
![]() |
Victor Yeimo (Ist.) |
[Tabloid Daerah], Nabire -- Abisai Rolo mewakili mulut penjajah. Dia cermin dari mental penjajah dalam kulit terjajah.
![]() |
Screenchot Akun Resmi Facebook Victor Yeimo |
Hal itu disampaikan Juru Bicara (Jubir) Internasional, Komite Nasional Papua Barat (KNPB) melalui Akun Resmi Facebook miliknya. Yang mana, hingga berita ini diturunkan, postingan mendidik itu sudah menjadi viral, itu terbukti bahwa sudah 318 Facebookers yang membagikan, hampir 1000 yang Like, Super, dan Peduli, serta ada 115 komentar di postingan tersebut.
Mengutip dari Frantz Fanon, ditulisnya, "Mereka bangun dikotomis secara artifisial; yang pantai itu loyal dan taat sementara yang gunung pemberontak. Taktik penjajah ini, disebut Frantz Fanon sebagai, 'the loyal native' dan 'the subversive native', untuk memecah persatuan bangsa terjajah, seperti; Belgia bikin perbedaan etnis Tutsi dan Hutu yang menyulut Genosida 1994 di Afrika," tulis Victor Yeimo itu.
"Jadi kalau ada yang masih pakai dikotomi gunung pantai, maka kolonialisme telah menyusup ke dalam sistem nilai dan persepsinya. Jika, dia merasa lebih ‘beradab’ karena, lebih dekat dengan pusat kekuasaan, itu bukan kebanggaan, tapi delusi atau racun kolonial yang membuatnya merasa superior atas saudara sebangsanya sendiri," tambah Yeimo.
Dalam tulisannya itu, Yeimo juga menggambarkan elit lokal (Papua) sebagai elit yang kolabolator dengan rezim yang hingga hari ini menindas rakyat, dan terus mencari jurus guna memecah-belah satu Papua.
"Jadi para elit kolabolator ini gunakan logika penjajah yang tidak melihat bangsanya sebagai satu tubuh tapi, sebagai pecahan yang bisa ditimbang, dinilai, dan ditolak berdasarkan stereotip buatan kolonial. Membagi Papua berdasarkan asal-usul geografis adalah strategi klasik kolonialisme untuk mencegah persatuan revolusioner," tulisnya.
Victor juga menutup tulisannya dengan mengambil gambaran atau praktik yang pernah dilakukan di Afrika Selatan atau di kenal dengan Aparteid Afrika Selatan.
"Otak mereka dibentuk agar Kota Jayapura diproduksi ulang sebagai ruang kolonial. Dimana, kehadiran orang gunung dianggap 'mengganggu ketertiban' atau 'mengancam stabilitas', belajar dari Apartheid Afrika Selatan, Kepala Suku di Bantustan mengusir sesama bangsanya karena, dianggap mengganggu stabilitas. Jadi, penjajah selalu mencari pemimpin lokal yang bisa dipakai untuk mengamankan kekuasaan. Mereka diberi gelar, panggung, dan uang asal bisa menertibkan rakyat yang melawan. Dan, Abisai sedang bermain dalam pola yang sama," tutup VY dalam tulisannya.(*)
Editor: Kebagibui Dogopia