
![]() |
Foto bersama peserta, panitia penyelenggara usai gelar kegiatan selama 3 hari, di rumah Kewita, berlokasi di Yapis, Nabire, Papua Tengah, pada kamis (15/5) sore. Foto: Doc. Kewita. |
TaDahNews.com, Nabire – Kewita bekerjasama dengan Lembaga Biyung dari Yogyakarta membikin kegiatan pelatihan Kesehatan Menstruasi danPembuatan Pembalut Kain di rumah Kewita, yang berlokasi di Yapis, Nabire, Provinsi Papua, Tengah. Giat ini berlangsung selama 3 hari, dari 13 Mei – 15 Mei 2025.
Kegiatan ini direspon baik oleh peserta.
Sebagai peserta, Marselina Motte salah satu peserta dari
Deiyai menuturkan bahwa kegiatan ini sangat bagus, “terutama untuk kitong
Perempuan.”
kata Mote kegiatan ini juga sesuai dengan nama tempat, di
rumah Kewita, artinya, rumah Perempuan. “Jadi kami bebas bicara apa saja
menyangkut privasi kami sebagai Perempuan. Baik itu reproduksi Perempuan,
menstruasi, dst.” Tuturnya usai kegiatan, kamis (15/5) sore.
Kaitannya dengan pelatihan tersebut, bagaimana perempuan
harus menjaga alat reproduksi, hak Kesehatan menstruasi, dan, menurut Mote, ini
sangat bagus karena kegiatan ini diajak belajar bersama, berbagi cerita dan
saling mendengarkan kepada sesama Perempuan, tentang apa Kesehatan menstruasi,
dan belajar memahami siklus menstruasi.
“Ternyata saya juga baru memahami jalannya menstruasi dan
Kesehatan menstruasi ini lebih banyak melalui kegiatan ini,” tutur Mote
mengapresiasi.
Melalui pelatihan pembuatan pembalut kain ini menerima
banyak manfaat. Dari sisi ekonomisnya, bahan-bahannya sangat murah dan mudah
didapatkan di rumah. Lalu dari sisi ekologisnya, bisa mengurangi plastic
sampah.
Perempuan biasanya menggunakan pembalut dari plastik yang
dijual di tokoh, dst. Dengan adanya pelatihan ini, menurut Mote, dapat
menyadari bahwa pertama bisa mengurangi sampah plastik. Kedua, bisa menghindari
penyakit yang diakibatkan dari bakteri pada daerah kewanitaan. Misalnya kanker
Rahim, dan sebagainya.
“Dengan adanya pelatihan pembuatan pembalut kain ini, bila
lanjutkan produksinya dan digunakan, maka bisa terhindar dari dampak-dampak
ini.” Imbuhnya.
Harapannya, dengan adanya kegiatan tersebut, mereka bisa
menghasilkan lebih banyak lagi, untuk dibagikan kepada perempuan-perempuan
sambil melatih, terutama Perempuan-perempuan yang ada di pelosok, yang sulit
mendapatkan akses pengetahuan semacam ini. “Juga kepada Perempuan-perempuan
yang berada di daerah yang lingkungannya mesti dijaga. Misalnya di Paniai,
termasuk saya dari Deiyai.” Lanjut Mote.
Kenapa? Danau itu harus dijaga dari sampah apapun. Karena
mata penjarian mama-mama itu ada di danau tersebut. Lalu banyak aliran Sungai
yang mengarah ke danau. Lantas kalau Perempuan menggunakan pembalut dari tokoh,
pembalut plastic, lalu itu dibuang ke danau, atau di kali yang akan bermuara ke
danau, maka tentu akan terjadi pencemaran yang tidak baik. Dan itu bisa
berdampak juga pada kerusakan ekosistem danau. Bahkan bisa berdampak juga pada
Kesehatan tubuh manusia.
Dari segi ekonomis, menurut mote, pembuatan pembalut kain
ini bisa menjadi industry home. Waktu senggang bisa dijahit karena ini tidak
membutuhkan mesin. Hanya membutuhkan jarum, benang, dan beberapa bahan yang itu
bisa dapatkan di rumah, bahkan di pasar. Misalnya bahan kaos, mantel, dst.
“Jadi barang-barangnya mudah, simple, dan bisa kita dapatkan di dekat kami,”
tukas Mote, Perempuan asal Deiyai itu.
***
Pelatihan ini dipandu oleh Westiani Agustin dari Lembaga
Biyung yang terpusat di Yogyakarta, Jawa Tengah. Diundang Kewita untuk
memberikan edukasi dan keterampilan terkait Kesehatan menstruasi dan pelatihan
pembuatan pembalut kain.
Tujuannya untuk dapat memberikan, khususnya di Papua Tengah,
untuk dapat lebih memahami tentang kebutuhan, hak Kesehatan Perempuan, terutama
kaitannya dengan menstruasi. Karena selama ini, menurut Westiani, perempuan
banyak distigma; karena dia menstruasi jadi dianggap kotor, kemudian, semakin
direndahkan posisi dia dalam keluarga.
Kemudian dengan belajar hak Kesehatan menstruasi, menurut
Westiani, teman-teman Perempuan ini harapannya bisa menjadi lebih menghargai
tubuhnya, kemudian menambah kekuatannya untuk bicara tentang hak Perempuan
tentang hidup yang lebih sehat dan bermartabat.
Kemudian menjahit pembalut juga tujuannya untuk kita bisa
lebih mandiri. Tidak tergantung dengan kebutuhan pembalut yang memang
[harganya] sangat besar. “Karena itu menjadi bagian dari kebutuhan pokok
Perempuan yang menstruasi. Jadi kami setiap bulan harus mengeluarkan biaya
untuk beli pembalut.” Terang Westi kepada TaDahNews usai kegiatan.
Kemudian beberapa peserta menyatakan bahwa sebenarnya mereka
juga tidak memakai pembalut dari tokoh tetapi dengan bisa menjahitnya sendiri
pembalut dari kain, dari bahan yang ada di rumah, itu bisa membuat mereka lebih
nyaman dalam beraktivitas. Kemudian bisa lebih sehat juga.
“Karena menggunakan bahan yang kita tahu itu ada didalam
rumah, bahan yang bisa dipakai ulang; dan itu menghemat selama empat sampai
lima tahun. kita tidak lagi membeli pembalut sekali pakai; tidak lagi mencuci
kain satu persatu. Tetapi ini pembalut yang dijahit seperti pembalut dari
tokoh; dan itu mudah dicuci dan mudah digunakan," jelas Westiani tentang
keunggulan dari pembalut kain.
Jadi harapannya dengan kesadaran baru tentang kebutuhan dan
Kesehatan Perempuan, dan memiliki keterampilan baru membuat pembalut kain,
lanjut Westiani, itu bisa membantu teman-teman Perempuan di Papua tengah untuk
bisa menjadi lebih sehat, menghemat pengeluaran dan juga membantu teman-teman
yang lain.
“Karena setelah kegiatan ini teman-teman [peserta] akan
menjahit pembalut kain dalam jumlah 300 lembar, dan itu akan dibagikan kepada
teman-teman di komunitas yang nantinya akan mengikuti kegiatan lanjutan dari
program-program kewita yang ada di Nabire, Paniai, Dogiyai, dan di Deiyai, dan
sekitarnya.” Katanya.
Program Biyung
Kesehatan menstruasi dan pembuatan pembalut kain menjadi
program utama Biyung Yogyakarta Sejak tahun 2018. Kemudian bekerja-sama dengan
Kewita sejak tahun 2020. Pelatihan ini juga dilakukan di Jayapura (sentani),
Manokwari, dan di Pegaf (2020).
Kemudian, untuk di Papua, tahun 2022 dilakukan di Sentani,
Keerom, dan juga di Sorong Selatan, Papua Barat, dan Wamena. Lalu pada 2023 di
Jayapura. Dan di 2025 di Nabire; dan akan dilanjutkan di Wamena, dan di
Sentani.
Selama ini Westiani Agustin mengamati ada perubahan yang
cukup signifikan sejauh ini. Karena sangat banyak Perempuan yang merespon
kemudian bergulir, banyak kolaborasi dalam kegiatan yang sama, kemudian,
bersama Biyung galang donasi untuk teman-teman [Perempuan] yang lanjut menjahit
bisa produksi dalam jumlah banyak. Dan hasilnya itu dibagikan di kampungnya, di
wilayah tempat tinggalnya.
“Karena tidak semuanya bisa menjahit dan tidak semuanya juga
bisa memiliki pembalut kain yang diproduksi.” Terang Westi.
Dan [melalui pelatihan tersebut] kesadaran untuk mengolah tubuh, lanjut Westiani, kemudian kesadaran bangga atas dirinya sebagai Perempuan, kemudian jalannya menstruasi dengan aman dan nyaman. “Tidak lagi membuat kami ketakutan atas ketidaksadaran.”
***
Untuk konteks papua, menurut Westiani, Perempuan Papua mengalami kesulitan dalam menjalani masa menstruasi. Kesulitan dalam mengakses layanan Kesehatan dan Kesehatan menstruasi itu lebih sulit, kompleks karena situasi Papua terkait konflik politik dan masifnya alih-fungsi lahan dan perusahaan-perusahaan ekstraktif yang semakin dipaksakan di tanah Papua.
“Itu yang membuat Perempuan Papua akhirnya menjadi
tersingkir, dan semakin kesulitan mengakses mereka punya hak Kesehatan.” Tukas
Perempuan asal Yogyakarta itu.
Dan akhirnya semakin rentan mengalami Kesehatan. “Karena
misalnya,” lanjut Westiani, “terjadi konflik di wilayah mereka, mereka yang
harus bertanggung jawab penuh mendapatkan makanannya. Karena di keluarga sangat
bergantung pada Perempuan.”
Sementara kondisi di pengungsian, dia [Perempuan] semakin
sulit mendapatkan pembalut, semakin sulit mendapatkan tempat untuk membersihkan
diri, istirahat juga tidak bisa karena dia [Perempuan] harus mengurus, mulai
dari bangun pagi sampai tidur sepenuhnya, dia tidak punya kesempatan untuk
merawat diri, menstruasi dengan baik.
Di situasi konflik itu tidak mudah Perempuan mendapatkan
kesempatan untuk mendapatkan hak Kesehatan menstruasinya. “Untuk konteks papua,
kami melihat, situasi yang sangat unik dan kompleks.” Tukas Westi prihatin
Kesehatan menstruasi Perempuan yang berada di daerah konflik.
Lantas, Jadi itu juga alasan kenapa Biyung lebih banyak
berkonsentrasi di Papua. Karena Perempuan sudah mulai menyuarakan hak-hak
Perempuan, mereka berjuang, lanjut Westi, tetapi mereka tidak punya tempat dan
kesempatan memenuhi hak Kesehatan menstruasi mereka, itu sama saja. “Mereka
juga mengalami pelanggaran HAM.” Jelasnya menutup.
Yohanes Gobai