdiri lalu ke depan—Mama Meri, Ibu dari Nando bercerita—kejadian itu tanggal 27 April.


Seorang bapak-bapak yang Saya juga tidak mengenalinya, menggunakan motor Mio Beat berhenti di depan rumah--di komples KPR, Sriwini Nabire. Memarkirkan motor tepat didepan pintu masuk lalu mengetuk Pintu. Jadi saya langsung menyapa, “Ia, Siang bapak. Bagimana?

 

“Siang mama. Benar ini rumahnya Nando Mote?” tanya pria itu kepada saya. Bapak mengatakan Ia sedang mencari rumahnya untuk memberikan surat dari Nando untuk keluarganya. “Tadi saya tanya kepada beberapa orang yang ada di depan sana. Mereka menunjukan rumahnya lalu saya kesini untuk antarkan surat ini. Mama harus pergi cek kondisinya di Penjara,” katanya kepada Saya.

 

Sontak Saya kaget, Adik. Sebab kami hanya dapat informasi dari teman-temannya bahwa Ia ditangkap Polisi. Soal Ia ditembak di kaki dan luka yang tak diobati, bagaimana penderitaanya, itu semua kami tidak tahu sama sekali.

 

Sejak sore itu kami mencari bantuan secara hukum. Beberapa orang yang keberja di bidang advokasi kami datangi bahkan kami telpon. Dari beberapa yang respon, mereka juga sibuk. Ada yang berada di luar kota.

 

Kantor Bantuan Hukum di Nabire juga tidak tau ada Dimana? Atau memang tidak ada, kami tidak tahu. Karena kami sendiri takut untuk pergi ke kantor polisi, kami upayakan itu. Pada 4 Mei,kemarin, kami akhirnya pergi ke kantor Polres Nabire didampingi oleh pengacara Hukum Yustinus Butuh, S.H, MH. Dan Nando diperbolehkan untuk pulang.

***

 

Hari ini baru— 5 Mei 2025—saya dibebaskan.

 

Saya mau menuntut perbuatan ini. Polisi harus dituntut untuk mendapatkan keadilan. “Saya ditembak tanpa alasan; ditahan tanpa menunjukan surat penangkapan; bahkan surat izin untuk menembak saya, ini bagaimana?” Saya bertanya kepada penyidik saat saya dibebaskan. Tetapi, polisi hanya menjawab, “Kalau mau tuntut, Laporkan saja ke Propam.”

 

Tetapi Saya, termasuk keluarga sangat bingung cara melaporkan kepada Propam. Bahkan kami juga tidak tahu dimana keberadaan kantor Propam. (*)

 

)* Penulis adalah Wartawan di TaDahNews.com 

Baca Juga
iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Surat Dari Penjara: Bapak Terkasih, Saya Ditembak dan Disembunyikan Di Penjara Tanpa Diberi Makan
iklan
iklan
iklan
iklan
iklan

Trending Now

Iklan

iklan