
![]() |
Suasana dalam gedung Fakultas MIPA Univestias Negeri Makassar usai diskusi bersama AMP dan KNPB, Makassar, 24 Mei 2025. Foto: AMP |
[Tabloid Daerah], Nabire -- Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komite
Kota Makassar dan Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Wilayah Makassar
menyoalkan situasi Pendidikan di Papua, terutama di bawa rezim Prabowo-Gibran dalam diskusi public yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Program Studi
Pendidikan IPA (FMIPA) di Universitas Negeri Makassar, Sabtu (24/5/2025).
Diskusi yang bertajuk, “Masa Pendidikan di Bawa Rezim Prabowo Gibran,” itu berlangsung di Ruangan FMIPA, dipantik oleh Nato Bukega, Pengurus Pusat Organisasi AMP.
Dalam seminar (diskusi) yang dihadiri oleh puluhan mahasiswa Universitas Negri Makasar (UNM) tersebut Nato mengatakan bahwa dilihat dari kebijakan rezim Prabowo-Gibran
hari ini secara sistemik, terstruktur memberi akses leluasa kepada militer
intervensi dalam arena sipil dan sosial. “Kebijakan Multifungsi TNI ini bisa
berdampak juga kampus,” katanya sela diskusi,
Jika militeris sudah intervensi di rana sipil maka kebebasan
setiap individu bahkan lembaga juga organisasi akan terancam. Menurut Nato,
kebebasan berekspresi kebebasan berpendapat di muka umum bahkan akan dibatasi
setiap ruang gerak, “hingga di lapangan kerja pun akan dibatasi dan
diintervensi juga oleh militer.”
Nato menegaskan bahwa bawah negara sudah tidak sehat lagi.
Artinya segala aturan yang ditetapkan oleh rezim hari ini hanya demi
kepentingan kekuasaan; dan sangat rentang terhadap masyarakat kelas bawa,
terutama kelas pekerja, mahasiswa, perempuan, juga rakyat West Papua yang
sedang berada dibawa kekuasaan Indonesia yang mengkoloni.
Intervensi militer di sektor pendidikan, lanjut Nato, tentu
ini sangat bertentangan dengan undang undang Undang-Undang Dasar 1945 (UUD
1945) Pasal 31 mengatur tentang pendidikan, yang menyebutkan bawah (1) Setiap
warga negara berhak mendapatkan pendidikan. (2) Setiap warga negara wajib
mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. (3) Pemerintah
memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai
agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan bangsa dan negara.
“Negara yang tunduk dibawah konstitusi, berdasarkan bunyi
pasal diatas, seharusnya pendidikan digratiskan. Bukan hanya makanan saja,”
kata Bukega saat diskusi berlangsung.
Kemudian pendidikan di papua mengalami sarat akan masalah.
Menurut Natho persoalannya dimulai dari kurikulum yang bermasalah,
sarana-prasarana, hingga operasi-operasi militer yang berdampak pada indeks
pembangunan manusia yang menurun.
Papua sudah sejak dahulu mengalami Intervensi militer
indonesia di ranah pendidikan, kesehatan dan sebagainya. “Itu bukan baru
setelah adanya multifungsi TNI, sekarang.” Tugas Bukega.
Menurutnya sejak tahun 1963 sudah ada kebijakan militer
sewenang wenang di rana sipil. Tidak hanya militer masuk sekolah, juga menyamar
sebagai guru, tenaga kesehatan, dan seterusnya. Jadi intervensi militer itu
sudah terjadi di papua.
“Bagi kawan kawan indonesia itu adalah hal yang baru dan
mengulang rezim Soeharto, dulu. Tapi dari kami kacamata orang papua bukan
cerita baru lagi tapi itu adalah cerita lama yang sedang membusuk dalam tubuh
negara ini.” Kata Bukega memantik.
Lantas mengapa setiap acara arak-arakan perayaan kelulusan
pelajar di Papua selalu diwarnai dengan coretan bermotif bintang kejora di baju
hingga mengibarkan Bintang Kejora? Menurut Natho merupakan akumulasi dari
kebencian terhadap perlakukan Negara di tanah Papua, di berbagai sektor.
"Ini semua akibat dari kebijakan negara yang tidak
manusiawi terhadap orang tuannya, keluarganya; soal ketidakadilan, pelanggaran
HAM, Rasisme, operasi militer ketidaksetaraan pendidikan dalam kurikulumnya.”
Jelas Natho tentang kesadaran perlawanan pelajar terhadap kondisi penindasan di
Papua.
Yohanes Gobai