Iklan

iklan

Siaran Pers: NEGARA GAGAL LINDUNGI HAK-HAK ANAK DALAM SITUASI KONFLIK BERSENJATA DI PAPUA

Tabloid Daerah
10.31.2021 | 1:12:00 PM WIB Last Updated 2021-10-31T04:12:06Z
iklan

 

Gambar LBH Papua

Siaran Pers

Nomor : 023/SP-LBH-Papua/X/2021


NEGARA GAGAL LINDUNGI HAK-HAK ANAK DALAM SITUASI KONFLIK BERSENJATA DI PAPUA


“Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Segera Lakukan Pengawasan Terhadap Pelaksanaan Perlindungan dan Pemenuhan Hak Anak Dalam Situasi Konflik Bersenjata sesuai perintah Pasal 76 huruf a dan Pasal 59 ayat (1) serta Pasal 60 huruf a, UU Nomor 35 Tahun 2014 Di Papua (Intan Jaya)”



Pada prinsipnya “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun” sebagaimana diatur pada Pasal 28I ayat (1), UUD 1945 junto Pasal 4, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam konteks pelaksanaannya yang memastikan efektifitas terimplementasikannya hak konstitusional diatas adalah Negara melalui pemerintah sesuai ketentuan “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah” sebagaimana diatur pada pasal 28i ayat (4) 1945 dan Pasal 8, UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Sementara itu berkaitan dengan hak anak juga menjadi kewajiban sesuai dengan ketentuan “negara berkewajiban untuk memenuhi, melindungi, dan menghormati Hak Anak”  sebagaimana diatur pada Pasal 21 ayat (2), UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Atas dasar itu sehingga berkaitan dengan perlindungan terhadap hak hidup anak dalam konflik bersenjata menjadi kewajiban hukum negara melalui pemerintah baik Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi Papua dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota didalamnya.


Berdasarkan pemberitaan dalam beberapa tahun terakhir ini terjadi banyak kasus pengungsi yang dialami oleh masyarakat sipil papua baik di Kabupaten Nduga (2018), Kabupaten Intan Jaya (2019 – 2020), Kabupaten Mimika (2020), Kabupaten Puncak Papua (2021), Kabupaten Maybrat (2020), Kabupaten Tambrauw (2021), Kabupaten Pegunungan Bintang (2021) dan saat ini yang sedang terjadi di Intan Jaya (Oktober 2021). Dari informasi yang diperoleh jumlah pengungsi yang berusia anak-anak jumlahnya sangat tinggi namun sampai saat ini belum ada satupun upaya yang dilakukan oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia untuk melakukan “Pengawasan Terhadap Pelaksanaan Perlindungan dan Pemenuhan Hak Anak Dalam Situasi Konflik Bersenjata” sesuai perintah Pasal 76 huruf a dan Pasal 60 huruf a, UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. 


Terlepas dari itu, berdasarkan pemberitaan CNN Indonesia disebutkan bahwa dalam beberapa hari terakhir eskalasi keamanan di Bumi Cenderawasih memang kembali memanas. Polisi mengkonfirmasi bahwa seorang bayi bawah lima tahun (balita) meninggal dan menjadi korban dalam kontak senjata di kawasan Distrik Sugapa, Kabupaten Intan Jaya, Papua pada Selasa 26 Oktober 2021. Menurut Kombes Ahmad Musthofa Kamal selaku Kabid Humas Polda Papua menerangkan bahwa KKB semula melakukan penembakan ke Pos Koramil dan Polsek Sugapa. Sehingga, personel yang bertugas memberikan tembakan balasan hingga memicu kontak senjata. (Baca : https://www.cnnindonesia.com/nasional/20211029205836-12-714281/opm-klaim-perang-di-papua-memanas-picu-warga-mengungsi).


Dalam kontak senjata antara TNI-Polri VS KKB (TPN-PB) di Intan Jaya itu, ada 2 (dua) orang anak yang tertertembak hingga 1 (satu) orang diantaranya meninggal dunia sementara 1 (satu) lainnya masih hidup. Melalui fakta adanya masyarakat sipil yang menjadi korban penembakan diatas secara langsung menunjukan fakta nihilnya perlindungan masyarakat sipil ditengah konflik bersenjata sesuai perintah ketentuan “Dalam hal sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional yang berlangsung dalam wilayah salah satu dari Pihak Peserta Agung; tiap Pihak dalam sengketa itu akan diwajibkan untuk melaksanakan sekurang-kurangnya ketentuan-ketentuan berikut : Orang-orang yang tidak turut serta aktip dalam sengketa itu, termasuk anggota angkatan perang yang telah meletakkan senjata-senjata mereka serta mereka yang tidak lagi turut serta (hors de combat) karena sakit, luka-luka, penahanan atau sebab lain apapun, dalam keadaan bagaimanapun harus diperlakukan dengan kemanusiaan, tanpa perbedaan merugikan apapun juga yang didasarkan atas suku, warna kulit, agama atau kepercayaan, kelamin, keturunan atau kekayaan, atau setiap kriteria lainnya serupa itu” sebagaimana diatur pada pasal 3 angka 1, Undang-Undang Nomor 59 Tahun 1958 Tentang Ikut Serta Negara Republik Indonesia Dalam Seluruh Konpensi Jenewa Tanggal 12 Agustus 1949. 


Untuk diketahui bahwa secara hukum Perlindungan anak dalam situasi konflik bersenjata merupakan tanggungjawab Negara berdasarkan perintah ketentuan “Sesuai dengan kewajiban-kewajiban mereka menurut hukum humaniter internasional untuk melindungi penduduk sipil dalam konflik bersenjata, maka Negara-negara Pihak harus mengambil semua langkah yang tepat untuk menjamin perlindungan dan pengasuhan anak-anak yang dipengaruhi oleh suatu konflik bersenjata” sebagaimana diatur pada Pasal 38 ayat (4), Konvensi tentang Hak-hak Anak yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia kedalam  Kepres Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Konvensi Tentang Hak-Hak Anak. 


Secara teknis perlindungan anak dalam situasi konflik bersenjata yang harus dilakukan oleh pemerintah telah diatur dalam ketentuan “Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan Perlindungan Khusus kepada Anak dalam situasi darurat” (Pasal 59 ayat (1) dan ayat (2) huruf a, UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak).  Berkaitan dengan “Anak dalam situasi darurat terdiri atas : a. Anak yang menjadi pengungsi, b. Anak korban kerusuhan, c. Anak korban bencana alam dan d. Anak dalam situasi konflik bersenjata” (Pasal 60 huruf a, UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak). Atas dasar ketentuan tersebut, melihat fakta hukum tertembaknya 2 (dua) orang anak atas nama Nopelinus Sondegau (usia 2 tahun) dan Yoakim Mazau (umur 6 Tahun) dalam kondisi konflik bersenjata antara TNI-Polri VS TPN PB di Kabupaten Intan Jaya secara langsung mempertanyakan sikap Negara dalam mengimplementasikan ketentuan “perlindungan khusus terhadap anak dalam situasi darurat khususnya Anak dalam situasi konflik bersenjata” sebagaimana diatur dalam UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak diatas. 


Selain itu, melalui fakta  Nopelinus Sondegau (Usia 2 tahun) meninggal akibat terkena tembakan menunjukan fakta hukum pelanggaran hak hidup sesuai ketentuan “Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidupnya”  sebagaimana diatur pada Pasal 28a, UU D 1956 junto Pasal 9 ayat (1), UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia sehingga sudah sewajibnya Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melakukan tugasnya terkait “1. Pengawasan terhadap pelaksanaan perlindungan dan pemenuhan Hak Anak  dan 2. Memberikan laporan kepada pihak berwajib tentang adanya dugaan pelanggaran terhadap Undang-Undang ini” sesuai perintah Pasal 76 huruf a dan huruf g, UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.  Selain itu, berdasarkan  fakta pelanggaran hak hidup yang dialami oleh Nopelinus Sondegau (Usia 2 tahun) diatas maka sudah sewajibnya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM RI) melakukan tugas “penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran hak asasi manusia” sebagaimana diatur pada pasal 89 ayat (3) huruf b, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

 

Mengingat faktanya adalah Nopelinus Sondegau (Usia 2 tahun) dan Yoakim Mazau (Umur 6 Tahun) merupakan korban penembakan maka secara lansung menunjukan adanya dugaan tindak pidana penyalahgunaan senjata api sebagaimana diatur pada Pasal 1 ayat (1), UU Daerurat Nomor 12 Tahun 1951 Tentang Mengubah "Ordonnantie Tijdelijke Bijzondere Strafbepalingen" sehingga wajib adanya penegakan hokum dalam rangka memenuhi ketentuan “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hokum” sebagaimana diatur pada Pasal 3 ayat (2), UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. 


Sesuai dengan perintah ketentuan “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun” sebagaimana diatur pada Pasal 28I ayat (1), UUD 1945 serta melihat ketentuan “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah” sebagaimana diatur pada pasal 28i ayat (4) 1945 dan Pasal 8, UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan ketentuan “negara berkewajiban untuk memenuhi, melindungi, dan menghormati Hak Anak”  sebagiaman diatur pada Pasal 21 ayat (2), UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak maka Negara melalui Pemerintah baik Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi Papua dan Pemerintah Kabupaten Intan Jaya sudah seharusnya membentuk tim khusus yang dapat bertugas “untuk memenuhi hak atas keadilan bagi keluarga Nopelinus Sondegau (Usia 2 tahun) dan Yoakim Mazau (Umur 6 Tahun) serta memberikan perlindungan khusus terhadap anak dalam situasi darurat khususnya Anak dalam situasi konflik bersenjata sebagaimana diatur dalam UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak”.


Berdasarkan uraian diatas, dalam rangka melindungi hak-hak anak dalam situasi konflik bersenjata di Papua maka Lembaga Bantuan Hukum Papua (LBH Papua) mengunakan kewenangan terkait “Setiap orang, kelompok, organisasi politik,organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak berpartisipasi dalam perlindungan, penegakan, dan pemajuanhak asasi manusia” sebagaimana diatur pada Pasal 100, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan kepada :


1. Presiden Republik Indonesia segera menjalankan perintah “Perlindungan Anak Dalam Situasi Konflik Bersenjata di Papua” sesuai Pasal 38 ayat (4), Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Konvensi Tentang Hak-Hak Anak  dan Pasal 59 ayat (1) dan ayat (2) huruf a, UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak;


2. Gubernur Propinsi Papua Cq Ketua DPRP Cq Bupati Kabupaten Intan Jaya Cq Ketua DPRD Kabupaten Intan Jaya segera bentuk tim khusus untuk memenuhi hak atas keadilan bagi keluarga Nopelinus Sondegau (Usia 2 tahun) dan Yoakim Mazau (Umur 6 Tahun) serta memberikan perlindungan khusus terhadap Anak dalam situasi konflik bersenjata di Papua sesuai perintah UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak;


3. Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia Republik Indonesia (KPAI RI) segera lakukan tugas Pengawasan dan Pelaporan perlindungan dan pemenuhan Hak Anak dalam situasi konflik bersenjata di Papua Khususnya Intan Jaya sesuai perintah Pasal 59 ayat (1) junto Pasal 60 huruf a dan Pasal 76 huruf a dan huruf g, UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak;

 

4. Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM RI) segera lakukan tugas Penyelidikan atas dugaan pelanggaran hak hidup Nopelinus Sondegau (Usia 2 tahun) sesuai perintah pasal 89 ayat (3) huruf b, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;


Demikian siaran pers ini dibuat, semoga dapat dipergunakan sebagaimana mestinya. Atas perhatiannya disampaikan terima kasih.


Jayapura, 31 Oktober 2021


Hormat Kami

LEMBAGA BANTUAN HUKUM PAPUA



Emanuel Gobay, S.H.,MH

(Direktur) 


Narahubung :

082199507613

Baca Juga
iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Siaran Pers: NEGARA GAGAL LINDUNGI HAK-HAK ANAK DALAM SITUASI KONFLIK BERSENJATA DI PAPUA

P O P U L E R

Trending Now

Iklan

iklan