
![]() |
Ilustrasi seseorang dengan saviour complex. Sumber: thelamponline |
Oleh: Ekyen Rellyx Kenangalem
*) Mahasiswa Pascasarjana Psikologi Kritis di Universitas Sanata Darma, Yogyakarta
Perjuangan Papua Merdeka bukan lagi hal yang harus dibicarakan dan didiskusikan secara sembunyi-sembunyi dari rumah ke rumah, seperti pada zaman orangtua saya. Mereka akan ditembak atau dibunuh jika saja ada pembahasan tentang Papua Merdeka jika didengar oleh telinga ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). Kini, siapa saja yang lahir dan dibesarkan di lingkungan orang Papua yang sadar akan kondisi tanahnya, sudah bisa memahami dan juga kembali menceritakan kepada yang lainnya terkait perjuangan Papua Merdeka.
Terkhusus
di kalangan mahasiswa Papua, kini sudah muncul banyak organisasi, komunitas
hingga forum-forum diskusi yang secara vokal dan frontal mendiskusikan tentang
perjuangan Papua Merdeka. Akumulasi dari semua cerita, kisah dan perjuangan
Papua Merdeka membuat sebagian mahasiswa Papua yang ‘sadar’ akan kondisi tanah
airnya, mulai memikirkan, mengerjakan, dan menempuh jalan-jalan yang kiranya
dapat mempermudah dan memuluskan jalan perjuangan Papua Merdeka.
Melalui beberapa diskusi yang dilakukan oleh penulis menemukan indikasi Saviour Complex pada mahasiswa Papua bahkan aktivis perjuangan Papua Merdeka yang membuat mereka seolah-seolah menjadi penyelamat atau juruselamat atas penindasan yang terjadi pada orang Papua atas penjajahan kolonial Indonesia. Melalui salah satu kuliah umum yang penulis ikuti, salah seorang pembicara mengatakan bahwa “dengan melihat kondisi sosial negara ini, terkhusus wilayah-wilayah jajahan seperti Papua dan Aceh, jangan kamu menganggap dirimu sebagai juruselamat yang hadir dan mampu menyelesaikan semua masalah, tanpa memikirkan kondisi mental dan kewarasan diri, karena kamu harus tetap sehat mental dan memiliki kewarasan diri untuk tetap berjuang, memperjuangkan hak-hak rakyatmu yang tertindas. Hati-hati! Jangan sampai terlalu berfokus pada perjuangan sampai lupa diri, hingga kamu memiliki penyakit saviour complex!”.
Penulis cukup tertegun mendengar kalimat itu dan seperti ditampar tanpa disentuh. Penulis berusaha untuk mencerna dan mempelajari makna dibalik kalimat tersebut, mencoba memahami apa sebenarnya yang dimaksud dengan saviour complex, sampai pada akhirnya penulis menyadari bahwa penulis adalah salah satu dari sekian banyak mahasiswa dan aktivis Papua juga yang ‘sepertinya’ mengidap penyakit tersebut, Hingga akhirnya penulis memutuskan untuk meninggalkan beberapa penyebab atau faktor yang akan mempengaruhi kewarasan dan kesehatan mental, agar perjuangan tetap dilakukan, maka penulis harus tetap waras dan tetap sehat secara mental. Mental yang sakit dapat mempengaruhi fisik, dalam psikologi disebut gangguan psikosomatik.
Menurut Psikiater Cassandra Boduch, MD., istilah savior complex juga sering disebut mesias complex atau kompleks penyelamat adalah kondisi dimana seseorang merasa bahwa dirinya memiliki misi yang harus dipenuhi berdasarkan apa yang dianggap sebagai kemampuan khusus; menolong atau menyelamatkan orang lain yang didorong oleh suatu misi tertentu dengan beranggapan bahwa ia memiliki kemampuan khusus, yang tidak dimiliki oleh orang lain. Perilaku ini sebenarnya bukan kondisi yang bisa didiagnosis secara formal, tetapi beberapa profesional kesehatan mental menganggap bahwa kondisi ini sangat berkaitan dengan hal klinis, karena motivasi dibalik kompleks penyelamat ini akan sangat mempengaruhi kondisi seseorang secara mental dan emosional,
Artinya
jika “membantu” atau “menyelamatkan” orang lain dianggap sebagai tujuan hidup
sampai-sampai berdampak negatif bagi kehidupan pribadi; dan terlalu berfokus
menolong atau menyelamatkan untuk mengubah suatu kondisi tertentu hingga
melupakan kesehatan mental dan kesejahteraan pribadi. Perilaku inilah yang
akhirnya membuat seseorang memiliki saviour complex. Jangan disalah
pahami bahwa menolong orang lain itu salah, tidak boleh berjuang untuk
kepentingan orang lain atau mengusahakan dan memperjuangkan kemerdekaan Papua
karena seseorang dengan savior complex adalah seseorang yang
meninggalkan segala kepentingan dirinya demi hal yang sebenarnya bisa
dikerjakan bersama dan kolektif.
Perlu
dipahami bahwa orang yang suka menolong dan peduli, tidak berarti ia menderita savior
complex. terdapat tanda-tanda khusus yang mengindikasikan seseorang terkena
savior complex, yaitu: pertama, selalu merasa mendapatkan tujuan atau
nilai secara eksklusif ketika menjadi satu-satunya sumber bantuan bagi orang
lain; kedua, tidak mampu mengatakan “tidak” terhadap permintaan dari orang
lain; ketiga, tidak mampu menetapkan batasan pada waktu dan energi karena
selalu merasa bahwa orang lain “membutuhkan” bantuan; keempat, mengabaikan
kebutuhan perawatan diri sendiri dan memaksakan diri untuk memastikan kebutuhan
orang lain supaya terpenuhi; kelima, bekerja sampai kelelahan hanya untuk memenuhi
harapan dan tujuan tertentu tanpa memikirkan kesehatan mental dan fisik.
Perlu
dicatat dan digaris bawahi bahwa seseorang dengan savior complex akan
selalu berjuang ketika sebenarnya tidak ada hal yang harus diperjuangkan,
bekerja sendirian ketika sebenarnya pekerjaan tersebut bisa dikerjakan secara
kolektif. Faktor utama seseorang akhirnya mengidap savior complex adalah
karena trauma dan kesedihan mendalam yang pernah dialami olehnya di masa lalu.
Berdasarkan
uraian di atas mengarahkan penulis pada perjumpaan dan diskusi-diskusi yang
dilakukan bersama beberapa mahasiswa Papua dan aktivis Papua Merdeka yang mana
rata-rata semua adalah representasi dari trauma masa lalu, kesedihan masa lalu
karena peristiwa dan masalah-masalah yang pernah terjadi di masa lalu, entah
kita sendiri yang mengalaminya secara langsung atau kita diwariskan oleh orang
tua, sanak saudara, kerabat atau kolega di lingkungan kita lahir dan besar,
Tanah Papua. Kita semua hadir dan bekerja dengan penuh rasa sakit, luka yang
menganga dan selalu tersakiti jika impuls dari luka-luka tersebut mengganggu
dan mencari gara. Manusia Papua mana yang melakukan perlawanan dan perjuangan
Papua Merdeka tanpa ada trauma dan kesedihan masa lalu? Tidak ada. Kita semua
bergerak karena ada trauma, kesedihan, kesakitan, kepahitan, penindasan yang
pernah kita alami entah secara langsung atau secara tidak langsung.
Menyadari
bahwa penulis juga adalah salah satu dari sekian banyak manusia Papua yang
sedang mengidap savior complex yang sedang berjuang untuk memperjuangkan
bangsa dan tanah air. Tentu penyakit ini sangat berbahaya karena akan
menghambat kerja-kerja dan perjuangan kemerdekaan. Berdasarkan hasil wawancara
yang telah dilakukan oleh penulis pada Januari 2025 terhadap beberapa kawan
gerakan perjuangan Papua Merdeka yang berjuang di dalam organisasi gerakan dan
kawan lain yang berjuang namun tidak tergabung di dalam organisasi gerakan,
penulis menemukan bahwa hampir semua narasumber mengalami trauma, kesedihan,
kepahitan bahkan penindasan struktural di masa lalu hingga saat ini. Hal
tersebutlah yang mempengaruhi mereka untuk terus berjuang tanpa henti, walau
kesehatan mental menjadi salah satu aspek yang digadaikan, asalkan perjuangan
tetap berlangsung, akhirnya banyak yang kecewa, sakit hati dan berada di titik
jenuh saat apa yang diharapkan tidak dapat terwujud dalam perjuangan pembebasan
bangsa Papua, karena mereka selalu berpikir bahwa mereka adalah penyelamat atau
‘pribadi’ yang harus terus aktif berjuang dan bekerja karena ‘yang lain’ tidak
dapat melakukan apa yang bisa mereka lakukan.
***
Kawan
Bunga (bukan nama asli, salah satu anggota organisasi gerakan Papua Merdeka, 30th)
mengatakan bahwa “kawan, sa ini sedang berada di titik jenuh dalam gerakan
dan perjuangan, sa energi habis karena sa rasa macam sa terlalu banyak kerja;
semua hal harus saya yang kerjakan, tapi sa rasa macam tidak ada perubahan
dalam perjuangan ini” (kawan, saya saat ini sedang mengalami kejenuhan,
kehabisan energi dalam gerakan dan perjuangan karena saya merasa bahwa saya
bekerja terlalu banyak, namun kesannya seperti tidak ada perubahan yang terjadi
dalam perjuangan Papua Merdeka); saat wawancara berlangsung, kalimat itu
menjadi acuan diskusi yang sangat alot.
Penulis
mempertanyakan kawan Bunga, hendak jika bekerja di dalam gerakan kenapa tidak
dikerjakan secara kolektif? Memohon bantuan kawan lain jika memang sedang tidak
bisa bekerja saat dibutuhkan, atau meminta izin jika memang ada kesibukan dan
prioritas lain yang harus dikerjakan karena, menurut penulis, perjuangan Papua
Merdeka adalah perjuangan bersama, bukan perjuangan seorang atau dua orang.
selanjutnya kawan Bunga menjelaskan bahwa “kawan, sa selalu merasa seperti
organisasi gerakan ini kesannya pasif dan tidak berjalan jika sa atau kawan
lain yang duluan ada inisiatif, jadi sa selalu berpikir, sa memang harus ambil
alih beberapa pekerjaan yang sebenarnya itu bisa dikerjakan juga oleh orang
lain” (kawan, melihat bahwa organisasi gerakan seperti pasif dan tidak
berjalan kalau saya tidak mengambil bagian atau inisiatif untuk mengerjakan
beberapa hal yang sebenarnya itu adalah tugas orang lain).
Penulis
melihat, kawan Bunga berpikir bahwa dirinya adalah penyelamat dalam kerja-kerja
perjuangan yang sedang dikerjakan di dalam organisasi. Sehingga jika tidak ada
kawan Bunga maka perjuangan itu tidak mengalami kemajuan; kawan Bunga selalu
merasa dibutuhkan dan tidak bisa menolak jika diberi kepercayaan tertentu;
seperti kawan Bunga, kawan Mambri (bukan nama asli, 26th) juga
menjelaskan bahwa dirinya merasa agak lain jika tidak ikut aktif dalam suatu
pekerjaan di dalam gerakan, walaupun sebenarnya tidak ada jobdesk yang
harus kawan Mambri kerjakan, kawan Mambri menjelaskan juga bahwa jika tidak
hadir dalam kerja atau kegiatan tertentu, dia berpikir bahwa kegiatan tersebut
tidak akan berjalan dengan baik, “kawan, sa kalau tra hadir di kegiatan
panggung bebas atau demo damai, sa rasa macam kegiatan itu trakan berjalan
dengan baik walau sa tidak masuk dalam perangkat aksi tapi sa rasa, sa pu
kehadiran dan kontribusi akan sangat dibutuhkan oleh kawan lain, jadi kadang sa
akan intervensi kawan lain pu bagian karena menurut saya apa yang kawan lain
kerjakan itu belum tepat” (Kawan, saya selalu berpikir jika saya sangat
dibutuhkan dalam setiap kegiatan yang dilakukan oleh gerakan, walaupun saya
tidak mengambil bagian di dalam kegiatan tersebut namun saya harus tetap hadir
dan mengintervensi beberapa kawan lain yang sudah memiliki jobdesk karena saya
merasa bahwa mereka tidak bekerja dengan baik).
Berdasarkan
hasil wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa aktivis Papua Merdeka yang
berada dalam gerakan memiliki indikator yang mengarah pada penyakit Saviour
Complex, dimana mereka beranggapan bahwa mereka adalah penyelamat yang dapat
menyelamatkan organisasi dan memuluskan perjuangan Papua Merdeka dengan
kerja-kerja yang dilakukan di dalam gerakan; akibatnya mereka akan menemukan
diri mereka yang kehabisan energi, jenuh, kecewa dan bahkan sakit hati dengan
kawan lain atau bahkan organisasi jika realita atau hasil kerja tidak berjalan
sesuai dengan apa yang mereka harapkan.
***
Kawan
Elang (bukan nama asli, 27th) yang berjuang untuk Papua Merdeka
secara individu dengan tidak bergabung di dalam organisasi gerakan menjelaskan
bahwa walaupun tidak bekerja di dalam organisasi gerakan atau organisasi
manapun namun dirinya selalu berpikir bahwa dia mampu dan bisa menyelesaikan
beberapa persoalan yang dia temukan di Papua, salah satunya adalah masalah
pendidikan yaitu dengan menyediakan buku-buku bacaan untuk dibagikan kepada
beberapa gerakan literasi di Papua.
Pada
beberapa waktu tertentu kawan Elang mengalami kendala dalam proses pengiriman
buku-buku ke beberapa wilayah di Papua. Karena kebiasaannya yang tidak pernah
menjelaskan kepada kawan-kawan gerakan literasi terkait biaya pengiriman,
sehingga saat terkendala di bagian proses pengiriman pun kawan Elang sendirilah
yang akan berpikir dan mencari Solusi. Baginya, yang terpenting buku-buku
tersebut bisa sampai di Papua, walaupun kawan Elang harus menggunakan uang
pribadi, uang kampus atau bahkan nyaris meminjam uang kepada orang lain dengan
jumlah besar karena ongkos kirim ke Papua yang cukup mahal.
“karna
sa percaya bahwa literasi penting dalam pembebasan suatu bangsa, terkhusus
membaca jadi sa biasa akan berusaha untuk bangun kerjasama dengan beberapa toko
buku atau gerakan literasi di Jogja, bahkan antar proposal agar mendapatkan
buku layak baca supaya buku-buku ini sa bisa kirim ke kawan-kawan di Papua;
tapi sa juga kadang kewalahan untuk kirim karena kendala di uang, cuma sa pikir
ya sa bisa selesaikan masalah ini cuma memang selalu hal itu buat sa sendiri
yang kena masalah karena sering pinjam uang tapi tra bisa ganti di waktu yang
sudah sa janjikan atau sa pakai sa pu uang kampus jadinya sa kadang
terlambat bayar uang kampus dan harus urus surat dispensasi atau minta lagi ke
orangtua; sa berpikir tidak ada yang bisa menyelesaikan persoalan ini, kalau
tidak hanya sa pu diri sendiri”
(karena saya percaya bahwa budaya literasi yang baik sangat penting dalam
pembebasan suatu bangsa sehingga selama saya berada di Jogja, saya akan
berusaha untuk mengumpulkan buku-buku layak baca dengan membangun koneksi
bersama beberapa toko buku dan gerakan literasi di Jogja bahkan juga membuat
proposal agar mendapatkan buku-buku yang selanjutnya akan saya kirim ke
beberapa gerakan literasi Papua; dalam proses pengiriman ke Papua, saya
mengalami masalah karena ongkos kirim yang mahal, sehingga saya biasa meminjam
uang kepada orang lain atau juga menggunakan uang kampus, akibatnya saya
sendiri yang mengalami masalah seperti terlambat mengembalikan uang pinjaman
sesuai waktu yang disepakati atau harus mengurus surat dispensasi di kampus
bahkan sampai harus meminta uang kampus lagi kepada orangtua; saya berpikir
masalah ini hanya saya sendiri yang dapat menyelesaikannya).
Berdasarkan
uraian di atas kawan Elang menganggap bahwa hanya dirinya saja yang mampu
mengatasi masalah literasi di Papua sebagai salah satu kerja untuk menuju
kemerdekaan kebudayaan literasi sehingga jika mendapat kendala dalam proses
kerja tersebut, dirinya menyelesaikannya sendiri tanpa mendiskusikannya dengan
kawan-kawan gerakan literasi di Papua atau setidaknya kepada pihak lain juga
yang sedang bergerak di bagian tersebut.
Kawan
Putri (bukan nama asli, 22th) sebagai mahasiswa jurusan hukum yang
selalu beranggapan bahwa jika ada masalah mahasiswa Papua di Jogja maka dia
akan selalu ada dan standby walau sebenarnya ada organisasi atau gerakan
bantuan hukum yang dapat menyelesaikan masalah tersebut. Akhirnya tidak jarang
dirinya akan meninggalkan ruang kuliah atau tidak hadir hanya untuk
menyelesaikan beberapa masalah yang terjadi di Jogja.
“Sa
rasa macam kalau ada masalah atau kasus oleh mahasiswa Papua maka sa harus
hadir karena kalau sa tidak di sana nanti siapa yang akan selesaikan kasus
tersebut; jadi sa biasa alpa di kelas juga sampai pernah tidak ikut UAS, tapi
sa menghadap ke dosen jadi sa bisa ikut susulan” (jika ada mahasiswa
Papua yang membuat masalah atau kasus, saya harus selalu hadir karena kalau
tidak ada saya, siapa yang hendak akan menyelesaikan kasus atau masalah
tersebut, walau saya absen di kelas perkuliahan bahkan sampai tidak ikut UTS,
tapi persoalan itu dapat saya selesaikan dengan menjelaskan kepada dosen
sehingga saya bisa ikut ujian susulan), jelas Kawan Putri kepada penulis
saat diwawancarai.
Kawan
Putri tidak memikirkan perkuliahan bahkan urusan kampusnya, walau jika ada
konflik dan badan pengurus organisasi mahasiswa Papua atau paguyuban telah
hadir untuk menyelesaikan masalah tersebut namun Putri yang kuliah di jurusan
hukum menganggap bahwa tanpa dirinya yang paham hukum, maka permasalahan
tersebut tidak dapat diselesaikan.
Bahaya saviour
complex ini dapat mempengaruhi kesehatan mental hingga muncul
masalah-masalah lain; menurut Psikiater dan peneliti Judith Joseph, MD., MBA.
dilansir melalui Very Well Mind, bahwa mereka yang memiliki saviour complex
sangat keras pada diri sendiri dan terus-menerus memeriksa diri sendiri,
apakah yang saya kerjakan sudah tepat atau belum? Saya harus menyelesaikan dan
mengerjakan ini karena tidak ada orang lain yang dapat menyelesaikannya selain
saya. Itulah kenapa seseorang dengan sindrom penyelamat ini bisa mengalami
depresi.
Berdasarkan
uraian di atas penulis menawarkan beberapa cara untuk mengatasi perilaku saviour
complex (cara ini bersumber dari hasil wawancara dan dari berbagai sumber)
yaitu: pertama, penting untuk mengenali tanda-tandanya; Kedua, penting
untuk bertanya pada diri sendiri mengapa kita harus mengorbankan diri sepanjang
waktu dan kembali mengenali apa motivasinya dan mengenali diri secara
introspektif sehingga membantu kita mengungkap penyebab tindakan “juruselamat”;
Ketiga, putuskan bahwa validasi dan persetujuan orang lain tidak menjadi fokus
kita, ada pekerjaan yang memang harus dikerjakan sendiri (individu) namun ada
juga yang harus dikerjakan secara bersama (kolektif); Keempat, hindari untuk
memaksakan diri untuk melakukan hal yang sebenarnya tidak harus dikerjakan,
jika sedang tidak baik-baik saja atau kewalahan mengerjakannya maka bisa minta
bantu kepada kawan lain atau siapa saja yang dirasa dapat membantuk menyelesaikan
pekerjaan tersebut; Kelima, perjuangan Papua Merdeka adalah perjuangan bersama
bukan perjuangan satu atau dua orang tertentu bahkan satu atau dua organisasi
tertentu, jangan menganggap bahwa diri kita adalah juruselamat yang dapat
menyelesaikan dan mengakhiri penindasan yang terjadi terhadap orang Papua;
Keenam, kerjakan bagian kita dengan sepenuh hati tanpa bersungut-sungut, biarka
bagian lain dikerjakan oleh mereka yang sudah menjadi ahli di bidang tersebut,
jangan intervensi atau sok tahu akan semua hal yang sebenarnya tidak kita
ketahui dan pelajari secara mendalam.
Referensi
https://voi.id/lifestyle/422381/mengenal-savior-complex-perilaku-suka-menolong-sampai-abai-pada-kesejahteraan-pribadi#google_vignette
diakses pada Jumat 14 Februari 2025 pukul 10:00WIB
Wawancara bersama empat kawan aktivis (organisasi gerakan dan non organisasi gerakan/inidividu merdeka) pada 20 – 27 Januari 2025 bertempat di beberapa tempat yang berbeda dengan waktu yang beragam.
Editor: Yohanes Gobai